Chapter 36

7.1K 868 54
                                    

"Udah lo siapin semuanya kan?" Halim menganggukkan kepalanya. "Udah bos, kita cuma memberikan polisi dan mafia itu jalan untuk menangkap Zio." Gibran tersenyum lebar, dia tidak perlu mengotori tanganya untuk membalaskan dendam. Hanya memberikan beberapa uang dan informasi, kedua lelaki tamak itu pasti akan hancur.

"Sofi udah di temukan Bos, wanita itu dirawat sedang di Rumah sakit." Gibran menaikan sebelas alisnya? "Lo yakin?"

"Yakinlah, yang nemuin Sofi kan Larry," jawab Halim. Gibran segera berdiri dari kursinya. "Hari ini gue ini free kan?" Halim menganggukkan kepalanya, lelaki itu mengerutkan keningnya melihat wajah semringah bosnya itu. "Lo mau kemana?" Tak lagi berkata formal, Halim langsung curiga dengan tingkah laku bosnya itu.

"Gue nggak kemana-mana kok." Gibran berkilah, namun semburat merah di antara pipinya tidak bisa dia sembunyikan. Mata Halim menyipit, "Lo mau kencan sama buk bos, setelah empat belas tahun baru nyadar?" Pertanyaan sekaligus sindiran Halim, semakin membuat wajah Gibran memerah padam.

"Apan sih lo." Gibran segera mengambil ponsel dan kunci mobilnya, lelaki itu segera pergi tanpa mengonfirmasi pernyataan asistenya itu. "Gue dukung lo Bos, siapa tau nanti nikahan kita barengan sama Aldo, biar irit!" Teriak Halim bersemangat.

Gibran dapat mendengar jelas teriakan Halim, ide asisten itu bisa di terima. Usaha dulu baru hasil mengikuti, yang harus dia lakukan adalah mendekatkan diri dengan Dira dan tentunya dengan Candra.

Gibran harus bisa membuat Dira berada di pihaknya, menaklukan Dira baginya itu lumayan mudah. Berbeda dengan Candra, anak lelakinya itu sama keras kepalanya dengan dirinya, jadi harus ada pendekatan khusus.

Bersenandung kecil, Gibran berjalan melewati lobi kantornya, sebagian pegawainya menatap heran. Siang bolong gini, Bosnya bisa-bisa tersenyum lebar.

Gibran mencoba menekan dadanya, kenapa debarannya begitu terasa, bahkan perutnya bergejolak aneh, senang dan tegang menjadi satu. Tiga puluh tujuh tahun usianya, namun dia merasa seperti remaja tujuh belas tahun yang akan menyatakan cinta.

"Pasti bisa---" Gibran menyemangati dirinya. Lelaki itu segera turun dari mobil Range Rover putih miliknya. Kedua indra penglihatanya menatap haru bangun lantai dua di hadapanya.

Mimpi Gisela menjadi nyata, meskipun adiknya itu sudah di tenang di Surga. Toko bunga yang memikat hati Gibran, terlebih lagi pemilik toko bunga itu adalah pemilik hatinya.

Berjalan ragu, Gibran memutuskan untuk masuk. Langkah kakinya terhenti di depan pintu kaca, merapikan rambutnya sebentar, lalu melepas kaca mata hitam yang bertengger di matanya. Jas kerjanya sudah dia tanggalkan dan di lempar begitu saja di jok belakang.

Kedua lengan kemejanya di lipat sampai siku, dua kancing teratas kemejanya dia lepas begitu saja. Setidaknya dia harus bisa membuat Dira terpesona pada penampilannya.

Gibran berdehem sebentar, sebelum membuka pintu, suara lonceng terdengar sesaat setelah pintunya terbuka. Gibran melenggang masuk ke dalam.

Toko bunganya sepi, hanya ada seseorang wanita di meja kasir. Meskipun wanita itu membelakangi Gibran.

Dia tau siapa pemilik tubuh itu, lelaki itu tidak akan pernah melupakan tubuh wanita yang telah melahirkan ketiga anaknya itu.

...

Suara lonceng terdengar tidak membuat Dira menghentikan diri merapikan beberapa bunga. Ami sedang istirahat.

"Permisi, Mbak. Saya mau cari buket bunga untuk istri saya." Suara itu familiar di indra pendengarnya

Dira membalikan tubuhnya lalu menatap pelanggan tokonya. Tubuh wanita kaku seketika sesaat setelah melihat wajah pelanggannya.

"Mas Gibran---" suara Dira terbata-bata, wanita itu agak syok dengan kunjungan mantan suaminya itu.

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang