28. Memilih

63 6 0
                                    

Langkah feminin itu menyusuri parkiran sekolah pagi ini. Jova tidak menyadari jika kehadirannya mengundang beberapa mata memperhatikannya intens. Dia terus melangkah acuh tak acuh.

Sebuah siulan jail pun terdengar lalu disusul suara seorang cowok menggoda.

"Cewek."

Jova tidak bereaksi karena tidak merasa kalau dirinyalah yang digoda. Siulan-siulan serta kata-kata godaan itu terus berulang hingga akhirnya Jova risi. Dia pun memberanikan diri untuk menoleh pada gerombolan cowok yang sedari tadi tanpa dia sadar sudah memperhatikannya.

"Pakai susuk, ya? Kok, makin hari makin cantik?"

Gelak tawa langsung pecah setelah pertanyaan itu terlontar dari salah satu cowok di sana.
Kembali Jova melanjutkan langkah dan membiarkan tawa mereka semakin lebar. Dia berusaha tidak peduli meski sebenarnya dia sangat terganggu. Jova sendiri tidak mengerti apa lagi penyebab dirinya jadi bahan ejekan seperti ini.

Sudah jelas, 'kan, hal tadi itu adalah ejekan? Apalagi coba. Jova sadar diri untuk tidak gede rasa dengan ocehan cowok tadi itu.

"Cewek, kita jadian, yuk?"

"Udah punya pacar, belum?"

"Wih, sekarang cantik, Bro."

Jova masih melangkah tanpa menanggapi ucapan-ucapan yang saling sahut-menyahut itu. Untuk yang terakhir kalinya, langkah Jova dihadang oleh empat orang cowok. Jika dilihat dari pangkatnya, keempat cowok tersebut adalah kakak kelas Jova.

"Boleh kenalan, nggak?"

Jova bergeming di tempatnya. Saat memberanikan diri menatap keempat cowok itu, dia langsung panik. Ekspresi mereka berempat tidak bercanda, seperti akan sulit untuk lolos.

"Ma-maaf. Saya mau le—"

"Woy, minggir!" teriak seseorang, sekaligus menginterupsi ucapan Jova.

Jova berusaha mengintip dari balik badan-badan yang menghalangi pandangannya. Cewek itu menghela napas lega setelah memastikan suara tadi benarlah suara cowok itu. Entah benar atau salah perasaan leganya saat ini, karena Foza pun sama saja suka mengganggunya.

"Ini cewek gue!" tegas Foza langsung nyolot lalu merangkul pundak Jova tanpa meminta izin. Yang dirangkul pun hanya diam.

"Oh, cewek lo, ya? Sori-sori, kita nggak tahu."

Siapa juga yang tidak tahu Foza. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas semuanya mengenal Foza. Bahkan keempat cowok sebagai kakak kelas Foza pun begitu menyeganinya dan berakhir dengan pergi begitu saja.

Lirikan maut mengintip wajah Jova, membuat cewek itu curiga. "Apa?" tanyanya galak. Dia buru-buru melepas tangan Foza di pundaknya.

"Mereka yang aneh atau lo yang aneh?" Foza malah bertanya balik dengan kening berkerut mengamati wajah Jova. Sesaat kemudian, tatapannya itu malah semakin tajam.

"Lo yang aneh," jawabnya. Cewek itu memutar bola mata. Pagi-pagi seperti ini ada saja yang merusak mood-nya.

Foza mencubit hidung Jova. "Gue baik, Jov." Cubitan itu membuat hidung Jova memerah, persis seperti hidung badut.

"Gimana kalau hidung gue panjang kayak pinokio?!" protesnya sambil mengusap-usap hidung.

Gelak tawa terdengar dari mulut Foza. "Bagus, biar gue viralin."

"Gue mau ke kelas." Jova melangkahkan kakinya meninggalkan cowok itu. Menjawab setiap ucapan Foza tidak akan pernah ada habisnya. Yang ada dia akan cepat tua kalau terlalu sering berinteraksi dengan cowok menyebalkan itu.

C H E M I S T R Y ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang