"Kalo lo terus dengar dan nurutin penilaian orang, lo gak akan maju."
(Galang)
***
Qinan terus menggigiti bibir bawahnya cemas. Tangannya bergerak mengetuk lutut saat dia duduk di kursi, menunggu Gilang yang sedang diperiksa.
Seorang dokter keluar, Qinan segera menghampirinya. Tanpa sempat bertanya si dokter lebih dulu menjelaskan, "Pasien tidak mengalami luka yang serius. Kepala belakangnya bocor sedikit dan dia juga mengalami patah tulang di lengan bawahnya."
Qinan mengembuskan napas pelan. Ia berterima kasih pada sang dokter, lalu ragu-ragu memasuki ruangan tersebut. Ia mendekat ke samping ranjang Gilang, yang saat itu sedang memejamkan mata. Lalu menatap sedih perban di kepala Gilang dan gips yang membungkus lengan lelaki itu. Semua ini karena kesalahannya.
Tanpa diduga Gilang membuka mata, menoleh pada Qinan, sontak membuat gadis itu terlonjak kaget.
"Lo masih di sini?"
Qinan mengangguk, ia menuduk dalam, penuh sesal. "Maaf, Kak. Gara-gara aku kakak jadi begini."
"Bukan salah lo. Gue aja yang kurang hati-hati."
"A-ku udah hubungi Kak Galang buat kasih tau soal ini, tapi dia gak jawab. Aku mau hubungi Pak Pradika, tapi gak tau nomornya. Jadi ... aku yang nungguin kakak di sini."
"Hm, gak perlu dihubungi. Kondisi gue gak parah. Kalau lo mau pulang, pulang aja, jangan buang-buang waktu di sini. Gue juga paling mau pulang setelah pusing gue hilang."
Qinan menggeleng. "Aku mau di sini, nungguin keluarga kakak. Jadi, mending kakak kasih tau nomor pak Pradika, biar aku hubungi."
"Yaudah, ambilin hape gue di saku."
"Hm?"
"Tangan gue sakit, gue gak bisa ambil sendiri. Ada di saku kanan celana."
Qinan paham, lalu ragu-ragu merogoh saku celana abu-abu Gilang. Mengambil ponsel dari dari sana. Namun, gadis itu jadi terdiam, melihat ponsel Gilang retak dan mati. Ia menunjukkannya pada Gilang, lelaki itu langsung mendengkus sebal. Jelas saja ponselnya rusak, karena tadi sudah dibawa meluncur menuruni tangga.
"Kakak gak hapal nomornya?"
"Gue jarang hapalin nomor."
"Terus gimana?"
"Ya gak gimana-gimana. Kalo lo mau pulang, pulang aja. Kalau mau di sini, yaudah tunggu di sini."
Qinan menggeleng lagi. Tetap ingin di sini. Dia tak mungkin meninggalkan Gilang sendirian, apalagi dia lah yang menyebabkan Gilang masuk rumah sakit.
Gilang tersenyum tipis, melihat Qinan menarik kursi lalu duduk di samping ranjangnya. Ternyata, Qinan memang sepeduli itu dengan orang lain, pantas saja dia sulit mengabaikan hujatan orang-orang tentangnya.
"Maaf."
Keduanya tersentak, saling melempar pandang, setelah mengatakan kata yang sama dengan serentak.
Qinan mengalihkan pandangan, menggosok belakang lehernya, mendadak canggung.
"Gue minta maaf, Qinan. Masih soal yang kemarin." Gilang memilih melanjutkan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET : TWINS ✓
Novela Juvenil⚠️WARNING⚠️ ⚠️DAPAT MEMBUAT HATI JUMPALITAN⚠️ --- Pada awal masuk sekolah, Qinan sudah berprasangka buruk pada si ketos. Manusia jutek yang sering membuatnya terintimidasi hanya dengan tatapan tajamnya. Namun, ternyata ada yang lebih seram dari si k...