Jalan-jalan di Kampung Zul 1

357 18 0
                                    

Hari yang ditentukan pun tiba, Zul dan Karina berangkat ke Bandung. Syukurlah perjalanan menuju sana lancar tak ada halangan apapun. Sesampainya di tempat kediaman Zul, mereka berdua disambut meriah oleh sanak keluarganya. Ya, kebetulan ia terlahir dari keluarga besar. Meski ia sendiri hanya tiga bersaudara dan memiliki dua orang adik yang kesemuanya laki-laki.

Setelah bercengkrama sebentar dengan beberapa saudaranya, Zul dan Karina menemui Ayahnya yang tengah berbaring istirahat di kamar tidur.

“Alhamdulillah, abah udah sehat lagi Zul. Syukur kalau kamu juga sehat,” tukas Pak Hamdan, setelah Zul menanyakan kabarnya.

Diketahui jika ayahnya itu baru pulang dirawat dirumah sakit beberapa hari yang lalu.

“Neng, gimana udah ngisi belum? Ambu teh ni udah pengen cepet-cepet momong cucu,” ucap Bu Maryam tak sabar.

Mendengar itu Karina dan Zul hanya tersenyum.

“Do’anya  aja ya mbu... Mudah-mudahan disegerakan,” jawab Karina sopan.

“Aamiiin... Insya Allah Neng, soalnya Abah sama ambu kan udah tua juga...mudah-mudahan masih ada umur buat bisa nimang cucu,” sahut Bu Maryam seraya memeluk Karina penuh cinta. Karina pun membalas pelukannya.

Ya, ia merasakan kembali pelukan seorang ibu, setelah bertahun-tahun lamanya ia hidup tanpa kasih sayang seorang ibu, hanya Bik Sari lah wanita yang selama ini yang selalu menemaninya.

*****

Malamnya...

“Yang, maaf ya kamarnya gak seluas kamarmu. Ranjangnya juga gak empuk,” ucap Zul seraya menepuk-nepuk ranjangnya yang sudah lama tak ia pakai.

Selama ini yang selalu memakai kamarnya hanya adik-adiknya saja. Mendengar panggilan ‘Yang’,  yang diucapkan Zul barusan terdengar geli ditelinga Karina. Terasa aneh.

“Biasa aja deh manggilnya,” tukas Karina seraya tertawa kecil.

“Lah terus pengennya gimana? Bebeb??” tanya Zul.

Karina tertawa. “haha...sebel banget malah aku denger kata itu. Ya... yang biasa kamu panggil aja,”

“Apa? Bu Karina?? Tapi kesannya kayak yang formal gitu ya,” Tukas Zul.

“Ya gak itu juga sih. Karina aja biasa,” jawabnya seraya tersenyum kecil.

“Bagusnya, ada panggilan sayang buat suami istri, biar tambah harmonis gitu,” ucap Zul seraya melingkarkan tangannya ke pinggang Karina.

“Aku manggilnya cinta aja ya,” Zul mengangkat-angkat sebelah alisnya.

Karina menahan senyum sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

“Lebay ih! Tapi ya terserah kamu aja deh, yang penting jangan keceplosan manggil itu kalau dikampus!,” sergahnya.

“Biarin, paling nanti aku digeruduk para fans kamu,” Zul berkilah. “Ya udah bobo yuk udah malem,” ajaknya.

Suasana malam hari disana memang terasa dingin. Karena tempat tinggal Zul kebetulan di daerah pegunungan. Mereka berdua tidur berhadapan dalam satu selimut yang hangat, rasa dingin begitu menusuk tulang. Karina menenggelamkan wajahnya ke dada Zul, terlihat ia sedikit menggigil menahan rasa dingin. Zul memeluknya, sesekali tangannya membelai rambut wanita itu lembut.

Dari belaian, berubah menjadi rabaan. Perlahan ia rapatkan tubuhnya ke tubuh Karina. Wanita itu hanya diam. Sehingga Zul lebih berani melakukan lebih.

*****

Esok paginya. Mereka duduk-duduk di teras belakang sambil memandang pemandangan kebun teh yang terhampar luas. Kabut pagi yang menutupi sebagian perkebunan pun seakan menjawab rasa dingin yang menusuk.

“Dingin ya?” tanya Zul pada Karina.

Wanita itu terlihat mengusap-usap telapak tangannya sambil sesekali meniupnya. Badannya pun terlihat sedikit menggigil.

“Nih minum dulu,” Zul menyodorkan segelas teh hangat pada Karina.

“Aku kan udah bilang, mandinya pake air anget aja, air disini lumayan dingin kalau pagi-pagi, apalagi subuh” lanjutnya lagi.

Perlahan Karina menyeruput teh yang masih mengepulkan asap tipis itu.

“Masa iya kamu pake air dingin aku air anget, malu-maluin,” ujar Karina.

Zul tertawa. “Mandi aja pake jaim-jaiman segala Neng. Kalau aku mah udah biasa. Mungkin kamu aja yang belum terbiasa,” ucap Zul.

Beberapa menit mereka mengobrol sambil menghabiskan minuman teh hangatnya.

“Ikut yuk, jalan-jalan kesana,” ajak Zul seraya menunjuk ke arah perkebunan teh.

“Gak ah masih dingin gini. Aku mau tidur lagi aja,” ucap Karina seraya masuk ke dalam rumah.

Zul menghembuskan nafas sambil menggeleng-geleng.

“Hadeeuhh... Baru nemu dingin kayak gini aja udah mager gitu, gimana kalau aku bawa ke kutub utara?,” lirih Zul seraya pergi ke arah perkebunan teh.

****
Ya, sudah lama ia tak menikmati pemandangan alam yang sejuk seperti ini. Ia berjalan-jalan masuk ke area perkebunan. Sesekali menghirup udara segar dan menggerak-gerakkan badannya. Tak lama, terdengar ada suara wanita yang menyebut namanya.

“A Aden?,”

Zul menoleh. Ia kaget ternyata disana telah berdiri Hilya dibelakangnya.

“Neng Hilya? Lah kok neng ada disini?,” Tanya Zul.

“Iya, neng lagi ada tugas penelitian dari kampus. A aden sendiri ada acara apa?,” Tanya Hilya.

“Hmm....abah. Abah lagi sakit, jadi Aa izin untuk pulang dulu kesini,”

“Oh...gimana sekarang keadaannya? Maaf banget ya, neng belum bisa nengok kesana. Ini juga lagi dikejar deadline,” Ucapnya tak enak hati.

“Gapapa, do’anya aja,”

“Kapan Aa balik ke Jakarta?,”

“Insya Allah lusa, kalau neng sendiri?,”

“Kayaknya besok juga berangkat lagi,”

Zul mengangguk.
“Hilya!!,” Teriak teman-temannya yang sedari tadi berdiri agak jauh dibelakangnya.

Kelima temannya telah selesai mengambil gambar. Hilya menoleh, terlihat salah satu diantaranya menggerakan tangannya sebagai kode “hayuk”. Hilya pun mengangguk.

“Neng pulang dulu ya, kegiatannya udah selesai.” Ucapnya seraya tersenyum.

Ia berbalik badan hendak melangkah pergi.

“Neng, tunggu sebentar!,” panggil Zul.

Ia pun menoleh, “Ada apa?,”

“Hmm...gimana sama balasan suratnya?,” tanya Zul.
Gadis itu terlihat sedikit berfikir. Lalu tersenyum, ya senyum yang terlihat  dipaksakan.

“Maaf belum sempet ngebales. Kalau ada perlu, suruh langsung WA aja ya. Yuk ah, Assalamu’alaikum,” ucapnya seraya pamit pergi.

“Wa’alaikumsalam,”

Zul memperhatikan gadis itu berlalu dari pandangannya. Ya, jikalau saja Hilya sedang tak terburu-buru, mungkin ia akan bercerita tentang rahasia besar dalam hidupnya itu disini. Meski sebenarnya masih ada rasa khawatir dalam hatinya.

*****

Sudah hampir setengah jam Zul berkeliling di area perkebunan. Dirasa sudah lelah, ia segera beranjak pulang.

“Darimana aja kamu?,” bisik Karina sesaat setelah Zul masuk kerumahnya.

Tampak Karina tengah menyiapkan piring-piring ke atas meja makan yang berbentuk bundar.

“Habis olahraga ke kebun teh,” Jawab Zul seraya melenggang ke kamar mandi untuk membasuh muka dan cuci tangan.

“Hayuk, sarapan dulu..,” ajak ambu pada seluruh anggota keluarganya.

Tak lama mereka telah bersiap duduk di meja makan beserta kedua adik Zul. Kecuali Abah, ia hanya akan makan dikamarnya saja, sambil duduk berselonjor kaki, karena masih tak kuat meski hanya untuk sekedar duduk tegak di kursi.

“Zul, nanti ajak Neng Karin berkeliling kebun ya... liat-liat pemandangan disini biar gak bosen. Kalau mau sekalian silaturrahmi kerumahnya Mang Mamat yang di lebak,” Ucap Ambu.

“Iya, nanti paling agak siangan. Kalau sekarang kayaknya bakal gemeteran naik motornya,” jawab Zul seraya melirik ke arah Karina.

Karina pun melirik sekilas ke arah Zul, ia merasakan pria itu sedang menyindirnya.

Setelah mereka selesai mengisi perut, Karina beranjak membantu ambu membereskan bekas sarapannya itu lalu mencucinya. Kemudian mencuci pakaian dan mengepel lantai. Hampir setengah jam bergulat di perairan, kembali ia beranjak ke tempat tidur.

“Hey... Hey...mau ngapain Non?,” tanya Zul saat melihat Karina tengah mengambil selimut dan naik ke atas ranjang.

“Mau ngangetin badan dulu, dingin,” tukas Karina.

Zul tersenyum heran melihatnya.

“Ampuun gusti, ini mahluk mager amat. Mau hibernasi?,” Ia meraih selimut yang dipakai Karina lalu menyibaknya.

“Iiihh .. Zul... Kamu gangguin orang aja ya. Aku kedinginan tau, tadi habis basah-basahan,” ujar Karina kesal.

“Hayuk ikut ke lebak. Mau aku kenalin sama sodaraku yang lain,” ajak Zul.

“Iya nanti... Sepuluh meniiiit aja..,” Karina memohon.

“Yang ada sepuluh jam entar...hayuuk ah buruan.!,”

Zul menarik tangan Karina. Dengan terpaksa akhirnya ia turun juga dari ranjang.


“San, pinjem kunci motor,” ucap Zul pada Ihsan, adiknya.

Pria berusia lima belas tahun yang tengah duduk santai sambil menonton televisi itu segera beranjak untuk mengambil kunci motor di atas lemari. Zul tengah bersiap-siap memakai jaket, begitupun Karina.

“Nih, A,” Ucap Ihsan seraya menyodorkan kunci motornya pada Kakak tertuanya itu.

Mereka berdua berpamitan pada Ambu dan Abah, lalu beranjak menaiki motor bebek keluaran tahun dua ribuan milik abahnya itu.
=====
Disepanjang perjalanan, banyak pemandangan indah yang memanjakan mata. Gunung-gunung yang menjulang tinggi seakan berbaris beraturan di belakangnya, pohon-pohon pinus yang berjajar rapi, serta hamparan perkebunan teh dilereng gunung yang terhampar luas, membuat  Karina berdecak kagum memandangnya.

Ucapan kekaguman pada lukisan alam sang Illahi Robbi pun sesekali terucap dari lisannya. Hembusan angin segar namun menusuk tulang membuatnya makin erat memeluk Zul dari belakang. Padahal sinar mentari yang menyoroti bumi sudah hampir sampai di puncaknya.

“Zul...kayaknya aku betah deh disini..,” ucap Karina yang sedari tadi menempelkan dagunya pada bahu Zul.

“Pasti... Aku aja betah... Tapi aku yakin kamu betahnya di kasur kalau disini terus,” sindir Zul seraya menahan senyum.

“Ih kamu nyindirin aku terus dari tadi,” Karina merajuk.

“Hahaha... Abisnya kamu dikit-dikit selimutan, dikit-dikit tiduran. Gerak dong biar sehat,” tukas Zul.

Karina hanya manyun mendengarnya.

Tak lama mereka memasuki kawasan pesawahan yang tak kalah indahnya. Jalan aspal yang mereka lalui terapit oleh sengkedan sawah yang terhampar luas dan rapi serta berwarna hijau, sebagiannya hampir menguning. Karina tak henti-hentinya berdecak kagum dan gemas melihat pemandangan alam yang hampir tak pernah ia temukan keindahannya di Ibukota. Sejuk. Ya, ia merasakan kesejukan panorama alam disana.

Lima belas menit mereka sampai. Zul memarkirkan motornya di depan sebuah rumah bilik. Rumah-rumah disana tak terlalu padat penduduk. Disekelilingnya lebih banyak dipadati persawahan.

“Ini rumah Paman. Adiknya Ambu, Namanya Mang Mamat,” ucap Zul seraya berjalan mendekati rumah bilik itu.

Rumah yang sederhana namun sejuk. Zul mengucapkan salam sembari mengetuk pintunya yang terbuat dari triplek tanpa cat. Namun sepi, tak ada satupun yang menyahut. Zul mengingat-ngingat.

‘Kayaknya mereka lagi pada ke sawah. Biasanya jam segini memang selalu ada disana’ batin Zul.

“Gimana? Ada orang?,” bisik Karina.

“Sepi. Kayaknya mereka lagi pada ke sawah deh. Kita langsung susul aja kesana yuk,” Ajak Zul.

“Emang kamu tahu dimana tempatnya?,”

“Tahu lah, dulu sering kesana. Yuk,”

Akhirnya mereka putuskan untuk pergi ke sawah milik pamannya tersebut.

=======












Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang