Warning! Sorry for typos. Aku ngetiknya sambil nangis.
Lunar muncul di peraduan, membungkam sepi yang menjalari hati. Senandika yang tak sampai menyuarakan asa, gamang atas apa yang akan terjadi setelahnya.
Masih tergambar jelas dalam ingatan, bagaimana dia mati-matian menahan rasa ingin memaki. Bagaimana dia bersikeras mempertahankan agar kewarasannya tetap ada. Hanya karena sepenggal kata yang tak pernah diharap sampai pada rungunya.
Pada diksi yang menghadirkan nestapa. Yang menjelma menjadi elegi di tengah sandyakala. Sebait syair yang menghancurkan harap, mematahkan angan.
"Jungkook, aku menerima perjodohanku."
Dirangkum dalam satu kalimat mutlak. Pada pengertian yang dalam. Bahwasanya, dirinya tak lagi berhak.
****
Dalam ruas-ruas kehidupan, ada kalanya manusia memang harus memilih. Terjebak dalam posisi yang tak menguntungkan. Dalam kasus ini, lagi-lagi perihal hati.
Lalisa Park, tengah mencoba menguasai diri. Menata kembali hati yang sebenarnya ia hancurkan sendiri. Pada seuntai lara yang ia cipta. Dalam kegamangan lantaran merasa patah.
"Maaf, semua ini salahku."
Ia menoleh, mendapati presensi yang tak lagi asing. Senyumnya terbit, untuk lelaki yang sebentar lagi menjadi suaminya.
Sayangnya, itu bukan kekasihnya.
"Tidak. Aku yang memutuskan menerima. Lagipula, disepakati atau tidak, keputusan mutlak di tangan mereka," ujarnya.
Sejujurnya, ada yang tengah bergejolak di dalam sana. Menangis, meminta kembali pada sang pemilik.
Jimin perlahan mendekat, memasukkan kedua tangan pada saku celana. Ikut menatap arunika dari jendela. Sama sekali tidak ada niat membuka suara, hanya sesekali terdengar menghembuskan napas. Dan biar tirai jendela menjadi saksi, tentang dua anak manusia yang sama-sama melawan rasa. Memaksa menyatu untuk hati yang tak mau bersatu.
"Aku mencintai Chaeyoung," ucapnya tenang. "I love her till the end."
Lisa menghela napas. "Aku tahu. Akupun sama, mencintai Jungkook sampai mati rasa."
"Kau akan kembali padanya cepat atau lambat. Aku janji."
****
Waktu berlalu, segalanya terasa begitu cepat. Jungkook menatap lekat-lekat map merah yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Bisa saja Jungkook mengambil pekerjaan itu dan Lisa tidak akan pernah menikah dengan Jimin. Tapi hati nuraninya berkata lain. Ingin seegois apapun, Jungkook tidak bisa menyangkal bahwa di hati kecilnya, ia juga menyayangi Jimin.
Temannya.
Jiminie.
Apakah semuanya berakhir sampai disini? Apakah kisahnya terulang lagi? Ditinggalkan lagi? Sendirian lagi? Apa memang selalu begitu pada akhirnya?
Kilas balik kenangan dan perjalanan cintanya seolah berputar dalam kepala. Bermain bagai kaset rusak yang terus berulang. Jungkook meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka memang sudah berakhir.
Lisanya pergi. Lisa memilih menjemput cahayanya dan meninggalkan kegelapan.
Dan Jungkook ternyata tak sekuat itu untuk terus berpura-pura jika segalanya tetap sama. Hatinya hancur, perasaan yang ia jaga mati-matian sudah berakhir. Tangisnya pecah kala dilihatnya sosok tak asing yang tengah bersandar pada daun pintu. Menatapnya sarat akan rasa bersalah.
"Hyung.."
"Hai, Jungkook," sapa Jimin. Ada getar yang tertangkap rungu dalam suaranya.
Jimin mendekat, berjongkok demi mensejajarkan dirinya dengan pemuda yang sedang ia temui. Pemuda yang pertama kali memberinya warna.
"Maaf," ucapnya. "Aku tidak mau menyakitimu, tapi sungguh, aku benar-benar tidak punya pilihan. Maafkan aku Jungkook, maafkan aku... adik?"
Jungkook melemparkan mapnya pada Jimin. Membiarkan Jimin membaca sendiri apa yang tertera disana.
"Kenapa kau tidak pernah bilang?!"
Sejujurnya Jungkook ingin sekali marah. Ingin menghajar Jimin karena telah merebut Lisanya. Tapi dibandingkan marah, Jungkook lebih tak percaya ketika Jimin dengan santai menghampirinya seolah tanpa beban saat jelas kematian ada di depan mata.
Jadi dibandingkan marah, ini lebih seperti rasa takut. Jungkook hanya takut untuk lagi-lagi ditinggalkan.
"Kenapa dari sekian banyak manusia, harus aku yang ditugaskan membunuhmu, Hyung?! Kenapa aku?!"
"Terima saja, Jungkook."
Kedua netranya membeliak, menatap marah pada Jimin yang sesantai itu menjawab.
"Apa maksudmu, hah?! Aku baru saja bertemu denganmu setelah sekian tahun, melewati ratusan purnama, baru bisa mengingatmu dengan jelas, lalu aku harus hidup berkubang dosa dan rasa bersalah sampai mati?!"
"Kau tidak akan membunuhku."
Jungkook mengacak rambutnya frustasi. "Iya! Karena aku mungkin akan lebih dulu membunuh diriku sendiri!"
"Tidak, tidak. Kau tidak akan mengotori tanganmu dengan darahku, mereka juga tidak. Aku akan baik-baik saja. Percaya padaku."
"Aku tidak akan menerimanya. Kenapa kau tidak bilang sejak awal kalau ibumu sendiri tidak menginginkanmu? Kenapa kau menutupinya? Kau bilang kita teman, bukankah teman seharusnya saling berbagi?"
"Maaf."
Dalam satu gerakan spontan, Jimin membawa Jungkook dalam dekapannya. Mengusap punggung yang lebih muda, seolah lupa pada hatinya yang juga butuh ditenangkan.
"Aku akan selesaikan ini secepatnya, Jungkook. Aku akan kembalikan Lisa padamu. Aku janji."
"K-kalau dengan menikahi Lisa bisa membuatmu hidup lebih lama, a-aku rela. Menikahlah dengannya, bahagiakan dia. Jikapun nanti aku menyesal, biar aku yang menanggungnya sendiri."
Jimin terkekeh, meski air mata jelas menganak-sungai di pipinya. Racauan Jungkook, juga getar suaranya, sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan pertahanan yang Jimin bangun sedari tadi.
"Kau yang akan menikahinya, Jung. Aku akan menyelesaikan urusan ini segera. Mari berbahagia setelahnya."
"Hyung,"
"Ya?"
"Maaf."
"Untuk apa?"
"Karena aku baru mengingatmu. Aku sudah mengingat semuanya. Tentangmu, tentang kita, tentang bocah yang memanjat jendela," paparnya dengan suara serak.
"Tidak masalah. Yang penting aku sudah menemukanmu."
"Maaf karena aku meninggalkanmu sendirian. Sekarang tidak lagi, aku tidak akan pergi-pergi lagi."
Jimin tersenyum. Jungkook yang begini justru terlihat seperti anak kecil di matanya. Persis seperti si bocah pemanjat jendela.
"Iya, aku percaya."
Dan usapan itu terus berlanjut. Saling menenangkan satu sama lain, saling bercerita, saling menyembuhkan.
Tuhan, bisakah tetap seperti ini saja?
___
Sengaja up cepet. Kenapa? Karena aku mau bertapa dulu nyari doi. /g
Aku mau nyari ending. Tungguin. Jangan kemana-mana :"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] DARK | LIZKOOK
FanfictionBagaimana rasanya menjadi kekasih dari seorang pembunuh bayaran? Menahan kekhawatiran setiap kali misi terlarang dikumandangkan? Tanyakan pada Lisa. Lisa merasakannya. Menjadi kekasih seorang pembunuh bayaran ulung bernama Jeon Jungkook. Harus menah...