Chapter 18

19.5K 1.5K 112
                                    


"Ini hari libur bro, tapi muka lo itu kayak keebo." Nico tertawa pelan, dia menggelengkan kepalanya pelan.

Melihat wajah Aldo yang di tekuk dari tadi. Ya mungkin dari lelaki itu baru tiba di tempat GYM ini.

"Bisa nggak lo kunci mulut, hari ini aja. Jangan urusi, urusan gue. Gue lagi bad mood."

"Apa yang buat Aldo dodol gue bad mood? Apa Mei nggak bisa muasin lo?" Aldo menggelengkan kepalanya.

"Bukan itu, gue nggak kayak lo yang mikirin kepuasan tuh burung!"

"Terus apa yang buat Lo nekuk wajah? Tau nggak bikin gue mual."

"Kalau mual jangan di lihat."

"Kalau gue nggak lihat, masa gue natap Treadmill. Emang Treadmill bisa di ajak ngomong?"

Aldo menatap jengah Nico lalu menghembuskan napas kasar.

"Lo mau cerita?" Nico duduk di depan Aldo.

"Lo jangan ketawa ya, awas!" kedua alis Nico menukik ke bawah.

"Makasud lo?"

"Diem, lo nikmati aja cerita gue."

"Okey..."

Aldo menghela napas panjang sebelum bercerita, mungkin ini aibnya. Nico mencoba menahan tawanya, cerita Aldo terbaik untuk membuatnya tertawa sepanjang hari.

"Kalau lo mau ketawa, ketawa aja. Jangan di tahan." Dan Nico tergelak senang. Aldo itu sudah pasrah. Siapa suruh menceritakan aib sendiri.

"Masa lo di kalahin remaja bau kencur. Anak kemarin sore." Nico tidak bisa membayangkan menjadi Aldo, memang niat baik ketiga keponakannya itu sangat luar biasa. Melamar Mei untuk Aldo, tapi ada niat terselubung di belakangnya.

"Gue kira gratis, eeh pas mau pulang gue di kasi bill."

"Nggak ikhlas banget ngasih," sindir Nico, untuk Aldo uang segitu mah kecil, kecil banget malah.

"Gue ikhlas, tapi Ai itu pinter banget, tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada."

"Namanya juga anak Gibran, lo tau kan Gibran gimana. Tuh nurun sama Ai. Nah Bagas sama Candra belum muncul otak bisnisnya."

Aldo menganggukan kepalanya, dia tau sifat Gibran dalam berbisnis, meskipun dulu nggan menggeluti dunia kejam itu. Tapi karena sesuatu dia terjerumus dan lihat hasilnya dia berjaya padahal bisa di sebut pemula.

"Kalau dua berengsek tau bakat Ai, bakalan bahaya. Sialan dan kenapa Gibran nggak langsung nikahi Dira aja."

Nico mengerutkan keningnya. "Maksud Lo Gibran rujuk sama Dira? Ngaco lo ini masih pagi bro..."

"Gue nggak ngaco kali, tuh Ai yang bilang. Tapi gue rasa nggak gampang bagi Gibran untuk rujuk sam mantan istrinya deh."

"Kenapa Do?"

"Sepengamatan Gue, kayak Ai and the young brother punya rencana. Nggak semudah kata Rujuk bagi Gibran." Nico menganggukan kepalanya. Benar juga pengamatan Aldo. Aita itu pasti sudah punya rencana.

"Maybe..."

...

"Bagamaina? Apa mereka mau menjual sahamnya?" Gibran menganggukan kepala mendengar penjelasan seseorang yang ada di balik di telpon.

"Ya Bagus dan pertahankan, kalau bisa kau harus membujuk semua pemilik saham untuk menjual saham mereka."

Gibran mematikan sambungan telepon itu, matanya menatap piguran besar yang ada di kamar di kantornya.

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang