4 | Meet Park Jimin

6.3K 750 37
                                    

Lisa menatap ayahnya yang kini sibuk dengan koran, sesekali menyesap teh yang ada di hadapannya.

"Appa," panggilnya.

"Hm?"

"Appa serius menjodohkanku dengan Park Jimin?"

"Memangnya Appa terlihat sedang bercanda?"

"Appa." Lisa merengek, membuat Tuan Park melipat korannya lantas menatap putri semata wayangnya itu.

"Dicoba dulu tidak masalah, kan, Nak?"

"Tapi bagaimana dengan Jungkook? Aku mencintainya, aku mau dengannya," ucapnya.

"Appa tidak meminta Jungkook untuk menyerah. Appa memberi kesempatan pada keduanya. Jungkook masih punya kesempatan untuk membuktikan dirinya layak, dan Park Jimin punya kesempatan untuk merebutmu dari Jungkook. Adil, kan?"

"Adil apanya?" Lisa merajuk. "Tidak ada yang salah dari profesi Jungkook, kalau itu yang Appa takutkan."

"Dan tidak ada yang salah dengan Park Jimin," balas Tuan Park.

Lisa menggeram, Tuan Park terkekeh.

"Jimin orang baik, Lisa. Percaya pada Appa." Tuan Park mengusak surai Lisa.

"Dan Jungkook juga orang baik," balasnya.

"Appa tahu. Tapi orang tua tetap ingin yang terbaik untuk anaknya, kan? Appa tidak memaksa, kalau setelah ini kau tetap tidak merasa cocok dengan Jimin, ya sudah. Tapi baik-baiklah padanya, ya?"

"Sebenarnya Appa merestuiku dengan Jungkook tidak, sih? Jungkook sudah akan berhenti dari pekerjaannya."

"Ya. Tapi sampai hal itu terjadi, tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya, kan? Appa merestui kalian, sungguh, tapi naluri orang tua tetap tidak ingin anaknya dalam bahaya. Kau pasti paham. Setidaknya, bertemanlah dulu dengan Jimin. Kau tidak akan menyesal."

Lisa menghela napas. Mengerti betul maksud baik ayahnya. Lisa sendiri juga tidak bisa memastikan dirinya akan selalu baik-baik saja ketika memutuskan bersama Jungkook. Tapi Lisa mencintai Jungkook. Itu saja.

"Bersikaplah baik pada Jimin, ya?"

"Baiklah."

****

Jadi disinilah Lisa sekarang. Duduk berhadapan di sudut kafe bersama pemuda bernama Park Jimin. Dalam pandangan pertama, Lisa mengakui bahwa aura yang Jimin keluarkan seolah tanpa cela. Secara kasat mata Lisa bisa menilai bahwa pemuda di hadapannya ini benar-benar orang yang tulus. Tutur katanya halus, senyumnya juga tak pernah luntur.

"Jimin-ssi, serius kau tidak punya kekasih?"

Jimin menggeleng. "Tidak, kenapa tidak percaya?"

"Yah, kau tahu, lah. Mana mungkin orang sepertimu tidak memiliki kekasih? Itu terlihat agak mustahil sebenarnya." Lisa menyesap peppermint tea miliknya.

"Aku tidak tertarik dengan hubungan bersifat romansa seperti itu, ah, lebih tepatnya belum. Aku belum menemukan perempuan yang menarik perhatianku, sejujurnya."

Lisa memiringkan kepala. "Lalu kenapa menerima rencana perjodohan ini? Maksudku, aku tentu bukan perempuan menarik seperti yang kau maksud, kan?"

"Sebelumnya aku minta maaf, tapi kau benar. Kau cantik, aku mengakuinya. Tapi aku tidak semudah itu membuka hati untukmu. Mungkin ini terdengar menyakitkan, tapi kau bukan tipeku. Dan aku yakin kau sudah memiliki kekasih."

Lisa mendengus. Wajah malaikat macam Jimin begini bisa juga bicara kelewat santai. Tapi itu bagus, setidaknya mereka sama-sama tidak saling tertarik, bukan? Lisa bisa menjadikannya alasan untuk mempertahankan Jungkook, dan Jimin bisa menjadikannya alasan untuk keluar dari perjodohan.

"Sayangnya aku tidak bisa membatalkan perjodohan ini semudah itu, Lisa," ujar Jimin, seolah mampu membaca pikiran Lisa.

"Kenapa? Kita tidak saling mencintai, jadi menunggu apa lagi?"

"Orang tuaku. Mereka berharap banyak pada perjodohan ini. Aku tidak bermaksud sombong, tapi terkadang orang sepertiku tidak bisa menikmati hidup dengan semestinya."

"Kau bisa menolak, Jimin. Keputusan ada di tanganmu, kau yang mau menikah, bukan mereka."

"Aku hidup untuk membuat mereka senang, Lisa. Apapun asalkan mereka bahagia. Aku tidak masalah, meski harus hidup seperti boneka. Tidak apa-apa, yang penting mereka senang."

Lisa mengusap wajah. "Aku tidak tahu definisi apa yang cocok untukmu, Jimin. Kau itu kelewat baik atau kelewat bodoh. Maksudku, bagaimana kau bisa hidup dengan prinsip seperti itu? Kebahagiaan mereka bukan tanggung jawabmu. Kau berhak bahagia, untuk dirimu sendiri."

"Aku bukan orang baik, aku hanya mencoba menjadi baik. Kau benar, aku mungkin memang bodoh. Tapi aku serius, selama dua puluh lima tahun hidupku, aku terus mendoktrin diri bahwa hidupku adalah untuk membahagiakan. Hidup dan matiku hanya untuk senyum mereka. Apa aku salah?"

"Sepertinya malaikat pun kalah denganmu, Jimin."

Lisa tidak bisa lagi berkata-kata. Terlalu tidak habis pikir dengan prinsip hidup yang dianut Jimin. Bagaimana bisa ada orang seperti itu? Mementingkan kebahagiaan orang lain di atas dirinya sendiri. Mengorbankan diri demi seulas senyum dari orang-orang terdekatnya.

Itu tidak salah. Tidak sama sekali. Tapi bukan begitu konsepnya. Jimin berhak bahagia untuk dirinya sendiri. Jimin berhak berjalan di atas kedua kakinya sendiri. Bukan seperti ini. Bukan dengan terus menuruti keinginan orang-orang di sekitarnya. Bahagia bukan seperti itu. Bagaimana ada manusia dengan hati seperti Jimin?

"Kau mungkin perlu bertemu dengan kekasihku, biar dia beritahu padamu apa arti hidup yang sebenarnya."

"Wah, aku tidak sabar menantikannya."

"Tapi jangan terkejut, jangan terkena serangan jantung setelahnya."

Jimin mengernyit. "Kenapa?"

"Kekasihku seorang pembunuh."

[✔] DARK | LIZKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang