24. Nembak

50 7 1
                                    

Fajar datang tanpa malu-malu pagi ini, padahal malam tadi bintang saja tidak berani menampakkan diri. Senyum Jova pun tidak kalah cerah daripada mentari pagi. Cewek itu berusaha keras agar setiap sudut bibirnya tidak tertarik. Di kepalanya masih berputar-putar tentang bagaimana manisnya Foza kemarin menyatakan perasaan padanya di atas panggung, di depan semua murid SMA Cendekia.

Jova sengaja datang pagi-pagi sekali hari ini, dia menghindari bertemu para murid. Karena Jova yakin, dirinya akan jadi berita terpanas lagi hari ini. Sesampainya di kelas, Jova terkejut, karena ternyata dia bukanlah orang pertama yang datang.

Seorang cowok sudah berada di dalam kelas, kepalanya menunduk, sedang memainkan ponsel. Namun, cowok itu duduk di meja Jova.

"Ka-kak Arion?" panggil Jova ragu-ragu.

Arion mengangkat kepala sembari memasukkan ponsel di saku celana abu-abunya. Cowok itu tersenyum seperti biasa, seolah kemarin dia tidak melihat dan mendengar apa-apa.

"Jov, pagi banget," kata Arion. Cowok itu kini berdiri. Dia sedikit menggeser tubuh agar Jova bisa meletakkan tasnya di meja.

"Kak Arion juga, kok, pagi banget?" tanya Jova kikuk. Dia yakin sekali kemarin Arion melihat semuanya.

"Nungguin lo. Lo lupa, kemarin gue belum sempat ngomong?"

Jova menepuk dahinya. "Oh iya, Kak. Jova lupa. Maaf, Kak."

"Nggak usah minta maaf." Arion mengacak lembut puncak kepala Jova.

Sial, kenapa semua suka acak-acak rambut, sih? Gerutu Jova dalam hati.

"Mau ngomong di sini aja atau di taman belakang?"

Jova berdeham lama, sedang memikirkan tempat terbaik. "Di ... belakang perpus aja gimana, Kak? Kalau di taman, nanti banyak yang lihat. Kalau di kelas juga banyak. Takut ada yang salah paham."

"Ada yang salah paham juga nggak pa-pa," kata Arion santai. Kini cowok itu benar-benar berusaha mengesampingkan egonya.

Jova yang diam membuat dahi Arion berkerut. "Gue salah?" tanya Arion.

"Eh, nggak, Kak. Cuma nggak enak aja kalau digosipin kayak dulu lagi. Ntar. Kak Arion terganggu."

"Nggak. Gue udah nggak peduli sama omongan mereka tentang kita."

"Kita?" tanya Jova meyakinkan apa yang baru saja keluar dari mulut cowok idamannya ini.

"Iya. Ki-ta, kita," perjelas Arion dengan menyebut penggalan katanya.

"Ya udah, yuk." Jova berjalan lebih dulu menuju belakang perpustakaan, sedangkan Arion berjalan di belakangnya. Sengaja tidak mensejajarkan langkahnya.

Selama di koridor, Jova merasa risi dan melihat kanan-kiri, takut kalau saja ada yang melihat mereka. Jova mempercepat langkahnya.


Mereka sampai di belakang perpustakaan. Jova memutar tubuh agar berhadapan dengan Arion. Wajahnya masih canggung. Kini pikirannya menerka-nerka apa yang akan Arion katakan.

Arion berdeham sebagai pengusir suasana canggung. "Jov," panggilnya pelan.

"Hm?"

"Sori buat masalah yang lalu-lalu. Lo udah dikatain karena gue. Waktu itu gue emang pengecut, Jov."

"Nggak, Kak. Kak Arion nggak salah, kok," kata Jova panik, jadi tidak enak hati.

"Dan sekarang gue nggak mau pengecut lagi, Jov."

Jova tidak merespons, dia memilih menunggu Arion menyelesaikan kalimatnya yang dijeda. Matanya menatap Arion lekat, seolah sorot itu menjelaskan bahwa dia menunggu apa yang hendak Arion sampaikan.

"Gue harap perasaan lo ke gue masih kayak dulu."

Mata Jova membulat. Jantungnya berpacu semakin cepat. Ada perasaan yang tidak bisa dia jelaskan sekarang. Jantung yang berdegup itu, rasanya tidak seperti dulu lagi, dulu saat mata Arion menatapnya selekat ini. Dulu saat dia terbangun dari pingsan dan mendapati orang pertama yang dilihatnya adalah Arion. Jova sendiri tidak mengerti; apakah perasaannya masih seperti dulu?

C H E M I S T R Y ✔️ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang