Seraut wajah terpampang di depan cermin besar. Garis rahangnya tegas, sorot matanya tajam, dan jangan lupakan dua warna berbeda yang menambah sisi unik dari pemuda berusia dua puluh lima tahun itu. Sayangnya, keindahan yang dimaksudkan di kedua matanya itu, justru ia artikan sebagai kesialan yang tak bisa di ganggu gugat.
Jungkook membenci matanya, sangat. Karena meski para hyung dan kekasihnya sendiri mengatakan bahwa kelainan miliknya adalah definisi nyata dari indah, nyatanya Jungkook lebih memilih menenggelamkannya dibalik softlens yang selalu ia kenakan.
Karena perbedaan itulah yang akan mengingatkannya pada sumber kesakitannya. Mengingatkannya pada muara luka yang selama ini mati-matian ia tenggelamkan ke dasar samudera. Jungkook membenci matanya, karena bagian itu mengingatkannya pada ayahnya.
Ayah yang memiliki heterochromia persis seperti miliknya. Dengan warna serupa, tanpa beda, tanpa cela. Jungkook sempat menyukainya, sebelum akhirnya berbalik membenci setengah mati.
Lantaran mata itu, mengingatkannya tentang bagaimana kedua orang tuanya meninggalkan ia sendirian. Meninggalkan Somi untuk ia tanggung sendirian. Membuat Jungkook terpaksa menghalalkan segala cara demi bisa membuat adiknya tidak kelaparan. Terlunta-lunta di jalanan pada usia yang seharusnya masih mengenyam pendidikan.
Jungkook lima belas tahun saat itu. Saat dirinya sadar, bahwa dia ditinggalkan. Ingin marah, tapi pada siapa? Binar polos di mata Somi saat menatapnya, membuat Jungkook lagi-lagi menghela napas pasrah. Memilih mengabaikan marahnya, dan bergegas mencari penyambung hidup untuk dia dan adiknya.
Hingga takdir membawanya untuk bertemu dengan Seokjin. Tepat di depan sebuah ruko, tepat setelah Seokjin menyelesaikan misinya. Tepat setelah Seokjin selesai menancapkan sebuah pisau di perut seseorang. Jungkook masih terlalu kecil saat itu, saat kemudian Seokjin terburu-buru membawanya, mengantarnya pulang.
Jungkook yang penasaran, lantas mengikuti Seokjin setelah pemuda itu beranjak meninggalkannya. Diam-diam ikut masuk ke markas yang dimasuki Seokjin. Dan tanpa ragu mengatakan dengan lantang bahwa ia ingin bergabung.
Dan begitulah bagaimana awal mula Jungkook merubah hidupnya. Memang bukan jenis pekerjaan yang baik, tapi ia tidak peduli. Selama itu menghasilkan uang, maka Jungkook tidak pernah mempermasalahkan. Selama adiknya bisa makan dan hidup dengan layak, Jungkook rela menukarkan apapun yang ia punya.
Jungkook menutup matanya, mengahalau ingatan yang seenak hati melesak masuk di kepalanya. Menambah pening yang sudah tercipta sedari tadi. Ia rebahkan dirinya di atas tempat tidur, persis di samping Lisa yang kini tengah terlelap.
Lisanya. Iya, Jungkook biasa menyebutnya begitu.
Perempuan berhati lembut yang mampu meruntuhkan pertahanannya. Mampu membuatnya mengingkari janjinya sendiri untuk tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Karena nyatanya, kini ia jatuh sejatuh-jatuhnya pada makhluk berparas manis yang tengah lelap di depannya.
Dengan gerakan pelan, Jungkook mengubah posisinya jadi menghadap ke langit-langit. Angannya menerawang jauh, memikirkan bagaimana ia akan membawa Lisa ke masa depannya nanti. Jungkook benar-benar harus bertaubat kalau serius ingin menikahi Lisa. Setidaknya, kesesatannya biarlah jadi masa lalu. Di masa depan nanti, ia akan memulai sesuatu yang lebih indah bersama Lisa.
Baru hendak memejamkan mata, ponsel di atas nakasnya berdering. Dengusan kesal jelas terdengar dari mulutnya, meski tangannya tetap terjulur guna mengangkat panggilan.
Jennie Noona
Jungkook mengernyit, membaca sekali lagi nama yang tertera sebelum akhirnya mengangkat panggilan.

KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] DARK | LIZKOOK
FanficBagaimana rasanya menjadi kekasih dari seorang pembunuh bayaran? Menahan kekhawatiran setiap kali misi terlarang dikumandangkan? Tanyakan pada Lisa. Lisa merasakannya. Menjadi kekasih seorang pembunuh bayaran ulung bernama Jeon Jungkook. Harus menah...