47. Penyesalan

2.3K 321 96
                                    

Warning! Siapkan tisu sebelum membaca:)

***


Suasana yang selalunya ramai dengan perdebatan, dua hari belakangan jadi kian sepi tanpa ada percakapan.

Rama melirik Res dan Kibo yang sedang memakan makanannya dengan tenang, kemudian melirik Qinan yang membuatnya langsung menghela napas pendek.

Rama bisa melihat kesedihan di wajah gadis itu. Alasannya tentu saja karena kondisi Galang. Sejak kemarin Qinan terus murung, berkali-kali menemui Gilang atau menelponnya hanya untuk menanyakan kondisi Galang—apa dia sudah sadar atau belum. Dan sampai sekarang belum ada kabar baik yang terdengar.

Rama, Kibo, dan Res, juga sedih seperti Qinan. Namun, mereka juga berusaha agar Qinan tak terlalu tenggelam dalam kecemasan tersebut. Mereka tentu tak tega melihat Qinan yang selalunya penuh keceriaan, kini jadi pendiam seperti tanpa semangat hidup.

"Qi." Qinan yang sedang mengaduk mie instannya dengan tak minat itu langsung menoleh pada Rama. Menaikkan alis sebelah penuh tanya.

"Makan yang bener, Qi. Lo gak boleh sakit lagi." Rama mengingatkan.

Qinan tersenyum seadanya, lalu menyuapkan sesendok mienya, meski tak bernafsu sama sekali.

"Qi, lo kalo mau jajan yang lain, ambil aja. Gue yang teraktir." Res berkata dengan senyuman khasnya, membuat lesung pipi gadis itu tercetak.

"Gue gak ditawarin juga, Res?" Kibo tersenyum lebar dengan mata mengerjap.

Res menegaskan. "Cuma Qinan. Ayo makan yang banyak, Qi!"

"Gak usah, Res," ucap Qinan, menolak halus. Boro-boro jajan yang lain, mie instan pesanannya saja semakin tak minat untuk dia makan.

Ketiga temannya menghela napas samar. Begitu sulitnya untuk memperbaiki suasana hati gadis itu.

Rama kemudian menepuk bahu Qinan. Dengan senyuman manis, Rama berkata, "Kita juga sama khawatirnya, Qi, tapi kita harus sabar. Doain aja semoga Kak Galang cepet sadar dan bisa sembuh."

Qinan mengangguk sekali. Dia selalu mendoakannya. Dan dia juga yakin jika Galang akan sembuh, tapi dia tetap saja tak bisa tenang jika Galang belum sadar juga sampai sekarang.

Mereka sudah selesai makan siang— meski Qinan sama sekali tidak menghabiskan makanannya. Mereka hendak kembali ke kelas, ketika ponsel Qinan bergetar dan menampilkan sebuah panggilan masuk.

Dari Gilang.

Ia kembali duduk, lalu mengangkatnya, "Halo, Kak?"

Raut wajah Qinan tiba-tiba berubah setelah mendengar kalimat singkat dari Gilang. Qinan menurunkan ponsel, menatap ketiga temannya yang menunggu ucapannya dengan tegang.

Senyuman lebar terukir. "Kak, Galang udah sadar."

***


Mata yang sudah dua hari terpejam itu, akhirnya terbuka. Retina matanya menangkap cahaya, mengirimkan sinyal pada otak melalui saraf optik, perlahan membentuk penglihatan samar di sekitarnya.

Galang mengedipkan matanya beberapa kali, hingga akhirnya semua terlihat dengan jelas. Satu buah labu infus tergantung, tersambung dengan selang panjang yang terhubung dengan lengan kirinya yang ditusuk jarum. Bunyi mesin EKG terdengar teratur di pendengarannya, dan juga sebuah masker oksigen terpasang pada hidung dan mulut—membantu pernapasannya.

Ah, rumah sakit. Sudah lama sekali Galang tak berbaring di blankar bersprai putih ini.

Sekarang tubuhnya terasa lemas sekali, hanya untuk bergerak saja rasanya sulit. Bukan hanya itu, bahkan untuk mengeluarkan suara saja tenggorokannya begitu tercekat.

BITTERSWEET : TWINS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang