Terima kasih untuk komentar kemarin. 50 lagi, lanjut!!
🐸🐸🐸
Berminggu-minggu bekas operasi (Namakamu) telah kering. (Namakamu) juga sekarang sedikit-sedikit paham mengurusi Ghibran. Ketika bayinya rewel (Namakamu) tidak perlu memanggil Rike, ia sudah mulai terbiasa. Hanya saja ketika memandikan (Namakamu) masih membutuhkan mertuanya.
Jika Ghibran sedang bersama Iqbaal atau Herry, (Namakamu) membantu Rike di dapur. Dari yang awalnya tidak bisa memasak, sekarang sudah bisa walau hanya makanan sederhana.
Seperti sore sekarang, karena Ghibran ada yang menjaganya wanita itu ikut membantu memasak. Tapi baru sekitar 20 menit, (Namakamu) mendengar tangisan Ghibran. Ia kira akan cepat berhenti, tapi sekitar 2 menit belum berhenti juga.
"Kamu samperin aja."
"Iya, Bun."
Setelah mencuci tangannya (Namakamu) menghampiri Ghibran bersama suaminya di ruang santai. Lelaki itu sedang berusaha menenangkan Ghibran yang tidak mau berhenti.
"Kenapa, kok nangis?"
"Tadi aku tinggal bentar mau angkat telepon. Terus Iban nangis."
"Sama Mama sini, kita ke kamar."
"Aku gak diajak gitu?"
"Iqbaal apaan sih!"
(Namakamu) mengabaikan Iqbaal. Wanita itu cepat-cepat membawa Ghibran untuk disusui. Saat Iqbaal akan menyusul, Rike datang.
"Iban kenapa, Baal?"
"Abis Iqbaal marahin."
"Hah?" Rike menatap Iqbaal yang sudah pergi dengan bingung. "Gak bener nih. Harus lapor sama Ayah."
Sampai di kamar (Namakamu) membaringkan Ghibran yang masih menangis di tempat tidur. Lalu wanita itu juga ikut berbaring dan membuka kancing bajunya. Setelah menerima ASI Ghibran langsung diam.
(Namakamu) menghapus air mata yang tersisa dan juga keringat di sekitar pelipisnya. Dia juga membuka topi hangatnya agar Ghibran tidak kegerahan.
Iqbaal datang dan duduk di samping Ghibran. Tapi yang membuat (Namakamu) heran, Iqbaal tidak mengganggu seperti biasanya. Lelaki itu malah melamun dengan wajah yang susah ditebak.
"Iqbaal kenapa?"
Lelaki itu tersadar. Dia segera menoleh pada (Namakamu), lalu tersenyum tipis.
"Kalo aku ambil kuliah di Melbourne, kamu bakal izinin?"
Wanita itu tidak menjawab, bahkan langsung mengalihkan pandangannya pada Ghibran. Raut wajahnya seketika berubah.
"Sayang, jawab dong. Bilang aja kamu izinin atau nggak. Kalo kamu larang juga aku gak bakal pergi."
(Namakamu) menghela nafas. "Emang Iqbaal pengen banget ya kuliah di sana?"
"Kalo boleh jujur sih, iya. Ada alasan yang buat aku tergiur pengen di sana. Apalagi kan bang Ari udah buka cafe di sana, jadi aku bisa ikut kerja sama dia. Nyicil buat biaya kuliah kamu nanti."
"Tapi Melbourne jauh."
"Sayang, percaya sama aku! Jarak gak akan bisa memisahkan cinta kita. Apalagi ada Iban, mana bisa aku ningalin kalian. Iban akan selalu jadi alasan kenapa aku bertahan."
"Ayah sama Bunda udah tau?"
Iqbaal menggeleng. "Aku bilang ke kamu dulu. Kalo diizinin baru bilang ke mereka."
"Kenapa harus aku dulu?" lirih (Namakamu). Jelas dia menahan tangisannya. Ia juga bimbang, ingin egois rasanya.
"Hei! Sekarang kamu ini istri aku, udah jelas dong kenapa kamu yang duluan tau." Dalam hati (Namakamu) mengiyakan ucapan Iqbaal, tapi dia tak sanggup mengucapkannya, bahkan sekedar mengangguk saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Parents [end]
FanfictionPenyesalan pasti akan datang di akhir, bukan? Sama seperti Iqbaal dan (Namakamu). Mereka diharuskan dewasa sebelum waktunya. Masa remaja mereka harus pupus karena kesalahan yang telah diperbuat. Segala cobaan terus mereka hadapi. Sampai salah satu d...