Malam Pertama

528 21 0
                                    

Beberapa buah makalah yang teman-temannya kumpulkan telah siap di tangan Zul. Ya, tak lupa juga tugas tambahannya sendiri yang lembaran kertasnya terlihat jauh lebih tebal dari milik teman-temannya yang lain. Nasib memang, memiliki istri seorang dosen yang bersikap profesional kala memberikan tugas mata kuliah. Mau di bujuk bagaimanapun juga tetap tak goyah pada pendiriannya. Ya bagus sih, hanya saja terasa menyebalkan.

Zul berjalan menuju ke ruangan Karina, tampak pintunya terbuka lebar. Ia sedikit membungkukan kepalanya untuk melihat ada siapa didalam. Ternyata disana ada Pak Surya yang tengah berbincang. Zul menunggunya diluar dekat pintu. Tak lama, dosen pria berkumis itu pun keluar, Zul menyapanya seraya menganggukan kepala sebagai tanda hormat. Setelah itu ia masuk dan menutup pintunya.

“Ini, tugas kemaren,” ia beranjak duduk didepan meja Karina. “Oya, sepulang kuliah rencananya aku mau ke Peternakan. Ada meeting sama pengelolanya disana, sekalian cek tempat baru yang nanti bakal digarap. Paling aku nginep lagi di kostan, sekalian mau bikin soal ujian buat anak-anak les minggu depan.” Lanjutnya.

Karina mangut-mangut.

“Ada yang sulit gak sama tugasnya?,” tanya Karina seraya membuka-buka lembaran tugas makalah ditangannya.

“Gak ada. Yang sulit itu luluhin hati kamu,” ucap Zul.

Terlihat senyum kecil di ujung bibir Karina. Zul mengambil sebuah amplop coklat di saku jaketnya. Lalu menyimpannya di atas meja.

“Apa ini? Kalau mau bayar administrasi sekolah, langsung aja ke TU,” ucap Karina.

Zul tersenyum. “Bukan, ini buat kamu. Ya, anggap aja sebagai nafkah dari aku. Ya udah aku ke kelas dulu ya. Assalamu’alaikum,” ucapnya seraya beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu.

“Wa’alaikumsalam,”

“Oya, kalau dirasa kurang, nanti bilang aja ya,” Lanjut Zul setelah itu ia menutup kembali pintunya.

Karina tersenyum. Tangannya meraih amplop coklat yang tergeletak didepannya. Perlahan ia membuka dan mengambil isinya. Terdapat uang lima puluh ribuan sebanyak empat belas lembar. Entah kenapa Karina merasa tak enak hati menerimanya. Ya, meskipun ia tahu jika ini memang sudah haknya.

*****

Sepulang kuliah, Zul menuju ke tempat Peternakan Ikan Koi. Tampak ia melihat Hilya dan seorang teman wanitanya berdiri di depan gang yang waktu itu pernah ia antar kesini. Zul melewatinya seraya membunyikan klakson dan menganggukkan kepalanya sekali. Hilya menoleh namun segera memalingkan wajahnya. Zul merasa heran melihat sikapnya barusan.

‘Tumben, biasanya selalu nyapa balik. Apa dia tidak mengenaliku?’ ucapnya dalam hati.

Setelah selesai rapat dengan beberapa rekan bisnisnya, kemudian ia beranjak menuju tempat yang akan dijadikan peternakan ikan baru. Ya, sebuah lahan luas yang akan mereka garap beberapa bulan kedepan. Zul merasa puas, bisnis penjualan ikan yang ia rintis bersama Rendi teman mondoknya dulu telah berhasil tembus ke mancanegara. Hanya saja, ada sedikit trouble dari data keuangan yang ia pegang.

******

Setelah magrib Zul baru sampai ke kostannya. Segera ia membersihkan diri dan kembali berkutat di depan laptop. Ia menghembuskan nafas yang terasa sesak memenuhi dada. Wajahnya begitu terlihat lelah. Namun, demi masa depannya yang cerah, ia rela berjuang menghabiskan waktu dan tenaganya yang terkuras.

Ya, hampir tidak ada waktu untuknya pergi berlibur dan bermain seperti layaknya teman-temannya yang lain. Namun ia sudah cukup terbiasa dengan aktifitasnya yang padat semenjak mondok dahulu. mumpung masih muda. Fikirnya.

Tak lama suara deru mesin mobil terdengar di depan rumahnya. Ia menyangka kalau itu mobil tetangganya yang baru dibeli kemarin.
Tok..tok... Suara pintu diketuk. Zul melirik ke arah pintu lalu beranjak membukanya.

“Assalamu’alaikum Zul...,” sapa seseorang dengan ramah.

“Bu Karina? Euh..wa’alaikumsalam hayu masuk,” 

“Tumben magrib-magrib kesini? Papih tau?,” tanya Zul setelah mereka duduk.

“Justru itu, papih tadi sore berangkat ke Semarang, mau nginep tiga hari katanya disana, terus Bik Sari juga besok mau pulang kampung. Aku gak ada temen dirumah. Takut,” jawabnya.

“Oh...,”

“Gimana sama tugas kamu yang di Peternakan, udah selesai?” tanya Karina.
“Yah... gini lah, masih harus dicek ulang lagi data-data nya, ini lagi di audit,” Ucap Zul. Ia tengah fokus pada layar laptop nya.

“Bikin soal ujian nya udah?,”

“Belum, nanti habis selesai ini,”

Karina menggeser duduknya kesamping  Zul.

“Sini biar aku yang bantu audit. Kamu ngerjain yang lainnya aja ya, biar cepet,” tawarnya.

Zul menoleh, “serius mau bantuin?”

Karina mengangguk seraya tersenyum.

“Alhamdulillah...dibantuin dosen yang handal dibidangnya,” puji Zul.

Karina hanya tertawa. Lalu ia mengambil alih tugas Zul sambil sesekali di beri arahan oleh Zul mengenai perusahaannya.

Tak terasa hampir jam sembilan malam. Mereka terlalu sibuk mengerjakan sesuatu yang mewajibkan fikirannya fokus dan teliti. Kini waktunya merefresh otak masing-masing. Wajah cantik wanita itu masih fokus pada layar laptop. Dahinya terlihat sedikit mengerut.

“Istirahat dulu Non, nanti otaknya ngebul lho...,” ucap Zul memecahkan keheningan suasana.

Karina melirik ke arah Zul, lalu mengangguk setuju. Ia melepaskan ikatan rambut yang terasa mengikat keras sampai ke otaknya. Dan membiarkan rambut indahnya tergerai.

“Kita makan diluar yuk, dinner...” Ajak Zul.

“Boleh, pake mobil apa motor?,”

“Motor lah, biar so sweet,”

Karina menahan senyum mendengarnya. Zul beranjak untuk bersiap-siap, ia memakai jaket levis. Tak disadari, ternyata mereka sama-sama mengenakan jaket berbahan serupa.

“Yuk berangkat,” ajak Zul.

“Helm nya?,” tanya Karina

“Gak usah, deket ini, Cuma kedepan situ doang,”

Ya, malam ini sebenarnya ia merasa gerah. Siang tadi suasana ibukota begitu menyengat kulit. Ingin rasanya ia merasakan semilir angin malam yang membelai rambutnya. Tak lama, mereka telah sampai ditempat tujuan. Karina sedang ingin menikmati hidangan seafood. Zul Memilih warung makan sederhana dipinggir jalan sebuah Mall. Dan untungnya, Karina tidak menolak.

Mereka duduk bersebelahan disebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu. Karina memesan cumi udang lada hitam, sedangkan Zul memilih makannya dengan kerang saus tiram kecap. Setelah makanannya siap, mereka berdua menikmatinya dengan lahap. Ya, perut keduanya memang sedang lapar.

“Nih, aku suapin, Aaa...,” Zul menyodorkan makanannya ke mulut Karina.

“Ih apaan sih Zul, banyak orang tau malu-maluin aja,” Bisik Karina.

“Kamu belum pernah ngerasain jadi orang norak ya?,” celetuk Zul.

Karina tersenyum geli mendengarnya. Ia merasa pria ini selalu membuatnya tertawa dengan celetukannya yang khas. Ya, pribadinya yang kalem namun terkadang humoris.

“Ayok sekali aja,” Paksanya lagi.

Tampak Karina melihat-lihat ke sekelilingnya, ia malu jika nanti ada orang yang melihat. Akhirnya satu suapan berhasil mendarat masuk ke mulutnya. Karina sedikit tertawa seraya menutup mulut dengan tangan kanannya, ada rasa malu juga diperlakukan seperti itu oleh Zul. Sementara Zul, ia hanya tertawa kecil.

“Kaya penganten lagi ya kita,” ucap Zul.
“Waktu dipelaminan dulu pas aku nyuapin kamu,  kamunya cemberut aja gak ketawa kaya gini,” lanjutnya, ia mengingat kembali saat-saat pernikahan mereka beberapa bulan yang lalu.

Karina hanya diam sambil terus mengunyah. Matanya tertuju pada hidangan dipiring.

“Makasih ya udah mau aku ajakin ngedet, meski Cuma di warung makan,” ucap Zul.

Karina menoleh, ia hanya tersenyum sebagai jawabannya. Setelah selesai makan, mereka ngobrol-ngobrol sebentar disana.

“Zul, kayaknya gerimis deh,” ucap Karina sambil melihat ke arah luar. Zul pun menoleh.

“Iya. Ya udah pulang yuk keburu gede nanti hujannya,”

Setelah selesai membayar, buru-buru mereka beranjak pulang. Rintik gerimis yang awalnya terlihat kecil, serasa besar saat ditembus kencangnya motor yang melaju. Terlihat dengan jelas jutaan rintik hujan yang menyerbu bumi oleh sorotan lampu motor dikegelapan malam.

Angin dan air yang menyatu pun terasa keras menerpa wajah keduanya. Karina menunduk, ia berlindung dibelakang punggung Zul. Sementara pria didepannya hanya bisa mengerungkan mata, karena ia harus tetap fokus mengendara. Sesekali ia mengusap wajahnya yang basah terkena sapuan air. Karina memegang ujung jaket Zul, ia masih menunduk. Rasa dingin menyelimuti keduanya. Ya, jaket yang dipakainya tak mampu melindungi dari dinginnya malam dan hujan.

Zul meraih tangan Karina dengan tangan kirinya,  sedangkan tangan kanannya memegang stang motor. Ia lingkarkan tangan Karina ke perutnya. Entah sadar atau tidak, Karina melingkarkan tangan satunya lagi. Ya, kini ia memeluk Zul rapat. Ada degupan jantung yang terasa saat itu. Zul tersenyum.

Rintik hujan semakin deras saja. Untungnya jarak ke kostannya tak begitu jauh. Setelah sampai, Zul segera mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan yang kering.

“Pinjem handuknya aku mau mandi,” kata Karina.

“Mandi? Malam-malam gini? Gak takut masuk angin?,” tanya Zul heran.

“Gerah,” jawab Karina singkat.

Zul melohok. “Gerah dari mana? Jelas-jelas dingin gini juga,” tukasnya.

Zul terlihat sedikit menggigil. Wajah dan telapak tangannya terasa dingin.

“Udah mana sini....,” pinta Karina.

Segera ia mengambil handuk di lemari, lalu memberikannya pada Karina. Wanita itu berjalan masuk ke kamar mandi.

“Aneh...,” lirih Zul.

Zul beranjak ke kamar, sudah ingin menghangatkan badannya yang terasa kedinginan. Ia berbaring di matras sambil membaca buku. Selimut tebal menutupi sebagian badannya. Ya, lumayan bisa menghangatkan tubuhnya yang sedikit menggigil.. Hampir sepuluh menit Karina belum muncul juga.

‘Emang cewek kalau mandi suka lama gitu, ya?’ batinnya.

Tak lama, Karina pun selesai. Ia masuk ke kamar tidur seraya menutup pintu. Zul menoleh, ia terbelalak kaget saat melihat pemandangan indah dihadapannya itu. Ya, Karina hanya memakai handuk yang melilit di bagian dada hingga pahanya saja. Rambutnya yang panjang terlihat basah seperti habis keramas. Baru pertama kali ia melihatnya seperti itu. Perlahan Karina melangkah ke arahnya. Seketika Zul terbangun duduk, matanya masih memandang Karina, bisa dipastikan ia tak mengedip-ngedip.

Karina duduk berlutut dihadapan Zul.

“Zul.... Malam ini.. Aku ingin mengabdi sebagai seorang istri kepadamu...” ucap Karina. Ia terlihat menunduk.

“A-apa? Gimana-gimana ulangi?,” Zul tetiba terlihat bego dibuatnya. Padahal ia sendiri sudah tahu maksud Karina apa.

“Aku gak mau dosa berlarut-larut karena membiarkanmu,” Jawab Karina seraya tersenyum.

Zul meneguk salivanya. Degupan jantungnya terasa berlomba.

“Kamu mau kan?,” ajaknya Lagi. Kini ia tersenyum lebar.

“Kamu yakin? Udah siap emang?,” tanya Zul meyakinkan.

Karina mengangguk seraya tersenyum. Senyuman yang terlihat menggoda bagi Zul.

Ya, selama ini ia tak pernah memaksakan kehendaknya untuk berhubungan intim dengan istrinya itu. Ia menunggu keikhlasannya saja untuk berbagi.

“Tapii...ini tempatnya sempit gini, gak apa-apa?,” tukas Zul sambil melihat-lihat ke arah matrasnya.

Karina berdecak. “Gak apa-apa, gak masalah,” Wanita itu mengedipkan matanya.

Sebenarnya Zul merasa ngeri-ngeri sedap melihat Karina yang tiba-tiba seperti itu. Ia takut wanita itu tengah kesambet jin kamar mandi. Tapi aahh...peduli apa soal itu, yang penting ia pun kini tengah menginginkannya.

Namun Zul jadi merasa salah tingkah dibuatnya, ia bingung harus memulai darimana, apa harus mandi dulu seperti Karina atau bagaimana. Ah, bismillah saja lah. Ya, keduanya melewati malam ini sebagai malam pertama mereka, setelah hampir tiga bulan lamanya mereka menikah. Bergumul dalam satu selimut hangat di malam yang bergerincik hujan.

*****

Esok paginya.
Zul dan Karina tengah bersiap-siap berangkat ke kampus.

“Lupa aku gak bawa hairdryer,” ucap Karina seraya menyisir rambutnya yang basah.

“Gak apa-apa, biar keliatan seksi,” goda Zul.

Entah mengapa Karina merasa malu saat mendengar Zul bicara seperti itu. Mereka berangkat dengan mengendarai kendaraan masing-masing. Ya, masih seperti sebelumnya.

*****

Sesampainya di kampus, Karina merasa risih karena banyak mata yang memandang ke arahnya. Pandangan seperti yang baru melihatnya datang ke kampus ini. Ia yakin pasti karena penampilannya yang berbeda. Dan itu efek rambutnya yang tergerai dan sedikit terlihat basah, tidak tergulung rapi seperti biasanya.

Ya, sebab biasanya ia tak pernah membiarkan rambutnya terlihat basah kemanapun ia pergi. Terdengar suara siulan beberapa mahasiswanya yang tengah berkumpul. Ia menghela nafas. Mencoba bersikap ramah dan berwibawa.

Ia berjalan di koridor menuju kelas semester tiga untuk mengajar, namun saat akan belok tak sengaja langkahnya hampir beradu dengan langkah Zul, Keduanya terlihat kaget. Namun Zul malah tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Tiba-tiba ada rasa panas yang menjalar dipipi Karina. Malu. Langsung saja ia buru-buru pergi meninggalkan Zul yang berniat pergi ke perpustakaan.

Entah mengapa setelah kejadian tadi malam, ia merasa malu jika melihat Zul, meskipun hanya dari jauh. Debaran jantungnya seakan tak terkontrol saat melihat suaminya sendiri. Untungnya hari ini tidak ada jadwal di kelasnya. Jika ada, dipastikan ia tidak akan fokus saat mengajar.

****
Jam pertama selesai, ketiga pria bersahabat itu akan menghabiskan waktu luangnya di warteg Mpok Yuyun seperti biasa. Saat berjalan menuju luar gedung, mereka berpapasan dengan Karina yang akan masuk keruangannya.

“Siang Bu....,” sapa Egi dan Agung ramah.
Namun Karina hanya berjalan menunduk tak menjawab.

Ketiga pria itu heran, netra mereka menatap dosennya yang terus berjalan ke belakangnya.

“Kenapa Bu Karina? Tumben gak jawab? Biasanya suka ‘siang’...” Tukas Egi seraya mengikuti gaya wibawa Karina.

“Lagi ada masalah mungkin,” jawab Agung.

Zul langsung mengingat-ngingat.

‘Kayaknya semalem biasa-biasa aja deh. Apa aku melakukan kesalahan?’ batinnya bertanya-tanya.

Mereka menghabiskan jam makan siangnya di warteg langganan. Setelah itu seperti biasa, mereka akan duduk-duduk sebentar menikmati udara sejuk di dekat area parkir. Ya, sinar matahari yang menyengat di siang bolong ini, membuat kulit mereka butuh kesejukan dan kesegaran angin sepoi-sepoi.

Agung menepuk-nepuk bahu Zul. Zul menoleh. Terlihat dagunya menunjuk ke arah tiga gadis yang akan berjalan melewati tempat duduk mereka. Disana ada Hilya beserta kedua temannya yang lain.

Kemudian Agung tersenyum lebar ke arahnya. Ya, sok cari perhatian.
Namun Hilya hanya melirik ke arah mereka sambil terus berjalan melewatinya. Tanpa ada sapaan maupun senyuman yang biasa ia tunjukkan. Jelas, ketiga cowok itu menatapnya heran. Maniknya terus melihat Hilya hingga menjauh.

“Si Hilya kenapa? Tumben gak senyum-senyum?” tanya Agung. Ia merasa kecewa karena tak bisa melihat senyuman manis gadis itu.

Zul mengangkat kedua bahunya. “Malu kali, lagi sama temennya,” ujarnya.

“Tadi Bu Karina yang cuek gitu sekarang si Hilya.” Seloroh Egi.

Zul terdiam, memang ia sendiri merasakan ada yang berbeda dari kedua wanita itu hari ini. Terutama Hilya.

‘Itu cewek kenapa ya? Kemaren sore pas mau ke peternakan pun Hilya keliatannya cuek banget pas gue klakson’ hati Zul bertanya-tanya.

Ia mengangkat bahunya lagi. Lalu kembali menikmati sebotol minuman dingin bersama kedua sahabatnya.

======














Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang