Karina menolak perjodohan

291 19 1
                                    

[PoV Karina]

Entah apa yang ada difikiran papih saat ini. Ia merencanakan perjodohanku dengan pria yang entah siapa aku tak tau, dan memang tak pernah mau tau. Malas sekali jika harus berdebat sengit dengannya. Kuputuskan pergi saja dari kantornya menuju kampus. Ya, kebetulan hari ini jadwalku mengisi kelas. Namun rasanya masih enggan untuk kesana meski hanya sekedar menyapa orang-orang, secara hatiku belum pulih benar setelah mendengar ucapan papih yang terkesan begitu egois. Benar saja, saat dikelas aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaranku sendiri. Hingga aku menjadi bahan tertawaan anak-anak yang menyebalkan itu.

Sepulang dari kampus aku berniat untuk menemui David, kekasihku. Kami baru saja bertemu, setelah empat tahun lamanya harus menjalani hubungan jarak jauh, dikarenakan ia harus menempuh pendidikannya di Swiss. Tak mudah memang menjalaninya, karena harus memiliki kesetiaan dan sikap saling percaya satu sama lain. Lama tak berjumpa kini akhirnya kami bisa bersua kembali, rasanya begitu bahagia saat melepas rindu yang sekian lama menggebu.

“Sayang, aku mau ngajak kamu ketemu papih. Kamu mau kan?,”  tanyaku saat kami telah bertemu disebuah Mall.

“Iya sayang, nanti kalau aku udah siap aku pasti ketemu sama papih kamu,” jawabnya sambil menyeruput kopi yang belum lama dipesan.
“Tapi kapan? Aku udah gak sabar ngenalin kamu ke papih. Entar keburu diambil orang baru tau rasa,” Jawabku sambil mengerucutkan bibir.

“Iya cantikku, yang sabar ya,” ucapnya sedikit tertawa. “Kamunya harus setia dong, kan udah janji” lanjutnya.

Aku menghela nafas. Aku takut jika tak segera diresmikan hubungan ini, maka perjodohan itu benar-benar akan terwujud. Aku bergidik sendiri. Semoga tak sampai.

“Oya, minggu depan aku mau ke Semarang” katanya.

“Ngapain?,” tanyaku sedikit kaget.

“Ada kopdar sama temen, sekalian mau bicarain hal penting,”

“Pentingan mana sama ketemu papih?,” tanyaku sambil menatapnya lekat.

Dia hanya tertawa. Lalu mengusap pipiku lembut.

“Dua-duanya penting, tapi untuk yang satu ini gak bisa dibatalin mendadak. Karena udah direncanain jauh hari pas awal balik ke Indo,” jawabnya sambil tersenyum.

Aku berdecik.
“Terserahlah, yang penting kamu harus nikahin aku. Janji?” tantangku sambil menyodorkan jari kelingking ke hadapannya. Ia tersenyum seraya melingkarkan jari kelingkingnya ke kelingkingku.
“Janji.” Jawabnya dengan tatapan penuh kepastian.

Di hari minggu yang cerah papih mengajakku pergi berjalan-jalan. Aku mengiyakan saja, karena kebetulan akupun sedang ingin pergi keluar. Tapi ternyata disana papih bertemu dengan sepasang orangtua yang keliatannya sudah berumur. Dari pakaian dan barang yang dibawanya seperti habis melakukan perjalanan jauh. Tak lama, datang seorang pemuda. Aku sudah tak asing lagi dengan wajahnya. Jujur saja aku sempat kaget saat ia sama-sama datang ke tempat itu. Dan yang lebih mengagetkannya lagi, ternyata dia.... Dia laki-laki yang akan papih jodohin sama aku!

Hatiku berkecamuk antara kesal, kaget dan sedih. Yang kurasakan saat itu dunia benar-benar terasa gelap dan sempit. Mana mau aku sama dia, dia sama sekali bukan tipeku. Aku juga gak mau jadi berondong. Ya, aku tahu percis usianya masih dibawahku. Meski memang kuakui ia berparas tampan, memiliki perawakan tinggi, disekolah pun termasuk kategori mahasiswa aktif dan pintar, bahkan sering kutemukan juga para mahasiswi kegatelan yang tebar pesona padanya, namun maaf aku sama sekali tidak tertarik. Dihatiku hanya ada David, pria yang sudah kupacari selama tujuh tahun.

Hari-haripun berlalu, papih telah kembali ke Indonesia dari Singapura. Dan setelah itu ia sendiri yang akan menyiapkan acara pernikahannya. Aku kesal pada dunia  yang seakan-akan tak berpihak padaku. Sedikit-sedikit papih menceritakan tentang Zul, setiap ku menyanggahnya ia selalu saja marah. Aku kecewa, aku merasa tak dihargai. Aku sangat mengenal papih, ia adalah sosok ayah yang lembut dan penyayang. Demi aku, ia rela tak menikah lagi setelah mamih meninggal lima belas tahun silam. Namun, sikapnya kini berubah setelah mengenal Zul, demi Tuhan aku benci anak itu!
****

“Sayang kamu dimana?” tanyaku saat menelpon David.

“Dirumah yang, ada apa?” tanyanya.

“Malam ini kamu kerumah ya.. Penting!” perintahku sambil terisak.

“Ada apa emangnya, maaf sekarang aku lagi sibuk nanti dilanjut lagi ya”

“Aku mau kamu ketemu papih sekarang yang, pliiisss” aku memohon dengan sangat.

Beberapa detik tak ada jawaban.

“Hallo? Yang? Masih disitu?,” tanyaku.
Tut....tut..tuut...
Sambungan telpon terputus. Aku mencoba menghubunginya kembali, namun selalu saja berada diluar jangkauan. Ah! kulempar ponselku sembarang. Lalu kuhempaskan tubuhku dikasur yang empuk dan kubenamkan wajah ke bantal agar tak terdengar orang saat ku meraung dan berteriak. Bagai disayat sembilu, luka ini semakin bertambah jika mengingat papih yang kukuh pada keputusannya. Aku menangis. David kamu dimana? Disaat situasi seperti ini kamu masih saja sibuk dengan segudang pekerjaanmu. Mana janjimu dulu yang akan menikahiku?? Tak taukah kamu, bahwa disini aku sedang memperjuangkanmu?

Setelah sedikit tenang, aku mencoba bertemu papih. Ingin ku ungkapkan lagi perasaanku padanya. Semoga kali ini ia tidak marah.
Perlahan ku menuruni satu persatu anak tangga, ku lihat papih sedang duduk santai di sofa ruang keluarga sambil membaca koran. Kulirik jam dinding, sudah pukul 20.35.  Ya, memang di jam-jam seperti ini waktunya papih beristirahat, biasanya sambil membaca koran favoritnya. Aku menghela nafas perlahan, berharap aku mampu untuk berbicara dengan baik malam ini.

“Pih...,” aku mencoba membuka percakapan seraya duduk di sofa yang berhadapan dengannya.

“hmmm?,” ia hanya menyahut pelan tanpa menoleh sedikitpun. Penglihatannya masih fokus pada benda yang berada ditangannya.
Sebenarnya aku masih ragu untuk membuka suara, tetiba jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Ku hela lagi nafas perlahan, entah sudah berapa kali aku menghela nafas malam ini agar merasa tenang.

“Pih, aku...aku mau... Aku mau bilang kalau...” sampai situ kata-kataku terputus.

“Mau bilang apa?,”  papih menoleh ke arahku.

“Aku mau bilang... Kalau aku ingin.. Ingin menikah sa-sama...David,” ucapku terbata-bata, aku hanya bisa menunduk, takut jika ia akan marah.

Sekilas kulihat papih, tatapannya berubah tajam. Sumpah, aku takut melihatnya.

“Berapa kali papih bilang, kamu hanya akan menikah dengan Zul. TITIK !!,” suaranya terdengar menggema. “Kamu tidak sadar Karina, besok itu hari pernikahanmu. Jangan buat papih malu dan membencimu!” posisi duduknya berubah tegap. Seakan-akan ingin menelanku bulat-bulat.

Mataku terasa panas, aku mencoba menahan air mata yang bisa keluar kapan saja. Tanganku menggenggam erat ujung sofa, dan beranjak berdiri, rasanya sudah tak tertahankan lagi dengan luapan kekecewaan yang selama ini kupendam.

“Pih,, selama ini aku selalu menuruti keinginan papih, papih ingin aku sekolah dan kuliah dimana aku selalu nurut, sampai-sampai tempat kerja pun papih yang pilihkan.” Sampai sini dadaku tercekat. “Papih ingin aku mengajar di kampus katanya biar aku lebih dewasa aku pun mau. Aku nurut. Dan sekarang untuk urusan hati pun harus papih yang tentuin juga??” Air mataku seketika tumpah.

“Karina, papih tau betul Zul itu anak baik. Papih ingin kamu hidup bahagia dengan orang yang terhormat,” sanggah papih.

“Tapi usianya masih dibawahku pih,, dia masih anak-anak” aku mencoba berbicara dengan nada sesopan mungkin untuk menghargainya. Meski hati ini rasanya ingin menggertak.

“Usia tidak menjamin kedewasaan seseorang, Karina. Kamu aja yang udah segede gini tapi masih kekanak-kanakan!,” bentak papih.
Ia lalu berdiri dari duduknya, tatapannya masih terlihat sangar. Baru kali ini aku melihat wajah papih semarah itu. Aku mencoba menahan tangis, tapi malah terasa semakin sakit.

“Suatu hari nanti kamu akan berterima kasih pada papih karena telah menikahkanmu dengan dia,” ucapnya dengan percaya diri.

“Aku hanya cinta sama David Pih....demi Allah aku tak mencintai pria lain selain dia...” suaraku mulai parau sambil sesenggukan.

“Cinta, cinta! Tau apa kamu soal cinta! Kamu gak ingin lihat papih senang, hah?! Dan sekarang sudah mulai berani melawan, gitu? Mana dia, laki-laki yang katanya mencintai kamu, si David-David itu?! Palingan dia anak yang gak jelas, macarin anak orang tapi gak mau datengin bapaknya, hhh...! PECUNDANG!!,” bagai di hantam godam besi mendengarnya, hatiku terasa hancur porak poranda.

Papih tak tau jika didekatnya aku selalu merasa nyaman, papih tak tau jika bersamanya aku selalu bahagia dan ceria. Setiap papih pergi tugas ke tempat yang jauh, aku merasa kesepian. Tapi David, ia selalu ada untukku.

“Sekarang dia lagi sibuk Pih... Dia baru pulang dari Swiss tiga bulan yang lalu. Nanti kalau sudah siap dia pasti nemuin Papih” aku mencoba tegar menjawab ucapannya.

“Kapan hah kapan??! Mau nunggu kamu sampai tua?! Sudah, papih gak mau denger alasan apapun. Dan meskipun dia datang, papih tetap akan menolaknya!,” Bentaknya.

“Papih egois!!,” sedari awal aku sudah tak tahan ingin bicara seperti itu padanya.

“Karinaaa...!!”

PLAK !!!

Tangan lembut papi mendarat keras di pipiku.
Beberapa detik aku terdiam. Aku shock. Air mataku tak keluar. Selama dua puluh tujuh tahun  hidup bersama papi, baru kali ini ia menamparku.
Rasa panas terasa menjalar dipipi, namun sakitnya tak seberapa dibanding dengan sakit yang ada di sini, di hati.

“Besok pagi kita bersiap-siap pergi ke hotel, sesuai dengan yang telah kita sepakati. Jangan melanggar kesepakatan itu Karina.”suaranya terdengar menurun, namun tajam ditelinga.

Ia segera beranjak pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Aku jatuh terduduk disofa dengan lemas. Degupan jantung masih terasa tak beraturan dan pandanganku kosong. Tetiba ingat mamih, mungkin jikalau ia masih ada, ia akan memelukku saat ini, membelaku, dan menenangkan fikiranku yang kalut berantakan. Namun kini aku sendirian. Aku butuh seseorang untuk menguatkan. Mamih...Karina rindu... Hiks...hiks...


Hari pernikahan pun tiba. Badanku dihiasi kebaya putih nan indah, riasan yang menghiasi wajahku membuatku terlihat tampak cantik. Namun disini hatiku hampa, tak ada sedikitpun kebahagiaan yang tumbuh. Rasanya enggan untuk berbicara. Sakitnya tamparan papih semalam masih serasa membekas. Disaat gadis sepertiku bahagia dengan pernikahannya, disini aku menderita. Dan disaat mereka bersuka cita mempersiapkan gaun pengantinnya, disini aku berduka cita, seakan-akan sedang menyiapkan pemakamanku sendiri. Mungkin orang menilai aku lebay, berlebihan dengan perasaan cintaku, namun inilah yang aku rasakan.
Dipelaminan itu, aku harus berjuang berjam-jam mengukir senyum manis pada tamu yang hadir meski dengan terpaksa. Tak jarang aku menyeka air mataku agar tak ada orang yang bertanya kenapa aku menangis.

Malamnya, aku sengaja pergi ke kamar pengantin lebih dulu, karena sesak didada sudah tak terbendung lagi. Kulihat Zul masih berbincang-bincang dengan beberapa orang diruangan tempat kami menggelar akad. Setelah berada  didalam kamar, ku baringkan badan yang lelah ini di ranjang yang terlihat indah, namun bagiku bak dineraka. Kutumpahkan kekesalanku disana, dan lagi-lagi tangisku pecah. Aku teringat David, tega ia membiarkanku berjuang sendirian. Meski akhirnya aku kalah. Sampai saat ini belum sempat bilang padanya kalau aku telah menikah. Pupus sudah jalinan kisah cinta yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Selama ini aku bertahan untuk setia padanya, karena aku tahu pada siapa hati ini harus berlabuh. Namun semuanya kandas ditangan ayahku sendiri. Luka yang menganga masih terasa perih hingga detik ini.

Terdengar seseorang membuka pintu dan mengucapkan salam. Aku mengenali suaranya, dan aku benci suara itu. Sengaja ku posisikan badan dengan membelakanginya. Tak lama terdengar sayup-sayup bacaan shalat, aku baru tahu kalau ia sedang mengerjakan shalat. Aku berusaha tenang agar tangisku tak terdengar, dan menahan sesenggukan agar goncangannya tak terlihat.
Malam ini aku ingin bicara padanya, kalau setelah ini aku tak ingin tinggal serumah dulu, bahkan disentuh pun rasanya aku jijik. Mungkin sampai nanti jika telah merasa ‘legowo’ dengan takdir pahitku ini. Namun entah sampai kapan, aku tak tau pasti.
Setelah merasa siap, akhirnya ku beranikan diri untuk berbicara, namun jika nanti dia tidak mau menerimanya, maka aku akan mengancamnya dengan studinya yang suatu saat bisa gagal. Ya itu rencanaku. Namun ternyata ia tidak melawan sedikit pun. Bagus lah, mungkin dia merasa segan karena disini posisiku masih menjadi dosennya.

Esoknya aku mengantarkan ia pulang ke kostannya dengan mobil sedan merahku. Jujur detik ini aku masih membenci laki-laki yang duduk disampingku itu. Maafkan aku Zul, belum bisa menerimamu sebagai suamiku. Luka yang tak berdarah ini belum sembuh, semoga kau bisa memahaminya.

====







Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang