Laki-laki itu menggeser tubuhnya dari atas sadjadah ke samping kasur kingsizenya. Menyandarkan kepala pada pinggiran kasur lalu memejam sejenak. Ia tak sengaja terbangun tadi, tepat pukul satu dini hari.
Galang, mendesah samar, merasa kepalanya kini berdenyut dan terasa berat. Sampai kemudian terdengar suara pintu yang terbanting pelan dari lantai bawah. Ia segera berdiri dengan sudut bibir terangkat kecil.
Itu pasti papanya.
"Papa udah pulang?" Galang berkata sambil menuruni tangga. Dia bisa melihat ayahnya di sana, memegangi leher karena pegal.
Pradika mengernyit melihat Galang yang dini hari begini tidak tidur. "Kamu belum tidur?" tanyanya, seraya mengulurkan tangan ketika Galang hendak menyalimi tangannya.
"Aku kebangun, Pa," jawabnya, lalu terdiam sebentar sambil berpikir. Apakah dia akan mengatakan hal itu sekarang?
"Papa, mau langsung tidur?" tanyanya, menahan pergerakkan Pradika yang hendak pergi.
Pradika menggeleng. "Papa mau mandi dulu, kamu cepat tidur lagi," katanya sambil membuka kancing atas kemeja dan melonggarkan dasinya, lalu berbalik ingin segera ke kamar.
Namun, lagi-lagi Galang menghentikan pergerakannya. Pemuda itu bergerak menghadang.
"Bisa minta waktunya sebentar? Aku mau bicara sesuatu."
"Bicara apa? Ini sudah malam Galang. Besok saja." Pradika menolak halus.
"Aku yakin besok juga gak bisa, 'kan? Meski serumah kita jarang ketemu seperti ini, aku cuma minta waktu saat ini aja. Apa gak bisa?"
Pradika menghela napas pelan. "Meski begitu kamu harus paham kondisi papa sekarang, papa sedang lelah, papa kurang tidur, tolong jangan tambah beban dulu."
Galang merasa tertohok begitu saja. Merasa tersinggung dengan ucapan papanya. "Papa belum dengar ucapanku, tapi papa udah menganggap itu beban? Atau yang sebenarnya adalah aku sendiri bebannya?"
"Bukan begitu Galang, papa hanya-"
"Gak apa-apa. Papa istirahat saja sekarang, lupakan aku mau ngomong sesuatu itu. Aku gak mau ganggu istirahat, Papa." Galang mendatarkan wajah, lalu melengos kembali ke kamarnya.
Melihat kepergian Galang, Pradika langsung memijat kepalanya yang terasa makin penat.
***
Di waktu yang sama namun di lokasi berbeda, lima orang gadis melangkah tanpa suara dengan tubuh merapat satu sama lain."Kenapa kita belum lihat kelompok yang lain yah? Apa mereka udah selesai?" Rina berucap, memecah keheningan di antara mereka.
Dinda mengendik. "Ntahlah, mungkin karena kita sibuk sendiri-sendiri jadi gak sadar sama kelompok lain. Mending sekarang pikirin kelompok kita, sekarang tujuan kita mau ke mana sih?"
Mereka berlima berhenti. Sejak keluar dari ruang kepsek, mereka melangkah tak tentu arah sambil menebak-nebak maksud di balik clue yang Rizal berikan.
"Ck, jendela dunia ada di mana sih?"
"Apa mungkin maksudnya di rooftop, di sana kan kita bisa melihat dunia." Rina asal menebak.
"Bisa aja, tapi kayaknya gak mungkin sampai ke sana. Di sana area larangan buat siswa, bahaya juga, gak mungkin kan OSIS langgar peraturannya sendiri," ungkap Andin, "Jawabannya pasti gak spesifik itu."
"Buku."
Semua menoleh pada Qinan yang berkata barusan. "Buku adalah jendela dunia. Jadi, jawabannya pasti perpus," lanjutnya yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET : TWINS ✓
Novela Juvenil⚠️WARNING⚠️ ⚠️DAPAT MEMBUAT HATI JUMPALITAN⚠️ --- Pada awal masuk sekolah, Qinan sudah berprasangka buruk pada si ketos. Manusia jutek yang sering membuatnya terintimidasi hanya dengan tatapan tajamnya. Namun, ternyata ada yang lebih seram dari si k...