Chapter 45

823 132 11
                                    

"Mas Gibran nggak kerja?" Akhirnya Dira berani bertanya setelah beberapa kali mengurungkan bertanya pada mantan suaminya, Gibran malah terlihat santai di ruang tamu, meskipun sudah berpakian rapi, lelaki itu masih duduk santai sambil memainkan ponselnya.

"Siangan," jawab Gibran, lelaki itu mendongakan kepala, lalu merentangkan kedua tanganya, "sini, Mas kepengen meluk kamu." Dira masih berdiam, wajahnya memanas, kenapa Gibran tiba-tiba ingin memeluknya, tadi malam lelaki itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya, membuatnya terkejut, "aku pengen tidur sambil meluk kamu," Dira ingat bisikan Gibran tadi malam, alhasil ia tidur dalam dekapan mantan suaminya.

Lama menunggu Dira, Gibran melangkahnya kakinya, lalu menarik Dira kedalam pelukanya, "aroma kamu bikin mas tenang, apapun yang terjadi kamu tetap istrinya aku." Gibran menahan kepalanya, lalu mendekapnya erat, entah apa maksud perkataan Gibran, namun yang pasti Dira merasa aman berada di dekapan lelaki yang berstatus mantan suaminya itu.

"Kamu jangan ke toko dulu ya, ada yang mau mas katakan." Sebelah tanganya Gibran menyentuh pipi Dira, hal itu membuat wajah Dira terasa panas, hembusan napas Gibran menerpa kulit wajahnya, bulu romanya meremang, "Kamu makin tua tambah makin cantik," bisik Gibran, lelaki itu malah semakin menekan tubuh Dira, "Mas pengen cium kamu," ucapan Gibran membuat Dira cepat mengalihkan wajahnya, "Mas nanti ada orang yang lihat," ucap Dira terbata-bata, dia berusaha untuk lepas dari Kungkungan Gibran.

"Ya udah nanti aja mas cium kamu," ucap Gibran melepaskan pelakannya, namun tiba-tiba lelaki itu malah mengecup sekilas pipi Dira, "wajah kamu merah banget, tapi mas makin suka." Gibran memilih pergi ke dapur, sebelum menerima amukan Dira.

"Mas Gibran!" Gibran tertawa, hal itu membuat Dira sebal, wanita itu memilih untuk pergi ke kamarnya, untuk mengambil ponselnya, karena HPL-Rara tinggal 3 Minggu lagi, Dira memilih untuk mengunjungi adik iparnya itu.

Suara notifikasi pesan masuk membuat Dira cepat-cepat mengambil ponselnya, mungkin Rara yang mengiriminya pesan.

Dira mengerutkan dahi, saat nomor yang tidak terdaftar di kontaknya mengiriminya pesan, jantung bertalu dengan cepat, keringat dingin mengucur keluar, "Aita, Bagas, Candra." Gumam Dira, itu bukan mereka anak-anaknya pergi sekolah, tida mungkin, foto itu mungkin editan.

Sebuah pesan tiba-tiba masuk, seolah tahu Dira masih berada di ruang obrolan itu.

"Apa kabar manis? Masih ingat aku, anak-anak mu cukup bisa membuatmu keluar dari persembunyian bukan?" Perut terasa di lilit, kepalanya pening, dan tiba-tiba ia ingin muntah.

"Zio--" gumam Dira, tubuhnya limbung, namun ia merasa seseorang menahan tubuhnya hingga tidak bersentuhan dengan lantai.

"Ada apa?" Tanya Gibran panik, Dira tidak bersuara, namun wajanya bersimbah air matanya, "Anak-anak mas." Gibran mengambil ponsel Dira, "Bangsat! Bagaimana bisa!" Dira meraung, kalau bisa ia ingin bertukar tempat dengan anak-anaknya, ketiga anaknya pasti tersiksa. Gibran, apakah lelaki di sampingnya ini tahu masa lalunya.

"Kamu tenang aja okey, Aldo dan Lary yang akan mengurusnya," ucap Gibran menenangkan Dira, ia memeluk Dira yang masih menangis.

"Anak-anak bakalan aman, mereka nggak mudah di bodohi." Gibran mengusap pelan punggung Dira, "tapi mereka,masih kecil. Kalau misalnya mereka di--"

"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Mereka bakalan aman, aku janji." Gibran berkata yakin, Karna sebelum ini Lary dan Aldo sudah memprediksi penculikan anak-anak, oleh sebab itu Bagas sudah di bekali dengan ponsel rakitan, meskipun data seluler mati, tapi ponsel itu masih bisa mengirimkan sinyal sos.

Namun bagaimana jika ponsel itu di ambil, Gibran mencoba untuk tentang, tapi ia juga merasa kalut, kenapa Zio harus mengikut sertakan anak-anaknya. "Hidup lo nggak akan tenang, kalau anak-anak gue luka sedikit pun," janji Gibran dalam hatinya

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang