09. Benci

48 6 0
                                    

—Isi semesta ini sudah salah langkah. Sejak kapan fisik jadi tolak ukur sebuah perasaan?—

****

Dengan congkaknya Foza menghampiri Arion yang baru saja keluar dari perpustakaan. Tawanya meledak mengundang perhatian semua orang di sana, termasuk Arion yang terpaksa menatap.

"Cowok keren ini pacaran sama Jova." Kalimat itu keluar dengan lantang dari mulut Foza. Keadaan yang sedang ramai membuatnya semangat.

Mata Arion menyapu seluruh tempat itu dengan rasa malu yang membuncah. "Jaga omongan lo, ya," sergahnya kesal. Namun, Arion masih berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Dia tahu apa mau Foza.

Foza menepuk pundak Arion, tetapi dengan kasar Arion menghindar. "Bukti sudah tersebar, Bro."

"Ya, karena lo yang nyebar berita hoaks itu." Rahang Arion mengeras menahan amarah. Kalau saja tidak memikirkan image-nya di sekolah ini, mungkin Arion sudah meninju wajah songong milik Foza itu.

"Foto itu nggak gue edit. Itu asli foto kalian berdua, jadi bukan hoaks."

"Arion kok mau, sih, sama Jova? Masih banyak kali cewek yang lebih cantik dari dia." Suara seorang siswi mendominasi hingga semua saling berbisik membenarkan.

Foza tersenyum sinis. "Kalian paham 'kan sekarang betapa rendahnya selera dia? Masa seorang ketua OSIS bisa kalah sama Foza." Dia menatap Arion dengan ekor matanya. "Gue punya pacar yang paling cantik di sekolah ini."

"Tuh, si cewek udik datang."

Foza dan Arion sama-sama menoleh pada arah yang dimaksud. Dari ujung koridor mereka dapat melihat sosok Jova yang sepertinya berniat melintas. Cewek itu celingukan bingung dengan situasi yang terjadi.

Merasa dirinya jadi pusat perhatian, Jova sadar ada yang tidak beres. Cewek itu memilih pergi dari sana. Namun, ketika Jova hendak melangkah pergi, Arion pun membuka mulut.

"Biar gue klarifikasi di sini!" teriak Arion tegas dan lantang. Matanya menatap Jova tepat yang kini berhenti melangkah. "Gue nggak pernah pacaran dan nggak pernah suka sama Jova!"

Deg!

Mata Jova membulat sempurna saking terkejutnya. Tiba-tiba ada rasa nyeri di dada. Ucapan Arion benar-benar seperti peluru pistol yang mampu menembus dadanya. Luka, sakit, tetapi tidak terlihat.

"Gue nggak akan pernah suka sama dia." Arion menunjuk Jova terang-terangan. Dan semua mata menatap remeh pada cewek itu. "Dia pernah nembak gue seperti yang kalian tahu. Mungkin kalian semua penasaran dengan jawaban gue waktu itu, gue nolak dia. Gue heran, ada cewek yang nggak tahu diri kayak dia. Berani-beraninya nembak gue. Bagi gue, DIA CUMA CEWEK DEKIL YANG NGGAK PUNYA MALU!" lanjutnya mantab persis seperti mahasiswa yang sedang menyampaikan orasinya. Ucapan penuh emosi itu membuat Arion menarik napas. Dia membuang muka, tidak mampu melihat wajah Jova yang memerah.

Tangan Arion mengepal kuat. Dia sendiri tidak tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang. Entah ini salah atau benar, yang Arion tahu saat ini dia hanya butuh pembelaan diri.

"Huuuuuuuu!"

Sorakan mengejek itu menggema di setiap penjuru. Gendang telinga Jova hampir meledak mendengarnya. Malu? Itu sudah pasti. Rasa sesal pun mulai menguasai pikiran dan hatinya.

Ya, seandainya waktu dapat berputar, maka dia tidak akan mengutarakan perasaannya waktu itu. Dan hal yang paling dia sesali, sosok bak malaikat itu ternyata berhati iblis.

Foza mengerutkan kening, dia sendiri tidak menyangka mulut Arion sekejam itu. Sekarang dia bingung harus senang atau iba. Entah mengapa dia jadi tidak tega melihat Jova yang mengusap pipinya yang sudah basah.

C H E M I S T R Y ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang