"Nangis aja. Kalau terus ditahan nanti makin sakit."
(Qinan)
°°°
Minggu pagi, cuaca di luar terlihat cerah. Suasana yang cocok untuk berolahraga pagi di luar rumah. Qinan dan Adit melakukan hal yang sama. Mereka berdua menikmati pagi hari ini dengan bersepeda santai mengelilingi taman kota. Akh, tidak sepenuhnya santai, karena salah satu dari mereka malah terlihat malas-malasan.
"Ayo, Dit! Semangat! Mentang-mentang sekarang lo punya motor, lo jadi lupa naik sepeda?" Qinan bersepeda di samping Adit, sambil meneriakinya. "Lo cowok bukan sih? Loyo amat!"
Adit mencibir, melirik sinis kakak perempuannya itu. Jujur saja, sejak awal dia tak berniat sama sekali untuk berolahraga pagi, tapi karena paksaan dari kakak tercintanya itu, dia terpaksa bangun dari posisi nyamannya di kasur dan langsung diseret keluar rumah.
Mereka berdua beristirahat setelah lima putaran. Sepeda mereka ditongka dua di belakang bangku taman yang mereka duduki. Mereka meminum air mineral yang sempat mereka beli tadi untuk membasahi kerongkongan.
"Gak mau lagi gue sepedaan bareng lo. Bukannya sehat, gue malah jadi budek." Adit berucap sebal, mengingat sepanjang bersepeda tadi Qinan terus saja meneriakinya agar cepat sampai telinganya terasa panas.
Qinan yang tengah mengusap wajah dan lehernya dengan handuk kecil langsung bersungut sebal. "Lemah," katanya, lalu memegang lengan atas Adit, menekan-nekannya pelan. "Lihat nih! Cuma tulang doang! Mana ototnya, Dit? Cowok itu harus kuat bertenaga, kalo lembek gini mah, siapa yang mau?" hina Qinan menghempaskan tangan Adit.
Adit memegang lengan kirinya, sambil mengerucutkan bibir, merasa jengkel. Memang sih dia ini punya badan kurus, tapi kan gak kerempeng juga. "Makin lama lo makin ngeselin, Qi," katanya lalu bergerak mengapit leher Qinan dengan sebelah tangannya. "Nih gue juga kuat!"
Qinan menahan napasnya, dia meronta sambil menjambak rambut Adit, sampai Adit kesakitan dan melepaskan apitan di lehernya. Gadis itu menatap tajam Adit, lalu bergerak hendak membalas perlakuan Adit, namun seseorang datang dan menghentikan amukannya.
"Woy, kalem!" Wajah Qinan tiba-tiba ditahan oleh sebuah tangan besar. Rama, orang itu langsung komat-kamit seperti tengah membacakan mantra.
Adit mendelik aneh pada Rama yang tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan hidupnya itu. "Lo ngapain?" tanyanya, yang dibalas cengiran Rama.
Rama menurunkan tangannya yang menempel di wajah Qinan, dan langsung diberi tatapan laser oleh si gadis.
"Sorry, Qi. Gue cuma mencegah perbuatan kekerasan dalam kakak-beradik." Rama berucap tanpa dosa. Lelaki itu mendudukkan diri di antara Adit dan Qinan, menjadikan dirinya pembatas.
"Lo ngapain di sini?"
Rama menatap Qinan di sebelah kirinya. "Sama kayak kalian, gue lagi olahraga," jawabnya sambil menggerakkan kedua tangan seperti tengah berlari.
Qinan membuang muka, tak menimpali. Ia membuka botol minumnya merasa haus lagi, namun lelaki di sebelahnya itu dengan tak tahu malunya langsung merebut botol minum Qinan dan meneguk airnya sampai tandas.
Qinan tersenyum mengerikan pada Rama. Lalu membuka sebelah sepatunya. "Lo udah pernah ngerasain dipukul sepatu belum?" tanyanya penuh ancaman.
Rama menyengir ngeri. Tangannya terlurur, perlahan menurunkan tangan kanan Qinan yang sudah terangkat memegang sepatu. Dia mengambil botol minum Adit, lalu menyerahkannya pada Qinan. "Ini gue ganti."
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET : TWINS ✓
Ficção Adolescente⚠️WARNING⚠️ ⚠️DAPAT MEMBUAT HATI JUMPALITAN⚠️ --- Pada awal masuk sekolah, Qinan sudah berprasangka buruk pada si ketos. Manusia jutek yang sering membuatnya terintimidasi hanya dengan tatapan tajamnya. Namun, ternyata ada yang lebih seram dari si k...