21 | Mianhae, Jeongmal Mianhae

3.8K 445 53
                                        

Ada yang terasa, tapi tak teraba. Dekat, namun tersekat. Kiranya seperti itulah yang dirasakan Jungkook sekarang. Berdiri berhadapan dengan yang terkasih di depan mata. Tidak bisa dipungkiri jika memang rasa itu masih ada, terus bertambah dan tak ada yang bisa menghentikannya.

Pada buana yang fana, dia hanya ingin sekali saja mencecap bahagia. Pendar netranya menyendu, menjeremba demi meraih secarik undangan yang tak pernah ia harap sampai dari sosok yang selama ini ia damba.

"Apa kau bahagia?"

Di antara ribuan kalimat, Jungkook tidak bisa memilah mana yang lebih tepat untuk diucapkan. Mencoba bersikap biasa saja, kendati gejolak dalam hati meronta meminta untuk kembali pada sang pemilik.

Sedang di hadapannya, Lalisa sama sekali tidak berani menjawab. Ada yang tercekat di tenggorokan, mencekiknya dengan rasa bersalah.

"Kau berhak bahagia, dengan atau tanpaku."

Diiringi sesak yang menjalari hati, Lisa menyerah. Lembayung dijadikan saksi bisu bagaimana ia menghambur ke pelukan Jungkook, menumpahkan seluruh air mata sembari melafalkan maaf berulang kali.

"Mianhae, jeongmal mianhae," suaranya teredam di antara isakannya.

Lantas setelahnya tak ada lagi yang bersuara. Bohong bila dikatakan segalanya baik-baik saja. Karena pada akhirnya, Jungkook harus kembali merasakan sakitnya ditinggalkan. Pun dengan Lisa yang mematahkan hatinya sendiri.

****

Lain Lisa, lain pula Jimin. Pemuda itu berdiri di depan sebuah pusara, tempat peristirahatan terakhir milik seseorang yang amat berarti dalam hidupnya. Ada segumpal nelangsa tak bisa dielakkan. Percuma marah, percuma mendendam pada semesta. Sejak awal pula, hidupnya laksana permainan.

Ia mengulas senyum, mengeratkan pegangan pada gagang payung dalam genggaman demi bertahan dari rerintikan hujan yang turun begitu deras. Berharap sakitnya teredam diantara titik-titik hujan yang jatuh ke tanah, mengubur serta seluruh renjana yang tersisa.

Sebuah nisan bertuliskan nama Park Hae Ran ia usap dengan penuh kehati-hatian, sarat akan cinta dalam setiap sentuhannya. Tanpa sadar, air matanya menetes, jatuh tepat di atas pusara sang ibunda.

Masih segar dalam ingatan Jimin, bagaimana sang ibu meregang nyawa tepat di hadapannnya lantaran timah panas yang menembus dadanya. Masih terekam jelas tentang senyum terakhir Haeran tepat sebelum ia menutup mata. Sejak saat itu, dunianya ikut hancur.

Semakin hancur lagi saat tahu kenyataan bahwa pelaku penembakan tidak lain dan tidak bukan adalah ibu tirinya, Park Myunghee. Jimin tahu, karena gelang kaki yang Myunghee kenakan sama persis seperti gelang yang dikenakan pelaku.

Awalnya Jimin pikir semua itu hanyalah kebetulan. Tapi setelah ia telisik lebih dalam, nyatanya gelang kaki milik Myunghee hanya ada satu di dunia.

Myunghee hanya ingin harta milik ayah Jimin. Sengaja menyembunyikan Jimin dari dunia luar dengan dalih bahwa Jimin tidak suka berteman. Menghalalkan segala cara demi meminimalisir Jimin pergi ke luar dan dikenal oleh dunia. Kendati sia-sia saja, lantaran sejak awal dunia juga sudah tahu bahwa Park Yongju memiliki satu putera bernama Park Jimin.

"Eomma, aku sedang mengusahakan keadilan untuk Eomma."

Suaranya tersamarkan oleh air hujan yang tidak kunjung reda, seperti sengaja memberi ruang untuk Jimin melepaskan rindunya pada Haeran.

"Aku sudah menemukan anak yang selama ini kucari, tidak kusangka ternyata dia benar-benar dekat denganku. Kadang semesta memang selucu itu mengajakku bercanda." Tangannya tetap mengusap nisan, seolah-olah Haeran berada di hadapannya sekarang.

"Aku sakit, Eomma. Aku terlalu merindukanmu, aku ingin tidur di pangkuanmu lagi sambil mendengarkan dongeng yang kau buat."

"Tahu apa yang lebih buruk dari semua itu? Adalah ketika aku baru saja menemukan Jungkook, tapi aku harus mengambil kebahagiaannya."

Jimin menjeda ucapannya, menarik napas lantas mengusap lelehan air mata di pipinya.

"Aku akan menikahi kekasihnya dalam waktu dekat. Bukankah itu buruk sekali? Tapi, Eomma, putramu ini tidak akan melakukannya. Aku terlampau mencintai Chaeyoung hingga tidak bisa membayangkan untuk menikahi perempuan selain dirinya."

"Eomma, ada banyak hal yang harus kulakukan setelah ini. Aku hanya ingin restumu di setiap langkahku. Aku akan memperjuangkan apa yang memang seharusnya kuperjuangkan."

Jimin berdiri, tidak melepaskan tatapannya dari pusara Haeran. Seolah berat sekali meninggalkan ibunya sendirian lagi.

"Aku pergi dulu, Eomma. Aku menyayangimu."

Dan kakinya ia bawa menjauh, pergi meninggalkan area pemakaman dengan hati yang lebih lapang. Berharap jika ia benar-benar membawa restu ibunya dalam setiap jejak langkahnya.

****

Detik berjalan, waktu berlalu. Ada rindu yang menggelayut, ada sesal yang merajam bagai sembilu. Lisa masih setia berdiri di depan cermin besar dengan gaun pengantin yang melekat sempurna di tubuhnya.

Fitting baju pengantin. Momen yang harusnya membahagiakan jika saja dilakukan bersama yang tercinta. Tapi bagi Lisa, semua terasa hambar. Hampa sebab bukan Jungkook yang menjadi pasangannya.

"Bukankah mempelai wanita tidak boleh bersedih menjelang hari pernikahan?"

Suara lembut Jennie mengalun masuk dalam rungunya, membuat bahu Lisa yang tadinya tegap jadi meluruh. Ditatapnya sosok yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

"Apa sekarang aku terlihat begitu jahat karena tampak menyesal menikah dengan Jimin, Eonnie?" lirihnya.

"Apa kau menyesal?" Jennie balik bertanya, sembari tangannya sibuk melepaskan resleting gaun yang Lisa kenakan.

"Tidak. Hanya saja, aku merasa Tuhan sedang menegurku karena aku terlalu sombong. Aku selalu sesumbar bahwa tidak ada yang bisa memisahkanku dengan Jungkook, bahwa aku bisa menolak perjodohan ini karena ayah membebaskanku memilih. Tapi pada akhirnya, aku justru berakhir dengan Jimin. Aku tidak menyesal untuk membantu hidup seseorang, hanya saja, Tuhan sepertinya marah padaku hingga membawaku pada dilema yang tidak ada habisnya."

Jennie tidak menjawab, memilih mengusap rambut panjang milik Lisa. Hatinya ikut sakit mendengar penuturan Lisa, teringat lagi bagaimana hubungannya dengan Yoongi yang harus kandas di tengah jalan.

Baru saja perempuan itu hendak membuka mulut, siaran berita dari televisi lokal membuat fokusnya terpecah. Sebuah kecelakaan beruntun disiarkan disana. Parah sekali. Tiga mobil berjejer dengan kondisi rusak parah, salah satu pintu bahkan terlepas dari badan mobil.

Tidak lama berselang, ponsel yang ada dalam genggamannya berdering. Menampilkan nama Seokjin sebagai penelepon. Detik berikutnya, apa yang dikatakan oleh Seokjin membuat dunianya seolah berputar dan matanya memanas.










"Segera datang ke Namsin Hospital. Kecelakaan beruntun siang ini, Jimin salah satu korbannya."

______

Hehehhee. Chapter ini ga ngefeel, I know. Aku ngerasa terlalu maksa ceritanya disini. Seperti judulnya, aku minta maaf.

Sabar. Dikit lagi selesai kok. Ini baru detik-detik.

Detik-detik menuju part yang bikin emosi, hehe.

Haha hehe haha hehe. Dahlah. Bye 😙

[✔] DARK | LIZKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang