Chapter 32

10.9K 992 46
                                    

Aita terbahak mendengar lelucon papanya, keduanya tertawa bersama tanpa memperdulikan keadaan sekitar.
"Papa ikut pulang ya? Oma ada di rumah Ai sekarang." Tawa Gibran terhenti, menatap Aita dengan penuh pertanyan. "Mama--" gumam lelaki Gibran pelan, "Papa langsung minta maaf sama mama. Ajak rujuk biar Ai cepet punya adik, ya pa?" Mohon Aita. Gibran terdiam, Aita masih kecil dan dia belum tahu seberapa rumit hubungannya dengan Dira.

"Papa--" Aita merengek, seperti anak kecil meminta mainan. "Nggak sekarang Ai, ini sangat rumit." Aita menghentak-hentakangan kakinya, wajah merengut, kedua tanganya terlipat di dada. "Papa Jahat--" air mata Aita luruh turun ke pipinya.

Gibran terdiam, di satu sisi dia ingin bertemu Dira, di satu sisi misi lainya belum selesai. "Ai--" perkataan Gibran terhenti, punggung lelaki itu langsung menyentuh tanah, rasa sakitnya menjalar, kesadarannya belum kembali, namun serangan kembali meluncur ke pipi kanannya. Rasa asin terasa di ujung lidahnya, sudut bibirnya pecah mengeluarkan darah segar. Mengumpulkan kesadaranya Gibran terperanjat menatap orang yang memukulnya.

Jantungnya berdetak dengan amat kencang, saluran pernapasan terasa sempit, sesak di dada. Irisan biru itu menatapnya nyalang, kedua sudut itu bibir itu tertarik keatas bukan sebuah senyum lebar, namun sebuah senyum mencemooh. "Lawan aku!"
"Candra!" Teriakan Aita, suara anak perempuannya itu membuat Gibran sadar, remaja yang menduduki tubuhnya adalah anak kembarnya yang terakhir dan dia duplikan Gibran. Napasnya tercekat, bukanya berhenti Candra kembali memukul Gibran membabi buta, pukukan terhenti, beban yang menimpa tubunya pun hilang, rasanya untuk membuka mata sangat lah susah, samar-samar dia dapat melihat Bagas menarik Candra.

....

"Papa!" Aita berteriak saat menyadari Candra menerjang Gibran hingga terjatuh, langkahnya terhenti, lengan di cekal Bagas. "Biarkan dia, Ai." Aita menggelengkan kepalanya, mencoba menghempaskan cekalan Bagas, namun sia-sia Bagas memeganinya dengan amat kuat.
" Candra!" Teriaknya, bukannya Candra mendengarkan perkataannya, adiknya itu malah semakin bringas. Aita tak tahan, langsung memeluk Bagas, menumpahkan segala kesedihanya. Bagas menghela napas panjang, sebelum melepaskan pelukan Aita, seragamnya nampak basah. Dengan segera dia menarik Candra dengan kuat, cukup sudah untuk Candra memberikan Gibran hadiah perkenalan.
"Udah puas lo?" Tanya Bagas, Candra tersenyum puas. "Belumlah, selama empat belas tahun lebih kenapa baru muncul sekarang. Kan hadiahnya belum banyak." Bagas menggelengkan kepalanya, dari balik punggung Candra dia dapat melihat Aita membantu papanya bangun, remaja itu meringis, wajah papanya sudah tidak tampan lagi. "Can, lo tau kan konsekuensi  kalau berantem di area sekolah?" Candra menganggukan kepalanya dengan semangat. "Pengen juga ngerasa kayak Ai, Gas. Rasanya bosen aja jadi anak teladan." Kekeh Candra, Bagas menaikan sebelah alisnya, disaat bersamaan, guru BK datang, dia langung memanggil Candra, dan langsung mengiringnya ke dalam sekolah, Bagas dapat melihat senyum tengil Candra, ya Tuhan kenapa adik-nya bisa berubah seperti itu.

"Papa nggak apa-apa?" Gibran tersenyum, membuat Bagas bersalah, Candra saja yang memukul nampak acuh, kenapa dia yang merasa bersalah. "Apa nggak baik-baik aja."
"Apa yang baik-baik. Muka loe udah bonyok gitu." Sembur Aldo. "Kok bisa sih lo kalah sama anak kecil." Aldo duduk di damping Gibran, lalu menatap Aita dan Bagas bergantian. "Kalian pulang dulu, bilang sama mama kalian, kalau Candra masih di tahan sama Paman Aldo." Kedua keponakanya terdiam, satunya memikirkan nasib adiknya, satunya lagi memikirkam nasib papanya.

"Candra nggak akan di makan sama papa kalian ini, jadi kalian bisa pulang dengan tenang. Palingan dia di skor dua minggu."Aita nampak ingin protes, namun dikeburu tanganya di tarik Bagas. "Dadah pa!" Gibran tersenyum.

"Lo lagi, sok-sok an senyum, muka lo udah acur, Gib." Mata Gibran mendelik, Aldo terbahak. "Yuk ikut gue, biarin aja tuh anak, biar kapok." Aldo menarik Gibran ke mobil lelaki itu, "lo kok bisa disini?"   Tanya Gibran, setelah Aldo menjalankan mobilnya. "Ada rapat sama komite sekolah, terus pas keluar gue denger Candra mukul orang, eeh pas sampai depan gue diam aja, saat gue tau le jadi samsaknya Candra."

"Sialan lo," gerutu Gibran. "Lo juga sih, kenapa butuh waktu empat belasan tahun baru ketemu sama anak lo itu. Aita memang bisa nerima lo lapang dada, nah Candra nih, dia anaknya kalem, dalem nya gue yang nggak tau." Gibran terdiam, perkataan Aldo sangatlah benar, keadaan hening sampai laju mobil terhenti di depan klinik.

....

"Mama, Candra bawa hadiah nih." Teriak Candra memasuki florist ABC.
Dira yang baru saja melayani pelanggan hanya bisa menatap putranya dengan aneh. Tidak biasanya.

Dengan cepat Candra memeluk mamanya dengan sayang, menahan debaran yang semakin membuat perutnya melilit. "Can can bawa surat skor nih." Candra dapat merasakan tubuh mamanya menegang, lalu kedua telinga terasa panas bersamaan, waniya menjewer kedua telinga sang anak, membuat remaja itu memekik kesakitan. "Sakit. Ma," desah Candra.

"Kamu berantem? Kenapa kamu ikut-ikutan Aita sih? Kamu ini kenapa Candra?!" Teriak Dira frustrasi.
"Lepas dulu ma." Dira menggelengkan kepalanya, "Cerita sekarang." Titahnya.
Candra mendengkus, "Candra mukul orang di depan sekolah."
"Siapa dia, kenapa kamu mukul orang Candra."
"Lelaki itu ma, manta suami mama." Dira tertegun, tubuhnya lemas seketika. Gibran? Candra menghajar Gibran,papanya sendiri.

"Kamu mau jadi anak durhaka, mukul papa sendiri?!"

"Dia bukan papa aku," protes Candra. Dia menatap nyalang mamanya. "Dia bukan papa ma. Dia lelaki berengsek! Lelaki pengecut, jangan sebut dia papa Aku." Candra langsung pergi begitu saja, Dira menatap nanar ke pergian Candra. Air matanya luruh, kepala berdenyut sakit, lalu berat seketika.
Candra tidak bisa begitu saja menerima Gibran, dan waktu Gibran menemui Candra  itu salah.

Dira memanggil mia, "Mbak aku pulang dulu--" mia menganggukan kepalanya. Tumben bosnya pergi tergesa-gesa, padahal tadi dia mendengar suara Candra.

...
Langkah kakinya semakin cepat, tak sabaran wanita itu terus memencet bel di hadapannya, butuh waktu lima belas menit, pintu itu terbuka, wanita paruh baya menyambutnya. "Nak Dira--" sapa wanita itu bersemangat. "Gibran ada dirumah, Bik?" Bik Nis membuka lebar pintu apartemen itu. "Ada, lagi sama mas Aldo." Ujarnya seraya mengajak Dita masuk kedalam. Bik  nis membalikan tubuhnya setelah mentutup pintu, tidak ada Dira disana, namun dari dalam dia dapat mendengar teriakan wanita itu.

"Kamu gila Gibran!"
"Gara-gara kamu Candra pergi!"
"Mau kamu apa?!"
"Kalau mau ketemu sama anak-anak ngomong dulu! Jangan gini caranya!" Bik Nis lebih memilih pergi ke dapur, daripada ikut campur. Masalah bosnya itu harusnya sejak dulu harus selesai, dia hanya ingin keluarga ini kembali utuh.

TBC...

Feelnya ada yang kurang ya?

Baiknya Gibran di kasi hukuman apa?

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang