15. Berantem

52 5 0
                                    

Jova memutar langkahnya otomatis begitu melihat Foza tengah berdiri tidak jauh di depannya. Kali ini dia tidak ingin harinya menjadi buruk lagi karena berurusan dengan cowok itu. Dia pun terus melangkah menjauh meski jelas Foza sedang memanggil dan mengejarnya.

Langkah Jova semakin dipercepat saat mendengar suara Foza semakin dekat dan diikuti suara sepatu yang beradu dengan ubin.

"Cewek Dekil!" panggil Foza sambil berteriak.
Dengar, Jova sangat jelas mendengar. Akan tetapi, dia tidak mau menurut. Dia terima risiko bila nanti Foza akan memakinya.

"Hap, ketangkap," seru Foza ketika berhasil meraih pergelangan tangan Jova. Dia menarik tangan itu sampai sang empu menatapnya. Ditatap dengan wajah penuh amarah, Foza malah membalasnya dengan senyuman.

"Apaan, sih?!" sungut Jova sambil menggerak-gerakkan tangannya meminta dilepaskan. Dia menatap Foza sengit, semoga dengan begitu Foza sadar bahwa dia tidak nyaman.

"Nanti malam kita makan." Foza malah semakin erat memegang lengan Jova. Dia menaikkan satu alis saat merasakan tangan Jova berontak.

"Nggak mau!" tolak Jova tegas sambil menarik kuat tangannya yang terasa panas karena bekas cengkeraman Foza.

Foza mengerutkan kening. "Lo pikir gue ngajak?"

Jova mendesah berat, tidak paham dan sudah muak dengan cowok di hadapannya ini. "Apa, sih," gerutunya, benar-benar kehabisan kata-kata.

"Ini perintah, bukan ajakan," tegas Foza dengan congkaknya.

"Lo pikir gue apaan?!"

"Pacar gue," aku Foza tanpa keraguan. Senyum di wajah cowok itu membuat Jova ingin memukulnya habis-habisan.

Menyebalkan!

"Gue nggak mau."

Jova sudah hendak pergi ketika Foza justru mencengkeram lengan cewek itu lagi. "Nanti malam gue jemput lo. Lo nggak boleh nolak, karena Foza nggak menerima penolakan."

"Iiihh ... lepasin. Gue nggak mau!" Jova berusaha melepaskan lengannya yang terasa sakit akibat cengkeraman itu. Dia memukul-mukul lengan Jova dengan tangan kiri yang bebas.

"Nggak bakal gue lepasin kalau lo belum bilang mau," ancam Foza yang sama sekali tidak mempengaruhi jawaban Jova.

"Jangan paksa gue. Gue nggak mau!"

Foza menatap tajam cewek yang menjadi sanderanya tersebut. Berharap dengan tatapan itu Jova akan mengiyakan. Namun, nihil. Jova tetap kuat pada pendiriannya untuk menolak ajakan tiba-tiba itu.

"Kalau Jova bilang nggak mau, ya, nggak mau."

Foza dan Jova sama-sama menoleh pada sumber suara. Jova terperangah, dia tidak menduga kalau Arion akan membuka mulut karena kejadian itu. Hal yang dia pikir sangat mustahil. Sedangkan Foza justru menarik Jova semakin dekat dengan tubuhnya.

"Mau apa lo? Dia pacar gue," gertak Foza angkuh.

Jova yang mendengar itu menatap Foza kesal, tetapi dia tidak protes sama sekali. Dia lalu menatap Arion, menunggu responsnya.

"Sejak kapan? Sejak lo mengaku-aku?" balas Arion tenang. Kedua tangan cowok itu berada di saku celana.

"Ya. Karena gue nggak mau mementingkan gengsi gue. Gue nggak mau menyesal di kemudian hari cuma gara-gara gengsi," ucap Foza, kali ini lebih tenang daripada sebelumnya.

Jova menoleh pada Foza. Sekarang dia tidak mempermasalahkan jarak antara mereka, tetapi entah mengapa dia merasa janggal dengan ucapan Foza itu. Apa maksud cowok itu? Siapa yang gengsi?

"Lo. Nyakitin. Jova," tekan Arion, kehabisan kesabaran. Dari nada bicaranya jelas dia menahan amarah.

"Terus, lo sebut diri lo apa yang jelas-jelas bikin Jova nangis?" Foza menaikkan dagunya menantang. Merasa menang saat sadar tangan Arion sudah keluar dari saku celana dan mengepal.

C H E M I S T R Y ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang