Chapter 29

18.7K 1.5K 124
                                    


"Ai..." panggilan itu membuat Aita mendongakan kepalanya, dia mencari sumber suara yang memanggilnya tadi.

"Aita..." suara itu sangat terdengar lemah, dan Aita langsung berdiri menatap tubuh Ardela yang tidak berdaya dia atas ranjang.

"O-ma?" tanya Aita kaku, 'ugh sial, kenapa the devil oma bangun disaat yang tidak tepat sih.' Aita menekuk wajahnya, tangannya terlipat didada.

"Bentar dulu, jangan bicara," sela aita saat Ardela ingin mengucapkan sesuatu. Aita merendahkan tubuhnya membantu Omanya untuk duduk.

"Oma bangun karena apa?" Setelah menyadarkan punggunya dikepala ranjang, Ardela tersenyum kecil menatap duplikan puterinya.

"Karena suara kamu, kamu ingin oma berubah kan?" kedua mata Aita menyipit, "Oma punya rencana apa lagi?" tuduh Aita cepat, tidak semudah itu Ardela bisa berubah kan? Kalau bukan ada alasan sesuatu dibaliknya.

"Ti-tidak ada Ai, hanya... Oma lelah hidup seperti ini," ujar Ardela putus asa, Aita diam, gadis itu tidak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun.

"A...Ai panggil mama dulu." Aita bangkit meninggalkan Ardela, Aita yang cerewet tiba-tiba kehilangan suaranya.

"Ma...Mama!" Teriakan Aita mampu membuat Ardela terkejut luar biasa. Wanita setengah baya itu menghela napas panjang. Perkataan Aita mampu menyentuh relung hatinya yang paling dalam, dan satu lagi mimpi itu.

Gisela, puterinya itu selalu hadir dalam setiap mimpinya selama setahun belakangan. Puterinya hanya ingin, dia menjalani masa tua dengan tenang, tanpa ada dendam dihati.

Ardela mejamkan penglihatannya, dia akan mencoba memulainya, diakan berubah untuk kebaikan. Biar disisa hidupnya dia bisa menjalaninya dengan tenang.

...

"Ma...Mama!" hampir saja Candra menjatuhnya tumpukan piring yang ada di tangannya, kelakuan kakaknya itu memang kurang kerjaan. Teriak-teriak, padahal jarak mereka kurang dari 5 meter.

"Apa sayang," sahut Dira, tangan ibu tiga anak itu masih penuh dengan busa.
"Oma udah sadar," ujar Aita sambil mencomot sepotong sayap ayam goreng yang sedang Candra tata diatas piring.

"Ai!" geram Candra, saat tau sepotong ayam goreng telah hilang. "Apa? Cuma satukan? Itu aja udah marah." Aita menjulurkan lidahnya. Candra menahan geramannya. Remaja itu mendumel tidak jelas sambil menata meja makan.

"Gih, panggil Bagas, terus kamu bantu tante Ami tutup toko, udah sore juga." Aita menganggukan kepalanya antusias, dia berjalan pelan, lalu mencomot sepotong ayam lagi, dan membuat Candra berteriak lagi.

"Aita!" Dira terkikik geli melihat keresahan Candra, Aita selalu jahil.
"Mama tinggal kedalam dulu ya." Candra tersenyum menatap sang ibu, Dira berjalam kearah kamarnya sambil membawa nampan berisi bubur ayam dan obat Ardela. Sebenci apapun dia dengan Ardela, wanita itu tidak mengabaikan kalau orang itu sakit, dia masih punya hati.

Ardela membuka kedua matanya saat suara langkah kaki mendekat, Dira berjalan dengan tenang kearahnya. Tidak ada raut benci. "Mama udah sadar?" pertanyaan Dira membuat Ardela terdiam.

"Mama makan dulu, lalu minum obat terus lanjut istirahat. Malam ini kita nginap disini atau mama mau pulang?" Mendengar Dira memanggilnya mama membuat Ardela ingin menangis, tidak seharusnya Dira berbaik hati merawatnya.

"Ma-ma disini aja," cicitnya pelan, Dira tersenyum kecil mendengarnya.

"Mama kurusan ya? Nggak seperti dulu." Perkataan Dira membuat Ardela menundukan kepalanya.
"Mulai sekarang, mama tinggal bareng Dira sama Triplets ya? Mama mau?" Ardela mendongakkan kepalanya, kelopak matanya penuh dengan air mata. Wanita paruh baya itu segera memeluk Dira, dia menangis sekencang-kencangnya.

Dira ikut menangis dibalik punggung Ardela, mengusap pelan punggung mantan mertuanya. "Maafkan mama Ra, mama tau mama salah. Banyak kesakitan yang mama berikan pada kamu, namun kamu membalasnya dengan kebaikan. Seharusnya kamu benci mama." Tangis Ardela semakin menjadi, punggung bergetar hebat.

"Dira udah maaffin mama. Mungkin kisah ini harus ada dijalan hidup kita. Semua adalah skenario Tuhan, sebagai umatnya kita hanya menjalaninya saja." Kedua wanita beda usia itu saling memeluk erat, dibalik kebencian yang ada dihati Ardela, wanita itu akhirnya bisa bernapas dengan lega. Bebannya yang dia rasakan selama ini seolah lenyap entah kemana.

"Tan...te?" Ardela mendongkan kepalanya, manik biru itu menatap kearah pintu masuk. Rara diam terpaku disana.
"Rara?"Ardela melepas pelukannya dengan Dira, wanita paruh baya itu mencoba untuk bangun dari ranjangnya.

Berjalan tertatih kearah Rara yang masih terpaku disana. Dira membalikan tubuhnya, melihat Ardela yang berjalan kearah Rara, dan langsung memeluk wanita hamil itu.

Rara masih tidak bergerak, saat Ardela memeluknya erat. Tak ada respon dari Rara, meskipun Ardela menangis dan mengucapkan kata maaf, namun sudut matanya menahan air mata.

"Maafkan tante, Rara. Tante sangat bersalah dengan kamu. Maafkan tante." Rara tidak bisa menahanya lagi dia langsung memeluk Ardela, meskipun terhalang perutnya yang besar.

"Rara nggak bisa benci sama tante, kata Gisela tante hanya tersesat." Dira tersenyum melihat semua ini. Ya Ardela pantas menerima maaf darinya dan juga dari Rara.

"Tuhkan bener Tante, Oma udah 'sadar'" Aita tersenyum lebar menatap layar smartphone Lary, gadis remaja itu dengan sigap mencurinya dari Lary.

"Kamu nih, Tantekan ikutan sedih," ujar Zinnia mata masih merah, dia menangis melihat mamanya.

"Tante sih tinggalnya jauh, kalau deket kan bisa ikut main sinetron nan." Aita terbahak, Zinnia hanya bisa menahan amarahnya pada keponakannya itu.

"Kamu ya, orang lagi maaf-maaffan. Malah kamu bilang main sinetron." Aita tersenyum lebar.

"Biarin aja, terserah Ai."
"Tante beneran udah maafin devil oma?" tanya Aita penasaran.

"Tante nggak bisa benci sama dia Ai. Susah rasanya, tante hanya kecewa sama oma kamu itu." Mata Aita melotot.

"Oma siapa, omanya Ai itu orang baik, bukan orang jahat."
"Eeh kamu, masih kecil nggak boleh ngomong gitu!" Aita mengerucutkan bibirnya, Zinnia sudah marah.

"Ta-pi..."
"Nggak ada tapi-tapian Ai, kamu itu juga perempuan," Aita memutar bola matanya jengah dia sudah bosan mendengar ceramah Zinnia.
"Eeh dikasih tau malah ngeyel ya, awas kamu. Kalau tante ketemu kamu, tak jewer telinga kamu." Zinnia terus mengoceh, Aita hanya tersenyum mendengarnya.

"Iya iya terserah tante," ujar Aita pelan, "Bye tante." Aita memutuskan sambungan video call itu sepihak, tantenya itu adalah tukang ceramah no tiga setelah tante Rara, jangan tanya yang pertama, karena sudah jelas orang itu adalah Dira.

"Uncle, ini ponselnya, maaf ya qoutanya tersedot habis." Aita membalikan tubuhnya menatap Lary tanpa rasa bersalah.
"Kalau nggak habis nggak akan kembali, Ai. Kamu kira uncle nggak tau apa." Aita tersenyum miring, "Tuh, kan oma udah tau sifat Ai. Jadi jangan marah-marah. Nanti anaknya mirip Ai kan berabe." Aita terkekeh, lalu meninggalkan Lary yang melongo.

"Itu kakak mu..."
"Itu juga kakak mu Gas, bukan aku aja."
"Oh shit. Kenapa dia punya sifat kayak gitu, nggak tau malu."
"Entahlah." Kedua adik Aita hanya bisa menghela napas panjang melihat tingkah Aita.

Aita itu memang aneh, tapi istimewa untuk keluarga mereka. Aita adalah setitik cahaya dikeluarga mereka. Gadis itu akan melakukan perubahan besar. Itu yang Candra lihat.

TBC..

Monggo dikomen, jangan lupa vote.

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang