42. Melepas rindu

2.1K 329 89
                                    

Kata Dilan rindu itu berat. Ternyata, memang benar.

***

Tidak seperti kemarin saat Qinan datang pagi hanya untuk menunggu Galang, tapi sia-sia karena lelaki itu tak bersekolah. Pagi ini Qinan tak memaksakan diri untuk menunggu Galang sampai segitunya. Biarlah bertemu secara kebetulan saja, seperti kata pepatah, jodoh pasti bertemu—hanya kiasan saja, ya!

Gadis itu datang sesuai jam normal murid biasanya. Ia membuka helm pengamannya pelan, agar rambut kuncir setengahnya tak berantakan, lalu merantai sepedanya ke tiang parkiran seperti biasa.

Ia berbalik, melangkah tenang, meski kemudian sudut matanya melihat sesuatu, sehingga dia kembali mundur beberapa langkah dan menoleh ke samping kiri.

Matanya melebar dengan senyum mengembang. Ada motor Galang! Qinan yakin seratus persen jika itu adalah motor ninja hijau milik Galang.

Tahu begini dia akan datang lebih pagi tadi. Tapi, tak apa, sekarang Qinan langsung melesat memasuki sekolah dengan jari bergerak mengetik rantaian pesan yang menanyakan keberadaan Galang. Pikirnya, lebih baik bertemu sekarang, daripada nanti siang, karena bisa jadi Galang pulang lebih awal.

Hanya ceklis dua warna abu-abu yang terlihat di ujung pesan. Ia mendengkus, bertanya-tanya sebenarnya Galang pakai ponselnya untuk apa, sih? Sejak kemarin pesannya tak ada yang dibalas.

"Lo kenapa, Qi?" tanya Rama yang juga baru datang, menyelaraskan langkahnya dengan Qinan saat memasuki kelas.

Qinan tak menjawab sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Baru kemudian menatap Rama, lalu melepas tasnya dan memberikannya pada temannya itu. Berkata, "Nitip! Masuk masih lama, 'kan? Gue pergi dulu bentar."

"Lima belas menit, lagi, Qi! Oy, mau ke mana?!"

Tanpa mendengarkan seruan Rama, Qinan melangkah cepat menjauhi kelas. Ia menggenggam ponselnya, lalu memencet tombol dial sebagai tindakan terakhir untuk menghubungi Galang.

Diangkat.

Qinan sejenak tak percaya telponnya diangkat. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu UKS.

"Halo, Kak?"

"Hm?"

Benar, itu deheman serak Galang.

Dengan tangan kiri memegang ponsel yang ditempel pada telinga dan tangan kanan Qinan memegang kenop pintu UKS, ia bertanya lagi untuk memastikan. "Kakak di sekolah?"

"Hm."

Syukurlah, dugaannya benar. Qinan membuka pintu UKS, menutupnya sambil berkata dengan tegas, "Aku gak mau tau pokoknya kakak harus ke UKS, sekara—ALLAHU AKBAR!" Qinan langsung terlonjak sampai mundur menabrak pintu, ketika berbalik dan melihat orang yang ditelponnya tiba-tiba sudah muncul di depan mata.

Galang menjauhkan ponselnya dari telinga, merasa pengak dengan teriakan Qinan karena sambungan telpon mereka masih terhubung. Lantas mematikannya, dan menyimpan ponselnya di saku.

Sementara Qinan seakan masih terkejut dengan kebetulan itu. "Kakak sejak kapan di sini?" tanyanya masih kaget.

Sudah sejak awal Galang berada di UKS, untuk menumpang makan karena tak sempat sarapan di rumah. Dan kebetulan, gadis itu datang.

Galang tersenyum miring. "Gue udah dateng," jawabnya tak nyambung.

Qinan menarik napas lega. Entah kenapa rasanya senang sekali mendengar suara Galang. Seketika raut wajah terkejutnya menurun dan berganti dengan raut wajah campur aduk, antara senang, sedih, kesal, marah, dan ... rindu.

BITTERSWEET : TWINS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang