Pengagum Rahasia Zul 2

324 18 1
                                    

Sore ini Karina sibuk berkutat di depan laptopnya, banyak sekali tugas di kampus yang harus ia selesaikan. Sekali-kali tangannya memijit-mijit keningnya pelan. Ada setitik rasa lelah saat harus terus berjibaku dengan dunia mengajar.

Tiba-tiba ada kedua telapak tangan yang menutup matanya dari belakang. Sontak ia kaget, lalu berusaha melepaskan tangan itu.

“Ih... Siapa sih ini gangguin aja! Pasti kamu ya Zul!!,” Teriak Karina.

Zul melepaskan tangannya seraya tertawa.

“Kok tau ini aku?,” Tanyanya seraya duduk disamping Karina.”pasti udah hafal ya sama wangi aku kayak gimana,” Lanjutnya kepedean.

“Iya, bau telor asin!,” ketus Karina ngasal.

Mendengar celetukannya, Zul langsung mencubit gemas hidung Karina.

“Oya, nanti malam ikut yok,” ajak Zul.

“Kemana?,”

“Wiskul,”

“Gak ah males,”

“Lah, kok nolak sih. Nanti aku sama siapa dong kesananya?,” Zul memasang wajah sedih.

“Ajak aja tuh si pengagum rahasia kamu!,”

Zul langsung terdiam, beberapa detik ia memikirkan kata-kata Karina barusan, seketika ia pun tertawa geli.

“Hadeeuuuhh... Siapaaa lagi dia. Aku gak kenal,”

“Masa gak kenal? Bukannya dia yang suka caper gitu ya sama kamu?,” tanya Karina

“Yang caper ke aku itu banyak,”

“Sombong,” Karina memiringkan sebelah bibirnya.

Zul tertawa mendengar ocehan wanita itu.

“Ya wajar sayang, kalau banyak yang nyaperin aku. Toh mereka taunya aku masih single kan? Nah, kalau misal kamu nya terbuka, mau jujur sama orang-orang tentang status kita ini, seenggaknya tingkat kecaperan mereka ke aku itu bakal berkurang.”

Karina terdiam, ia merasa masuk dalam perangkap cemburunya sendiri.

“Tapi tetep aja yang namanya orang kegatelan, gak liat udah punya pasangan atau belum, caper ya caper aja,” imbuhnya tak mau kalah.

“Emang betul, itu juga balik lagi ke orangnya. Tapi kamu sendiri jadinya makan ati terus kan, liat kondisinya kayak gitu?,”

“Aku gak makan ati, Aku Cuma aneh aja gitu liat seorang cewek yang berani ngungkapin perasaannya ampe dipajang di mading sekolah. Bagiku itu sesuatu yang malu-maluin aja gitu.” Ujar Karina.

Zul berfikir, memang ia pun merasakan hal yang sama sebenarnya. Karena tingkah konyol seorang mahasiswi, ia jadi merasa telah dibuat malu saat di kampus.

****
Besoknya saat dikantin kampus.

“Sstt!! Tuh !,” agung yang duduk didepan Zul memberi kode pada pria itu dengan dagunya. Menunjuk ke arah kumpulan mahasiswi di meja belakang  yang tak jauh letaknya dari meja mereka. Ada sekitar lima orang gadis disana yang juga tengah menikmati jajanan sambil bercengkrama ria.

Zul menoleh kebelakang, ternyata disana ada Sindy. Netra mereka seketika beradu sekilas. Kemudian Zul kembali memalingkan wajah sembari menyeruput es jeruk nya dengan sedotan.

“Bro, kayaknya lu harus ngomong deh sama dia. Ya, tanya baik-baik alasan kenapa dia majang tulisan itu kemaren,” ujar Agung setengah berbisik.

“Ya udah jelas alasannya karena dia suka ama lu. Ada harapan ke elu. Gitu aja make ditanyain,” sambung Egi yang duduk disebelah Zul.

“Maksud gue, sekalian ngomong jangan kek gitu lagi. Malu-maluin aja,”

“Menurut kalian gue harus ngomongnya dimana?,” tanya Zul.

“Ya dimana aja terserah lu. Mau di kuburan kek, di atas genteng kampus dah, seraaah..,” jawab Egi menyebalkan.

“Gue kan belum pengalaman ngajak ketemuan-ketemuan cewek gitu kayak gimana. Keseringan gue yang suka diajak jalan,” Sahut Zul sambil sesekali mengunyah keripik singkong.

“Di halaman kampus aja yang deket,” usul Agung.

“Wah jangan lah, bahaya,” tukas Zul.
Ia takut kalau Karina akan mengetahuinya.

“Mau dikostan lu? Di tempat ngegym? Di tempat les? Atau peternakan?,” Agung menyebut semua nama tempat yang sering dikunjungi Zul.

Zul hanya tertawa kecil. Kemudian menyeruput kembali minumannya.

“Santai aja, nanti gue bawa dia ke tempat yang orang gak tau,”

“Yang gak tau?? Alam barzah maksud lo??,” Egi menyeloroh.

Kali ini kedua temannya itu dibuat terbahak.


Sepulang kuliah, Zul berniat menunggu Sindy di depan pagar kampus. Ia berdiri menyender di dinding, sambil membuka-buka layar ponselnya.

Banyak para mahasiswa-mahasiswi yang berjalan melewatinya untuk pulang. Sesekali ia melirik-lirik ke arah orang-orang yang berlalu itu. Tak lama, netra nya menangkap sosok gadis berjilbab segiempat yang kedua sisi jilbabnya di sempaikan menyilang pada bahunya, memakai kemeja berwarna krem polos dan celana jeans ketat. Ia tengah berjalan bersama kedua temannya sembari sedikit tertawa-tawa. Gadis itu tidak menyadari keberadaan Zul yang tengah memperhatikannya.

Setelah dekat, segera Zul menyapanya dan meminta izin untuk berbicara sebentar.

“Ciiieee...,” ucap kedua temannya setelah mendengar permintaan Zul.

Terlihat gadis itu malu-malu. Namun entahlah, Zul malah ilfil dibuatnya.

“Disini aja kak, soalnya aku mau ada acara juga setelah ini,” kata Sindy.

“Hmm..gimana ya, kalau disini kayaknya gak enak deh banyak orang. Cari tempat yang gak terlalu ramai aja ya...,” ajak Zul.

Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan. Akhirnya dengan terpaksa ia bawa Sindy ke halaman depan kampus. Ya, gagal deh rencana ia untuk membawanya ke Perpustakaan Daerah. Mau sekalian nyuruh baca buku juga tentang ‘menjaga iffah dan muru’ah untuk seorang wanita’. Kayaknya terlihat sadis ya, namun mendidik juga sih.

Disana Sindy duduk di kursi taman berbentuk panjang yang terbuat dari kayu. Sementara Zul, ia berdiri menyender pada batang pohon mangga yang tertanam kokoh di samping kursi taman tersebut.

“Maaf ya, udah ganggu waktunya,” ucap Zul membuka percakapan.

Sindy hanya tersenyum seraya mengangguk.

“Hmmm...gini, kemaren aku udah baca tulisan seseorang di mading, yang kayaknya itu ditujukan  buat aku, tapi entah dari siapa pengirimnya aku belum tau. Cuman ada inisial namanya doang,”
Ucap Zul seraya melirik ke arah gadis yang masih terdiam duduk di sebelah kirinya itu.

“Terus, belum lama ini aku juga mendapat sepucuk surat dari anak semerter tiga. Namanya Sindy, itu nama kamu bukan?,” tanya Zul. Ia memiringkan sedikit kepalanya untuk melihat ekspresi wajah gadis itu.

Gadis itu hanya mengangguk pelan, pandangannya masih melihat ke bawah. Sepertinya ia mulai malu dengan pertanyaan Zul barusan.

“Maaf kalau saya belum sempat membalas atau menjawabnya. Tapi... Begini, andaikata saya boleh meminta, bisa tidak untuk langsung saja berbicara pada saya mengenai hal itu? Tapi...saya faham kok mungkin hal itu bagi dek Sindy dinilai kurang efisien atau bagaimana. Saya hargai semuanya. Hanya saja sepertinya saya akan lebih berterima kasih lagi jika hal tersebut tidak sampai menimbulkan kegaduhan di sebagian warga kampus. Ya... Yang namanya penilaian orang itu kan berbeda, ya? Ada yang positif juga negatif. Namun saya pribadi berterima kasih sekali atas apresiasi dan sanjungan yang dek Sindy sampaikan.”
Ucap Zul seraya tersenyum ia berharap kata-katanya itu tidak menyinggung perasaannya.

“Maaf, jikalau perbuatan saya membuat Kak Zul tak nyaman. Saya gak bermaksud seperti itu...,” ucapnya terdengar lesu.

“Oh...enggak kok enggak, santai aja,” jawab Zul merasa tak enak.

“Untuk pertanyaan disurat itu gimana Kak?,” tanya Sindy meminta jawaban.

“Hmm...yang mana ya? Perasaan pertanyaannya banyak...haha...,”

“Semuanya juga boleh dijawab sekarang kalau Kak Zul gak keberatan,”

Zul sedikit berfikir, ia mengingat-ngingat kembali beberapa pertanyaan yang ditulis dalam surat itu.

“Hmm... Untuk pertanyaan pertama dulu ya... Kabar, alhamdulillah baik, dan do’akan selalu agar terus baik-baik saja. Kedua... apa ya? Oya tipe cewek yang disukai, ya? Hmm... Salah satunya itu...  yang bisa menjaga iffah dan muru’ah nya sebagai wanita. Kalau kurang tau artinya nanti bisa dicari aja ya dibuku. Banyak kok diperpus-perpus kayak gitu. Terus yang ketiga...status, nah...kalau yang ini... Jujur apa jangan nih?,” tanyanya seraya tersenyum lebar.

“Ya jujur lah...,” jawab Sindy yang juga tertawa kecil mendengarnya.

“Status saya...Alhamdulillaah...sudah bertunangan.,” jawabnya mantap.

Ya, hanya itu yang mampu ia ucapkan. Karena tak mungkin rasanya harus jujur untuk saat ini.
Mendengar itu, seketika Sindy terhenyak.

“Be-bertunangan?,”

“Alhamdulillah...,” sahut Zul seraya mengulum senyum.

Gadis itu menunduk, dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa ia tengah kecewa.

Zul menghela nafas, semoga dengan jawabannya seperti itu, Sindy  tak lagi berharap jauh padanya. Meski ia harus berbohong untuk hal ini.

Terlihat ia mengangguk pelan, berusaha menetralkan perasaannya yang sedikit tersayat karena cintanya harus bertepuk sebelah tangan.

“Sin?,” tanya Zul.

“Eu..iya..,” Sindy sedikit gelagapan dengan panggilan Zul.

“Kenapa?,”

“Oh..enggak, gak apa-apa..,”

“Maaf ya,, jika kata-kata saya barusan ada yang menyinggung,” ucap Zul.

“Gak ada kok Kak. Malah saya yang gak enak udah berbuat lancang sama Kak Zul. Saya gak tau kalau Kak Zul ternyata udah punya calon istri. Sekali lagi saya minta maaf...,” ucap Sindy seraya menunduk.

Melihatnya seperti itu Zul tersenyum lega.

“Iya... Gak apa-apa. Ya...seperti kata pepatah, tak kenal maka ta? Aruuuf.... Biar jadi kenal nantinya, tapi sekarang kan udah tau ya. Udah kenal juga.,” Zul kembali tersenyum. Hatinya berusaha untuk menjaga perasaan gadis itu.

“Iya, makasih banyak juga atas jawabannya Semoga setelah kejadian waktu itu Kak Zul gak benci sama aku ya...,” Sindy merasa tak enak hati.

“Enggak lah biasa aja. Gimana, udah pertanyaannya? Barangkali masih ada?,” tanya Zul ramah.

Sindy menggeleng seraya tersenyum.

“Kalau gitu aku pulang dulu ya. Mau ngerjain tugas kelompok sama temen,” ucapnya mengakhiri pertemuan mereka kali ini.

“Iya, silahkan,” jawab Zul.

Segera Sindy beranjak dari kursi dan melenggang pergi. Zul menghela nafas, harapannya semoga kedepannya hubungan pertemanan dengan gadis itu baik-baik saja.

.

Saat berjalan ke arah parkiran kampus, tak sengaja Zul bertubrukan dengan Karina yang juga akan berjalan ke mobilnya.

“Aduh!!,” teriak Karina kesakitan. Dokumen yang ia pegang ditangannya seketika jatuh berhamburan.

“Aduh maaf,” ucap Zul refleks, segera ia berjongkok untuk membantunya merapikan kertas-kertas penting itu. Seketika tatapan mereka bertemu, Zul tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Karina membalasnya dengan membulatkan mata. Meski jantungnya sebenarnya berdegup kencang melihat itu.

Lalu mereka kembali beranjak berdiri.

“Pulang bareng?,” Tanya Zul.

Karina melihat-lihat sekeliling. Sudah tak terlalu ramai disana.

“Nanti yang bawa motor kamu siapa?,” tanya Karina.

“Ya aku lah, maksudnya pulangnya bareng, Cuma naik kendaraan masing-masing,” jawab Zul seraya tertawa.

Karina menghela nafas.

“Terserah,” sahutnya sembari melenggang masuk ke dalam mobil.

Zul pun beringsut naik ke motornya lalu melaju pulang dan mengekor dibelakang mobil Karina.

======










Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang