Di sepanjang jalan, sejauh kakinya melangkah, yang didapatinya hanyalah kehampaan tak berujung. Gelap yang hanya bergantung pada selorot cahaya dari kejauhan. Jungkook melangkah setapak demi setapak, bau lumut dan udara lembab menyeruak memasuki indera penciumannya. Kelebat demi kelebat bayangan menghujam memorinya, melambatkan langkahnya, menyeruak di kepalanya.
Dalam sela remang yang memenuhi retina, ada sebuncah perasaan yang muncul ke permukaan. Ada rindu yang menyeruak tanpa bisa ditahan. Dalam jarak pandangnya, ada sosok yang selalu ingin ditemuinya.
Ada Appa dan Eomma disana, pun ada dirinya dan sang adik yang tengah bermain-main. Merasa dejavu, Jungkook ingat sekali kapan dan dimana momen manis ini tercipta. Hari itu, di bawah bayangan sakura, Jungkook berlarian mengejar Somi sambil tertawa riang. Appa dan Eomma menyaksikan sembari menggelar tikar dan menyiapkan keperluan piknik.
Tanpa permisi, titik bening membasahi pipinya. Memori itu, hal terindah dalam hidup yang ternyata ia lupakan. Kenangan itu, menjadi hal baik pertama yang kembali di ingatannya.
Lantas bayangannya menghilang, berganti secepat kilat cahaya. Disana, lagi-lagi keluarga bahagianya kembali diperlihatkan. Eomma yang tengah memasak, dan Appa yang menemani Somi bermain rumah-rumahan. Jungkook sedang merajuk kala itu, lantaran hujan yang datang tanpa permisi menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke taman bermain. Kekesalannya segera sirna lantaran sang ibu yang kemudian datang sambil membawa cookies cokelat kesukaannya. Mendekap erat tubuhnya dari belakang lantas membawa tubuh kecilnya dalam pangkuan.
Ah, masa-masa itu, bukankah terlalu sayang untuk dilupakan? Air matanya menderas, kakinya tak lagi sanggup jadi tumpuan. Bukankah keluarga mereka begitu sempurna dulunya? Lalu sekarang, kenapa hanya tersisa dia dan adiknya? Kemana hilangnya kasih sayang yang dulu tercipta? Kepada siapa kasih itu kini bermuara?
Lagi-lagi, bayangan berganti. Yang ada di hadapannya kini, adalah masa terburuk dalam hidupnya. Dimana kecupan serta usapan lembut di kepalanya merupakan salam perpisahan. Di luar hujan badai, tapi orang tuanya tetap bersikeras untuk pergi. Appa bahkan tak lagi melihat kearahnya dengan dalih terburu-buru. Hanya Eomma yang masih sempat mencium pipinya, mengusap kepalanya, dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
"Eomma," bisiknya, pada tembok batu yang berlumut.
Jungkook bersimpuh, menangisi hidupnya, meratapi ketidakberdayaannya. Meski ditutup sedemikian rupa, nyatanya ia masihlah seorang anak yang merindu pada orang tua. Di sangkal sekuat apapun, nyatanya dendam kesumat yang selalu digaungkan, hanyalah manifestasi dari rasa ingin bertemu.
"Sekali lagi, Eomma, kembalilah padaku sekali lagi." Bibirnya bergetar, tak lagi mampu menggumamkan kesombongan yang selama ini terpampang di depan mata.
Seperti roll film, lagi-lagi bayangannya berganti. Kini tidak ada lagi orang tuanya, tidak ada lagi adiknya. Masih ada dirinya versi anak-anak disana, bersama seseorang lain yang sekarang ia kenal sebagai Park Jimin.
Ia ada disana, membawa toples berisi kupu-kupu yang tutupnya sudah dilubangi. Dia ada disana, mencoba memanjat jendela dengan kaki-kakinya yang kecil. Lalu tersenyum puas saat usahanya membuahkan hasil. Terus berulang hari demi hari, hingga tiba saatnya ia datang dengan sweet pea di tangan. Meletakkannya di tepi jendela, lantas berlari menjauh sambil mengusap air mata yang tak berhenti jatuh.
Tidak selesai sampai disitu, tembok itu masih memutar saat dimana Jimin menemukan sweet pea yang ia tinggalkan. Jelas terlihat bagaimana mata Jimin mulai berkaca-kaca setelahnya. Tidak butuh waktu lama hingga tangis yang ia tahan akhirnya pecah. Hendak melompat keluar jendela untuk mengejarnya kalau saja Hoseok tidak segera menahan tubuh kecilnya.
Jungkook tidak tahan lagi. Seluruh penggalan memori masa silam itu membuatnya gila. Satu yang ia simpulkan; bahwa Jimin benar. Ia mengenal Jimin jauh sebelum hari ini. Dan dia juga yang meninggalkan tanpa alasan.
Bisakah--, bisakah waktu diputar kembali? Jungkook ingin mengambil lagi sweet pea yang ia tinggalkan. Jungkook ingin memanjat lagi jendela rumah Jimin. Jungkook--, Jungkook ingin bermain bersama lagi. Bisakah?
Ia meremas rambutnya, menghalau pening yang mulai merambat. Mengusap lelehan air mata yang telah membanjiri pipi. Hingga usapan lembut di pundak membuatnya mendongakkan kepala. Ada Lisa yang kini tersenyum manis di hadapannya, mengusap pelan pundaknya yang masih bergetar.
"Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Menangis saja, pembunuh pun tetap manusia."
Begitu ucapnya, yang justru semakin membuat Jungkook terisak dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Lisa. Hangat, nyaman, persis seperti pelukan Eomma. Lagi-lagi, Jungkook merindukannya.
"Aku melupakannya, aku melupakan hampir seluruhnya. Aku melupakan Jimin, melupakan hal-hal yang sebenarnya indah. Aku ini manusia macam apa? Kenapa yang tersisa bahkan hanya rasa sakitnya?"
Usapan di punggung membuatnya semakin nyaman, semakin enggan melepaskan dekapan.
"Tidak apa-apa, kubilang. Monster sekalipun bisa merasakan sakit, rasa sakit itu manusiawi, membuktikan kalau kau masih hidup dan punya hati."
Tutur katanya sederhana, namun sarat makna dan menggetarkan jiwa.
"Lisa, tetaplah bersamaku. Apa jadinya aku tanpamu?"
Dingin kembali menyergap kala gadisnya melepaskan rengkuhan. Menatapnya sendu dan sorot mata tak terbaca.
"Tanpaku, kau akan tetap hidup. Tanpaku, kau masih akan baik-baik saja. Jangan meratapiku, jangan menganggapku segalanya. Aku datang hanya untuk berpamitan."
Kedua netranya membola, terlalu tak percaya dengan apa yang ia dengar. Apakah itu sebuah salam perpisahan?
"Hiduplah dengan baik, aku masihlah Lalisa yang mencintaimu sampai napas terakhir. Kau boleh menangis, kau boleh jatuh, tapi berjanjilah untuk kembali bangkit. Jangan lupa minun vitaminmu, pakai baju hangat saat musim dingin, berbuat baiklah pada orang lain."
Ada getar tertangkap telinga, ada tangan gemetar kala mengusap wajahnya.
"Jaga dirimu baik-baik, aku pergi."
"Tidak, Lisa, kau mau kemana?!"
Lisanya beranjak, berbalik arah dan melangkah pergi. Sedang Jungkook disini kehilangan kekuatannya. Tidak sanggup berdiri, hanya mampu meratap kepergian Lisa dari tempatnya.
Apakah seperti ini akhirnya? Apakah dia memang terlahir hanya untuk ditinggalkan? Seburuk itukah? Semenyedihkan itukah?
"Tidak, Lisa, kembalilah!"
"LISA!"
"LISA!"
Deru napasnya tak beraturan, peluh membasahi seluruh tubuhnya. Yang itu tadi, apa?
Jungkook mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Jam masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Itu hanya mimpi. Itu hanya bunga tidur.
Tapi, Jungkook jadi mengingat semuanya. Kepingan yang selama ini ia lupakan. Itu tadi tempat apa? Kenapa segalanya terasa amat menyedihkan sekarang?
Itu hanya mimpi, Jungkook berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya bunga tidur.
Tapi kenapa, kehilangannya terasa amat nyata?
Hai, apa kabar? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] DARK | LIZKOOK
Fiksi PenggemarBagaimana rasanya menjadi kekasih dari seorang pembunuh bayaran? Menahan kekhawatiran setiap kali misi terlarang dikumandangkan? Tanyakan pada Lisa. Lisa merasakannya. Menjadi kekasih seorang pembunuh bayaran ulung bernama Jeon Jungkook. Harus menah...