Egi nembak Karina

325 17 0
                                    

Tiga hari berlalu, Zul dan Karina telah kembali lagi ke Ibukota. Aktifitas pun kembali berjalan seperti biasanya. Siangnya, setelah menunaikan shalat dzuhur di mesjid kampus, ketiga pria bersahabat itu memilih untuk beristirahat sebentar diterasnya, ngadem.


“Zul, udah ada kabar belum dari Hilya?,” tanya Agung.

“Belum,” jawabnya singkat.

Tangannya masih sibuk memainkan ponselnya.



“Gue pesimis kalau dia bakal mau sama gue,” ujarnya dengan nada tak semangat.



Zul menoleh ke arah nya.

“Yaaah, baru juga ngirim surat sekali udah putus asa, tuh liat si Kribo, dia udah jungkir balik sikut sana sini masih aja gak nyerah-nyerah,” tukas Zul seraya melirik ke arah laki-laki yang tengah duduk tak jauh darinya.

“Tapi mendingan lu langsung aja deh hubungin dia, nih gue kasih nomer nya,” lanjut Zul seraya memperlihatkan layar ponselnya pada Agung.

Agung pun meraihnya, terlihat nomor ponsel Hilya yang terpampang disana.

“Serius nih bro? Ya ampun.... Thank’s bangeeet...!!! Akh, Lu bener-bener sobat gue yang paling the best deh.... Thank’s ya bro.. Muuaach!,” Agung tersenyum girang, ia memeluk Zul dan mencium kilat pipinya.

“Jiihhh!!” Zul mengusap cepat bekas kecupannya itu.

Ya, Agung merasa ada jalan untuk bisa mendekati Hilya lebih dekat lagi berkat Zul.

Egi melirik ke arah dua pria didepannya yang terlihat sedang berbahagia. Namun ia sendiri tengah merasakan sedih hari ini. Ia menyenderkan kepala dan punggungnya ke tiang mesjid, serta menekuk sebelah kakinya. Tampak jelas sekali ia sedang tak bersemangat.

“Heh, bro...lu kenapa, sakit?,” tanya Zul.

Ia heran melihat gelagat Egi yang tak seperti biasanya hari ini. Semenjak pagi tadi ia hanya diam, tak banyak bicara. Saat pelajaran Karina pun ia terlihat begitu lesu. Aneh, biasanya ia paling antusias jika bertemu dosen favoritnya itu.

“Iya Gi! Tumben lu jadi pendiem? Kesambet setan bisu lu???,” Ejek Agung seraya melemparkan topi ke arahnya.

Egi hanya menepis, lalu memalingkan wajahnya.

“Tcaaahh...beneran ini mah harus dibawa ke psikiater,” tukas Agung seraya tertawa.

“Bro...! Gue ini lagi patah hati!,” seru Egi yang diakhiri dengan raut wajah penuh kesedihan.

Sontak Zul dan Agung melongo. “Maksud lo?,” tanya Agung tak mengerti.

“ Tadi pagi gue nembak Bu Karina, tapi gue ditolak..huaaaa...!!,” Egi meraung. Ia tak memperdulikan sekitarnya. Beberapa orang yang masih diam disana seketika menoleh ke arahnya.

“Sstt...!! Berisik luh, dimesjid!,” sergah Zul.

Ia langsung terdiam, hanya terdengar suara tarikan hidungnya saja. Zul dan Agung menahan tawa.

“Beneran Lu nembak bu karina? Wah, Bener-bener nekat lu ya..,” ujar Agung seraya menggeleng.

“Gue kan udah bilang, gue  itu serius sama dia. Gue gak main-main bro, suwerr...,” ucap Egi meyakinkan.

Zul menelan ludah. Membayangkan bagaimana jadinya kalau Egi sampai tahu jika wanita yang selama ini ia kejar ternyata telah menjadi istrinya. Apa nanti dia akan membencinya karena hal itu? Ah, benar-benar rumit.

“Terus Bu Karina bilang apa?,” tanya Agung penasaran.

“Dia Cuma bilang, katanya gue masih bocah, masih harus belajar yang bener. Dan dia bilang, kalau dia itu udah punya tambatan hati selain si brewok itu! Sumpah bro gue sakit dengernya, sakiiitt...,” jawab Egi seraya memegang dadanya.



Mendengar itu Zul mengulum senyum. Tetiba Ada rasa bahagia yang menjalar dihatinya. Ya, berarti tandanya Karina sudah bisa menerima kehadiran ia dalam hidupnya. Namun disisi lain, ia merasa seakan-akan dirinya tengah berbahagia diatas penderitaan sahabatnya sendiri. Zul menghela nafas perlahan, mencoba menenangkan perasaan Egi yang tengah patah hati.

“Sabar ya bro, ikhlasin aja kalau suatu saat lu bukan jodohnya,” ucap Zul seraya mengusap-usap bahu Egi.

“Zul, lu mau kan bantuin gue?,”

Zul tercengang, “bantu apa?,” tanyanya.

“Bantuin gue buat ngedeketin Bu Karina ama gue, pliss...” Ucapnya memohon.

“HAAAH???,” Zul melohok kaget.

“Pliss bro, lu kan udah ngedeketin si Agung ama si Hilya, masa ke gue lu enggak? Selama ini kan lu sering deket tuh sama Bu Karina, nanti lu bisa ngomong ama dia. Ya, ya? Plisss ..,” Egi mengatupkan kedua telapak tangannya.

Zul mengusap wajahnya kasar seraya membuang nafas.

“Tau ah,” ia acuh. Kemudian membaringkan punggungnya ke lantai  dan menutup muka dengan lengan kanannya. Pusing


“Yah... Gak setia kawan lu mah, ah!,” ujar Egi kesal.

*****
Malamnya, saat dirumah Karina.

“Zul, gimana sama bisnis Budi daya ikan yang kamu kelola itu?,” tanya Pak Rudi.

Mereka tengah duduk santai diruang keluarga.

“Alhamdulillah lancar, sekarang ini lagi buka cabang baru di daerah Cakung. Lahan nya lumayan luas sekitar kurang lebih satu hektar, nanti kita akan bangun pabrik pakan ikannya juga disana,” ucap Zul antusias.

“Wah, bagus kalau gitu. Papih senang melihat kemajuan kamu sekarang. Menjadi seorang pebisnis muda yang tak pantang menyerah,” puji Pak Rudi.

Ya, sebenarnya sudah lama ia menaruh kagum pada diri Zul. Ia pun tahu tentang menantunya itu dari beberapa rekan kerjanya. Pribadinya yang supel membuat orang banyak mengenali sosoknya. Dan kebetulan, ia juga memiliki ikatan pertemanan yang baik dengan ayahanda Zul semasa di Pondok dulu.

Namun mereka memilih jalan yang berbeda, Pak Rudi sebagai adik kelas memilih untuk bekerja dikantoran sedangkan Pak Hamdan orang tua Zul, memilih pulang ke kampung halamannya untuk mengabdi sebagai guru madrasah. Dan sepertinya sikap ‘alim nya itu turun dari sosok ayahnya.

“Alhamdulillah, semuanya juga berkat dorongan do’a dari semuanya, terutama Abah, Ambu, dan Bapak” sahut Zul seraya tersenyum.

“Dan itupun karena kerja keras kamu juga, mustahil semuanya terlaksana dengan baik tanpa ada usaha yang maksimal. Iya kan?,”

Zul mengangguk.

“Bapak bangga sama kamu, Masih muda, udah gak ngerepotin orangtua, gak kayak anak perempuan papi itu tuh, segede gitu masih manja,” ucap Pak Rudi seraya melirik ke arah Karina yang tengah fokus menonton televisi.

Merasa namanya disebut, ia pun menoleh ke arah dua pria yang duduk tak jauh darinya.

“Apa sih, nyebut-nyebut nama aku,” ketusnya. Lalu kembali menatap layar televisi.

Zul dan Pak Rudi menahan senyum.

“Nanti Belajar sama Zul, gimana caranya bisa kerja mandiri,”

“lah, Aku kan juga kerja. Ya, meskipun Cuma honorer,” imbuh Karina.

“Gak apa-apa, gak kerjapun gak masalah. Aku malahan seneng kalau punya istri cukup diam dirumah aja,” ucap Zul.

“Ya udah kalau gitu aku mau berhenti ngajar aja ya, gak apa-apa kan Pih?,” sahut Karina senang.

  Ia sebenarnya memang sudah malas untuk mengajar. Tak nyaman saja dengan sebagian para mahasiswanya yang  kegatelan.

“Ya.. Kalau papih sih terserah kalian, gak ada hak buat ngatur ini itu. Cuma ya pesen papi, kamu jadi istri yang baik buat suami kamu aja sudah cukup. Baiknya itu dalam segala hal loh ya, hargai dan hormati dia juga,” Pak Rudi memberi nasihat.

Karina menoleh ke arah Zul, laki-laki itu tengah tersenyum seraya mengedipkan sebelah mata ke arahnya. Zul merasa ada yang membela dirinya disitu. Karina memalingkan wajah. Sebal.

“Papih tidur dulu ya, besok pagi harus sudah ada di kantor jam enam, heemhh,” Pak Rudi tampak berdiri sambil menggeliat, merenggangkan otot-otot nya yang terasa pegal.

Lalu beranjak pergi ke kamar tidurnya.

Karina masih terduduk, netranya fokus menonton acara drama korea di layar kaca. Tangannya menopang dagunya. Zul beringsut menggeser duduknya mendekat ke arah Karina.

“Serius banget nontonnya, nanti kebawa baper lho,”  ucap Zul.

“Gak, biasa aja,”

“Biasanya cewek kan suka gitu, mudah terpengaruh sama film-film kayak gituan.”

Karina diam tak menyahut. Karena merasa diabaikan, Zul langsung mengambil remot ditangan Karina lalu mematikan tivinya cepat. Sontak Karina pun berusaha merebutnya kembali.

“Zul siniin ih! Lagi tanggung itu...,”

Ada adegan rebutan kayak anak kecil disana. Laki-laki itu malah senang membuat Karina merengut kesal.

“Nih, coba aja ambil kalau bisa,” Zul mengangkat remotnya ke atas.

Melihat itu, Karina merasa tertantang, ia bergerak cepat untuk meraihnya kembali. Namun sayang, tangannya tak mampu meraih benda yang dipegang Zul, ia malah terjatuh hingga menindih badan pria itu. Kini wajah keduanya sangat dekat. Zul tersenyum menatapnya. Tetiba jantung Karina berdegup tak beraturan lagi, segera ia mengangkat badan, namun dekapan Zul lebih cepat darinya.

“Mau kemana?,”

“Ih, lepasin Zul. Entar ada yang lewat,” Ia berusaha melepaskan diri dari pelukannya yang erat.

“Tapi janji ya, setelah ini layani aku,”

“Apa sih ah males,”

“Enggak denger apa tadi kata papi? Harus jadi istri yang baik,” ucap Zul santai.

“Iya, iya, tapi lepasin dulu ih, ini tangan aku pegel!!” geram Karina pelan.

Zul melepaskan pelukannya. Segera Karina beranjak duduk lalu merapikan sedikit rambutnya yang agak berantakan. Nafasnya terlihat tersengal-sengal seperti habis lari maraton saja. Ya, ia kelelahan sendiri setelah berusaha berontak dari pria itu. Zul tertawa kecil melihat wajah Karina yang tampak kemerahan.  Karina mendelik kesal ke arahnya.

“Hayuk buruan!,” ia beranjak dari sofa menuju kamar tidur.


“Lah, kok ngajak tapi cemberut gitu,” goda Zul.

“Habis,  kamunya yang duluan nyebelin!,”

Zul tersenyum geli melihatnya, gaya wibawa nya saat dikampus tak terlihat jika sudah berada dirumah.  Ia terus berjalan mengekor dibelakangnya.

Mereka berdua melenggang masuk ke kamarnya.

Zul berjalan mendekat, ia melihat Karina yang tengah merapikan tempat tidur sembari duduk diatasnya. 

“Ciee...yang udah bikin patah hati orang,” Ucap Zul seraya duduk di tepi ranjang.

Karina menoleh, lalu mengerutkan dahinya.

“Siapa?,” tanya Karina.

“Tadi pagi habis nolak cowok ya?,”

“Owh itu...,” ia menggeser posisi duduknya  bersejajar dengan Zul.

“Katanya udah punya tambatan hati? Siapa tuh?,”

Mendengar itu Karina terdiam, hatinya mulai dibubuhi rasa malu.

“Rahasia,” jawabnya singkat.

“Yang selama ini dirahasiakan kan Cuma aku,” Ujar Zul tersenyum pede. “gak bilang siapa-siapanya emang?.”

“Ya enggak lah. Masa iya aku bilang ke dia. Emangnya gak apa-apa gitu kalau aku jujur sama temen kamu itu?,” tanya Karina.

“Jujurnya kayak gimana dulu?,” kini mereka saling melempar pertanyaan.

“Ya kalau aku bilang, ‘tambatan hatiku itu temen kamu sendiri’. Lah, kan gak lucu.”

Tiba-tiba Karina merasa keceplosan, segera ia mengatup mulutnya rapat-rapat. Zul menyeringai ke arahnya seraya mendekati perlahan.

“Tuh kan... Udah mulai ngaku. Bilang aja kalau kamu itu cinta sama aku...iya kan?,”  Zul mengangkat-angkat sebelah alisnya.

Karina salah tingkah, tetiba ada desiran panas yang menjalar dipipinya. Terlihat ia menahan senyum.

“Apaan sih ah,” sembari menutupkan selimut ke badannya. Sungguh, ia benar-benar malu.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, segera Zul memburunya.

=====




Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang