Lelaki itu melangkah menyusuri koridor kelas dua belas, kemudian berhenti di depan kelas 12 IPA 2, tepat saat seorang gadis hendak kembali ke kelas setelah membuang sampah.
Gilang langsung menahan pergelangan tangan Via, membuat gadis itu tertarik dan menghadapnya.
Kedua insan itu saling berkontak mata. Hingga Gilang berkata, "Maksud kamu apa berangkat sendiri tanpa ngabarin aku?"
Via tak menjawab membuat Gilang melanjutkan perkataannya. "Aku jauh-jauh ke rumah kamu tadi pagi, tapi kata mama kamu, kamu udah pergi sejak pagi dengan supir. Harusnya kamu ngabarin kalau mau pergi sama supir."
"Kamu marah hanya karena itu?" tanya Via.
"Aku gak marah, aku cuma—" Gilang mendesis pelan, tak bisa melanjutkan.
"Cuma apa? Capek jauh-jauh ke rumahku?" Via berkata sarkas, "Gimana rasanya kalau kamu diposisi sudah janjian dengan seseorang, tapi orang itu dengan teganya membuat kamu menunggu berjam-jam tanpa kabar?"
"Maksud kamu apa—" Gilang terdiam, langsung merapatkan bibirnya. Ketika dia teringat akan janjinya kemarin pada Via, yang dia lupakan.
"Bahkan kamu baru inget sekarang?" Via tersenyum miris, "Kayaknya aku memang gak sepenting itu 'kan buat kamu?"
Gilang berdecak, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan janji mereka kemarin?
"Bukan begitu, Vi. Maaf! Kemarin itu ... aku ada urusan."
"Hebat, kamu nyelesain urusan ketika kamu sendiri punya janji dengan urusan yang lain," sarkas Via, ketara merasa sangat kecewa. Kemarin dia bahkan menunggu sampai tiga jam lamanya. Tapi, orang yang dia tunggu malah pergi dengan urusannya sendiri dan tanpa mengabarinya.
Gilang merapatkan bibir. Tahu jika dia adalah orang yang salah di sini.
Kedua orang itu benar-benar tak sadar jika sejak tadi beberapa murid diam-diam menonton pertengkaran mereka di depan kelas tersebut. Bahkan murid kelas 12 IPA 2 yang datang pun urung masuk ke kelas.
"Kamu nyalahin aku tadi, tapi apa kamu sadar kalau kamu yang salah duluan? Kamu kira nunggu tiga jam itu sebentar?" Via berkata tajam.
Gilang menaikkan alis sebelah, lalu mengukir senyuman miring. "Setidaknya itu lebih sebentar, daripada aku yang selama ini nunggu kamu tiga tahun," balasnya telak membuat keadaan berbalik, kini Via yang merapatkan bibirnya. "Tiga tahun, Vi! Kamu tau berapa jam itu? Kamu kira berapa kali kamu gak ada kabar dan hilang kontak selama itu?" Gilang menggantung kalimatnya sebentar, menatap gadis cantik itu penuh kekecewaan.
"Kamu hilang, datang, lalu hilang, kemudian datang lagi. Entah kamu sadar atau enggak, kamu sering begitu Via." Gilang menarik rambut hitamnya ke belakang, tanda dia mulai frustasi dengan perbincangan itu. "Aku capek, kecewa. Tapi, aku tetap bertahan. Aku selalu tunggu kamu datang biar kita bisa memperbaiki semua seperti dulu lagi."
"Namun, ternyata ekspetasiku terlalu tinggi. Bukannya memperbaiki, aku merasa kita semakin jauh," kata Gilang menurunkan intonasi.
Via membalas tak mau kalah. "Kamu bilang nunggu aku, 'kan? Tapi kenapa saat aku datang, susah sekali dapat waktu kamu?"
"Kamu pikir kamu aja yang capek? Aku pun! Kamu selalu saja mementingkan hal lain daripada berurusan denganku." Mata gadis itu sudah berkaca-kaca menahan tangis.
Gilang berucap datar, "Kamu lupa? Sejak dulu, aku memang begitu. Kalau kamu capek dengan sikapku itu, kenapa baru bilang sekarang?"
Via terdiam. Lidahnya kelu, dan tenggorokannya tercekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET : TWINS ✓
Fiksi Remaja⚠️WARNING⚠️ ⚠️DAPAT MEMBUAT HATI JUMPALITAN⚠️ --- Pada awal masuk sekolah, Qinan sudah berprasangka buruk pada si ketos. Manusia jutek yang sering membuatnya terintimidasi hanya dengan tatapan tajamnya. Namun, ternyata ada yang lebih seram dari si k...