Jalan-jalan di Kampung Zul 3

326 20 0
                                    

Sembari mengistirahatkan kakinya yang kesakitan, Karina menghangatkan badannya yang juga kedinginan diatas batu besar itu. Tak lama seorang anak kecil berkepala gundul mendekat, ditangannya ia membawakan ponsel Zul yang tersimpan di dalam jaket ditepi sungai.

“Nuhun nya,” ucap Zul berterima kasih.

“Sami-sami,” jawab anak kecil yang hanya bertelanjang dada itu.

“A, eta kabogohna? (A, itu pacarnya?),” Tanyanya.

“Enya, geulis teu? (iya cantik gak?) ” Jawab Zul seraya merangkul Karina.

“Geulis pisan, siga artis korea. Jang urang we..(cantik banget, kayak artis korea. Buat aku aja),” Ucap anak kecil itu seraya tersenyum lebar.

Zul menohok mendengarnya.

“Heeeh...! Ente mah leutik keneh. Nam kaditu deui, tong ngaganggu! (Heeeh..! Kamu masih kecil. Udah kesana lagi. Jangan ngeganggu!),”

Anak kecil itu hanya tertawa seraya pergi berenang kembali bersama teman-temannya.

“Enak aja, gak tau apa dapetinnya susah payah, main minta aja lu, gundul,” gumam Zul.

Karina tertawa kecil. Meski tak begitu faham dengan bahasa mereka namun sedikitnya ia mengerti maksud pembicaraannya kemana.

“Yuk kita foto dulu,” Ajak Zul seraya meluruskan tangan untuk mengambil gambar keduanya. Karina tersenyum ke arah kamera.

Cekrek! Cekrek!

Foto berlatar sungai Cipancur pun tersimpan ke dalam galleri. Cantik.


“Aku kesana dulu ya?,” Zul menunjuk ke arah anak-anak tadi yang sedang berenang.

“Lho..mau ngapain? Berenang lagi?,”

“Iya, kan belum liat aku salto,”

“Astagfirullah Zul... Enggak-enggak, gak boleh,”
Karina memegang erat lengan Zul.

“Enggak akan apa-apa... Aku Cuma mau latihan doang, udah lama gak renang,”

“Latihan renang tuh dikolam renang, bukan disini! Aneh kamu... Entar gimana coba kalau kamu hanyut, atau tiba-tiba ada air bah dateng,”

“Haha... Ternyata kamu possesif juga ya... Insya Allah aku gakan kenapa-napa sayang... Cuma sebentar aja kok, ya?,”

“Bukan possesif, aku Cuma khawatir aja,”

“Jadi kamu ngekhawatirin aku nih...,” zul mengangkat-angkat kedua alisnya.

Karina mendengkus kesal seraya memalingkan wajah.

“Jangan cemberut gitu dong... Gak akan lama da, ya... ,”

Langsung saja ia mengecup pipi Karina. Sontak Karina terbelalak kaget. Ia melihat-lihat ke sekelilingnya, takut-takut ada yang melihat tindakan Zul barusan.

“Ih...kamu ya!,” Karina memukul lengan Zul agak keras.

Pria itu hanya tertawa kemudian kembali masuk ke perairan dan berbaur bersama anak-anak.
Karina menyaksikannya dengan hati was-was, ia khawatir jika ada sesuatu terjadi pada suaminya itu.

Zul berdiri di atas batu kemudian meloncat ke dalam air dengan cara memutar tubuhnya. Ya, dia benar-benar salto. Terdengar suara heboh dan tepukan tangan dari anak-anak yang melihatnya. Seakan-akan mereka sedang melihat atraksi fantastis.

Zul kembali berenang, ia melambaikan tangan ke arah Karina seraya tersenyum lebar.

“Ck..! Kayak anak kecil banget sih,” lirih Karina sebal.

Ia memilih berfoto selfie saja di hape Zul, untuk menghilangkan rasa bosan yang mulai mendera.

Tak lama terdengar suara teriakan anak-anak sembari menunjuk ke arah Zul yang perlahan terlihat hanyut, tangannya meronta-ronta ke atas permukaan air, seperti yang kesulitan untuk berenang. Karina terbelalak kaget, sontak ia pun berteriak histeris.

“Zuuulll!!! Hey... Itu bantuin dong jangan diem aja kalian! toloooong...!! Toloooongg!! Ada yang hanyuuut...! Tolooongiiinnn...!!.” 

Karina berdiri, ia tak memperdulikan kakinya yang masih terasa sedikit linu. Ia terus berteriak. Netranya mencari-cari keberadaan Zul di air yang beriak itu.

“Teh, teu aya si aa na palid! (Teh, gak ada si Aa nya hanyut!),” Teriak salah satu anak disana.

Lutut Karina terasa lemas, ia duduk terkulai. Kesal dan sedih tentunya. Tak terasa buliran air bening menggenang dipelupuk matanya.

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang menyentuh kakinya dari belakang. Ia pun menoleh kaget.

“Dorr!!!,”

“Aaarrggghhhh ..... !!,”

PLAK!!

Refleks ia menampar seseorang yang tengah berdiri di air itu.

“Zuuul??? Iiihh kamu nyebelin banget siiih! Bukannya tadi kamu hanyut? ” Karina sedikit tak percaya kalau tiba-tiba Zul ada disitu. Ia masih sedikit terisak. Dan wajahnya terlihat memerah akibat gemuruh hebat didadanya.

Sedangkan Zul mengerang kesakitan, ia memegang pipi kirinya yang terkena tamparan Karina. Sungguh ia tak menyangka akan mendapat respon berlebihan seperti itu. Terdengar suara tertawaan dari bocah-bocah yang melihat ke arah mereka. Perlahan Zul menaikkan kakinya ke atas batu, lalu duduk disamping Karina yang tengah cemberut.

“Aduuhh...! Kejam banget sih kamu Yang, gigi gerahamku kayak mau copot nih..,” ringis Zul.

“Rasain! Suruh siapa kamu ngagetin aku kek gitu, hah?! Mau bikin orang jantungan!? Gak lucu tau gak!,”

“Iya maaf sayang, aku kan Cuma bercanda. Tuh liat, anak-anak disana pada ketawa, seru katanya,” telapak tangannya masih mengusap pipinya yang merah.

“Seru dari Hongkong?! Gimana kalau tadi aku jatoh pingsan, kamu mau tanggung jawab?,”
Karina kesal, nafasnya tersengal-sengal menahan emosi.

“Iya, iya... Maafiiinnn... Udah dong sayang marah-marahnya, ini biasa kita lakuin kalau lagi berenang,” Zul menjelaskan.

Karina tercengang heran.

“apa? kayak gitu dijadiin permainan? Hhh...! Bener-bener gak ada kerjaan banget ya sumpah,” ia menggeleng.

Zul tersenyum gemas melihatnya. Ia faham, orang kota mana tau hanyut-hanyutan jadi salah satu permainan favorit dulu kalau sedang berenang disungai. Kalau tidak melakukan hal itu, serasa ada yang kurang saja saat bermain.

“Kita kesana  yuk,”

Zul menunjuk ke tepian. Lalu membantu Karina menyebrangi bebatuan-bebatuan yang tersebar kokoh disana. Setelah sampai, mereka duduk bersampingan. Terasa sekali dinginnya jika sudah naik ke permukaan tanah.

“tapi airnya lumayan bersih ya kalau dibandingin sama yang di Jakarta,” Tukas Karina.

“Ya iya lah, secara, sungai disini tuh enggak tercemari limbah-limbah pabrik. Malahan ada yang lebih jernih airnya dari yang disini.,”

“Oh gitu? Dimana?,”

“Di deket rumah aku di sana. Posisinya kan lebih atas dari sini. Dan airnya asli air pegunungan, bisa diminum langsung.”

“Oh gitu...ih pengen banget kesana,” imbuh Karina seraya tersenyum.

“Insya Allah besok ya...,”

Karina mengangguk senang. Kebetulan, ia jarang sekali pergi berlibur ke daerah pegunungan. Dan memang ia begitu penasaran sekali dengan mata air pegunungan yang jernih seperti apa. Mumpung lagi ada di sini juga, jadi ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus ini.

Zul beranjak dari duduknya lalu mendekat ke arah sungai. Terlihat ia memanggil anak-anak yang tengah berenang disana, lalu berbicara sebentar pada mereka. Tak lama, bocah-bocah itu pergi berpencar.

“Mau ngapain?,” tanya Karina sesaat setelah Zul kembali duduk di sampingnya.

“Kita bakar-bakar dulu disini yuk,”

“bakar apa?,”

“Apa aja yang ada,”

“Dih, gak jelas,” karina kembali mengedarkan pandangannya ke anak-anak yang tengah mencari sesuatu.

“Nih buat kamu...,”

Zul memberikan setangkai bunga kecil berwarna pink kepada Karina. Bunga itu memiliki lima kelopak yang ditengahnya terdapat warna merah yang mencolok. Cantik.

“Bunga apa ini? Lucu,” tanya Karina.

“Namanya bunga tapak dara. Kalau orang sini nyebutnya kembang tembaga. Tanamannya banyak khasiatnya lho,” terang Zul.

“Oh...,” Karina  mencium bunga kecil itu.

“Bisa dijadikan pengusir nyamuk juga,”

“Pantes wanginya agak gimana ya, khas gitu.”

“Sini aku pakein ke telinga kamu,”
Zul menyelipkannya ke daun telinga Karina.

“Waduuh...kayak kembang desa ya...,” ucap Zul sembari berdecak kagum.

Karina tersenyum malu.

“Tanaman ini banyak khasiatnya, bisa nyembuhin berbagai penyakit kalau kata orang-orang. Nah, kalau bunga ini dipakai dikamu, itu juga bisa nyembuhin. Nyembuhin luka dihatiku,”

Wanita itu tertawa seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

“Kamu ya, udah jago ngegombal sekarang,”

“Ya, belajar dari temen-temenku dikelas,”

“Oooohhh...jadi selama ini kamu diem-diem itu sambil nyerap ilmunya, gituu?? Haha...,”

Mereka berdua tertawa.

Tak lama, anak-anak itu datang dengan membawa beberapa ranting-ranting di tangannya, sebagian yang lain membawa lima buah singkong yang baru di cabut dari tanah. Dan disusul oleh tiga orang anak lainnya yang bertugas mengambil ikan.

Kemudian mereka menyalakan api dan membakar singkong beserta ikan yang lebih dulu sudah dibersihkan. Setelah itu mereka menikmatinya.

“Gimana, enak gak?,” tanya Zul

“Hmm...lumayan,” Jawab Karina sembari memakan singkong panas yang ia cubiti sedikit demi sedikit.

“Gini rasanya kalau tinggal dikampung. Makan makanan yang kayak ginian, mandinya disungai, mainnya bareng-bareng, aktifitasnya lebih bergulat dengan alam sekitar,”

“Tapi aku suka kok, kesannya tuh natural banget. Alami. Mungkin karena udah lama tinggal di perkotaan, jadi aku ngerasa kayak ada sesuatu yang berbeda disini. Nyaman aja gitu, bikin betah,” ucap Karina sungguh-sungguh.

“Kamu gak nyesel nikah sama orang kampung?,” Zul memandang wajah cantik disebelahnya itu.

Karina tersenyum ke arahnya.
“Orang kampung, tapi gak kampungan. Malah awalnya aku fikir kamu asli orang kota lho, gak keliatan asli sininya,”

“Masa?,”

Karina mengangguk.

“Sekarang kan udah tau, perasaan kamu ke aku bakal berubah gak setelah ini?,”

Karina malah menatap lekat manik pria itu, mata yang terlihat tajam seperti mata elang. Entah mengapa debaran di hatinya kembali kencang. Bibirnya menyungging senyuman kecil. Tak lama wajah keduanya mendekat perlahan, hampir tak ada jarak.

“A Aden!”

Teriakan salah seorang anak kecil itu berhasil membuat mereka berdua tersentak kaget. Rasa malu tetiba hinggap dihatinya.

“Urang guyang deui! (Kita berenang lagi!),” ajaknya.

“Sok weh, Aa mah rek uih da! (Sok aja, Aa sekarang mau pulang!),” Jawab Zul.

“Aden, siapa itu?,” tanya Karina

“Orang sini taunya namaku Aden, udah hayuk kita pulang, kayaknya udah dzuhur ini,”

Ucap Zul seraya memandang sipit ke atas langit yang terlihat terik.

“Iya hayuk, aku juga pengen mandi ini gatel,”

Keduanya pun akhirnya beranjak pulang.

*****

Esoknya, setelah sarapan pagi, Zul kembali mengajak Karina untuk pergi berjalan-jalan ke sebuah air terjun yang paling dekat dari tempat tinggalnya. Ia juga mengajak sekalian kedua adiknya, Ihsan dan Faqih.

“Yakin kamu masih kuat kalau aku ajak naik gunung?,” Zul meyakinkan sekali lagi istrinya itu.

“Iya, aku kuat kok,”

Karina tetap kukuh ingin ikut. Kapan lagi main ke air terjun? kalau sudah pulang ke kota pasti harus kembali berkecimpung dengan seabreg tugas perkuliahan. Fikirnya.

Berbekal baju ganti, makanan dan minuman beserta kotak P3K, akhirnya mereka berangkat. Untuk mencapai curug Panjalu mereka harus berjalan kaki sekitar empat kilometer.

“Istirahat dulu yuk,” pinta Karina.

Ia kemudian duduk diakar pohon besar, nafasnya tersengal-sengal. Ya, ia sudah mulai kelelahan.

“Ini baru setengahnya lho,” sahut Zul.

“Hah?! Kayaknya tadi kita udah jauh deh jalannya,”

“Dua kiloan lagi Teh,” timpal Faqih.

Karina menelan ludah. Berharap semoga ia sanggup untuk melanjutkan perjalanannya itu.

“Minum dulu,” Zul menyodorkan botol air mineral kepada Karina. Setelah dirasa kuat, mereka pun  kembali melanjutkan perjalanan.

Melewati luasnya perkebunan teh yang berbukit-bukit, hutan jati, hingga mendaki jalanan setapak yang terjal telah dilaluinya. Bermacam keindahan alam pun sudah banyak dinikmati oleh mata mereka disepanjang perjalanan. Hampir tiga jam akhirnya mereka sampai.

“Waaaaww....,” Karina melohok kagum dengan keindahan air terjun dihadapannya itu.

Air terjun yang lumayan tinggi itu berada di dalam hutan yang terawat. Suara gemuruh airnya membuat ia ingin segera berendam diri disana.

“Zul!! Kita kesana yuk,” Karina melompat kegirangan.

Tak sia-sia perjalanan yang membuatnya lelah, kini sudah terbayar dengan keindahan alam yang satu ini.

“Foto dulu yuk disini,” ajak Ihsan

Mereka berempat berselfie ria diatas batu besar ditepi curug, dengan berlatarkan air terjun. Begitu indah. Suasananya sepi, tak ada satupun orang disana selain mereka.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, keempatnya segera turun untuk menikmati air jernih dan juga terasa dingin. Bermain dan berenang ditengah curug dengan asyik. Suara tawa pun terdengar menggema disela deburan kerasnya air terjun Panjalu. Mereka terlihat sangat menikmatinya.

Zul mengajak Karina mendekat ke arah air terjunnya langsung. Dengan langkah perlahan mereka sampai disana, kemudian berdiri berpegangan tangan dibawah derasnya air terjun yang menghantam punggung mereka. Sakit, namun enak seperti sedang di pijit.

Sesekali Karina duduk di atas batu, lama kelamaan ia kedinginan juga. Badannya menggigil, ada kepulan asap tipis yang keluar di atas kepalanya.

Ia memperhatikan ketiga pria kakak beradik itu yang tengah bersenang-senang. Lalu Karina memotret ke arah mereka. Ada rasa puas dihatinya. Ya, ia begitu bahagia hari ini.

Tak lama Karina memanggil Zul dan adik-adiknya untuk mengisi perut dulu.

“Ini sering dikunjungin orang gak?,” tanya Karina disela-sela menikmati bekal nasinya, ada oreg tempe, ayam goreng dan sambel sebagai lauknya.

“Suka. Terutama sama penduduk yang rumahnya deket-deket sini,” jawab Zul.

“Oh gitu... Pantesan ini tempatnya kayak yang terawat gitu ya, meski di dalem hutan,” karina melihat-lihat ke arah sekitarnya.

“pernah ada yang dari luar gak?,” tanyanya lagi.

“Sering. Kebanyakan kayak komunitas pecinta alam gitu, atau mahasiswa yang ikut mapala,” jawab Faqih.

“Oh...iya sih soalnya Bagus banget ini air terjunnya,” lanjutnya terpana.

“Ada yang lebih bagus lagi Teh dari sini. Dibawahnya langsung keliatan pemandangan sama pegunungan-pegunungan. Pokoknya indah banget deh.” lanjut adik iparnya itu.

“Oya? Jauh gak dari sini?,”

“Lumayan, sekitar delapan kilometeran lah dari sini mah,” jawabnya.

Karina mendelik, sama aja bohong kalau gitu. Baru ngedenger jaraknya aja, kayaknya enggak mungkin dia pergi kesana.

“Ah, kayaknya kamu udah pingsan deh kalau pergi kesana,” olok Zul sembari tertawa.

“Iya lah ngebayanginnya aja aku udah capek duluan,” sahut Karina.

“Indah sih Teh, tapi tempatnya mistis,” timpal Ihsan.

“Maksudnya?,” Karina tak mengerti.

“Ya... Banyak korban gitu lah, katanya sih tempatnya minta tumbal,” Ihsan sedikit berbisik.

“Udah ah jangan ngomong gitu ditempat ginian,” Zul menimpali.

Entah mengapa Karina jadi bergidik mendengarnya. Dalam hatinya ia berdo’a semoga tidak ada sesuatu apa pun yang menimpa mereka disini.

*****

Jam menunjukkan pukul 13.20 WIB, mereka mengakhiri keseruan bermainnya hari ini.
Lalu pergi mencari sebuah pos untuk mengganti pakaiannya yang basah, kemudian ikut shalat dzuhur disana.

Setelah siap, akhirnya mereka kembali pulang. Medannya kini menurun, mereka harus berhati-hati dalam melangkah. Perjalanan satu kilo telah mereka lalui dengan lancar, Namun saat melewati jalanan yang terjal, Karina merasakan kakinya tiba-tiba sakit. Keram dan pegal luar biasa, hingga ia kesulitan untuk melangkah lagi.

“Aduh... Ini kaki aku sakit banget,” ia meringis kesakitan, lalu duduk berselonjor sembari memijat-mijat kakinya.

“Kenapa Yang kakinya?,” tanya Zul khawatir. Ia berjongkok dan membantu memijit kaki Karina.

“Pegel banget Zul, sama keram ini...,”

“Qih, kadieukeun kayu putih (Qih, siniin kayu putih),” ucap Zul kepada adik tertuanya itu.

Karena kebetulan adik-adiknya yang membawa perlengkapan bekal mereka. Ia membuka ransel yang digendongnya lalu mengambil kotak p3k.

Zul mengusap-usapkan minyak hangat itu ke betis Karina yang terasa dingin. Sesekali ia merapalkan shalawat dan kalimat dzikir lalu meniupkannya pada kaki Karina. Ya, sudah tak heran jika ada yang tetiba merasakan sakit di tempat seperti ini. Bisa dikatakan Karina memang orang baru yang menapaki tanah itu, ditambah ia pun sudah lama sekali tak pernah berjalan sejauh itu. Jadi wajar jika ia merasakan sakit pegal yang mendadak menimpanya.

“Gimana, bisa dibawa berdiri gak?,” tanya Zul seraya membantunya berdiri.

“Aww....masih sakit Zul... Beneran aku gak kuat jalan,”

Kedua adiknya tampak khawatir melihatnya. Zul berfikir sejenak.

“Ya udah aku gendong kamu, yuk”

“Hah?? Ini kan jalannya menurun Zul, aku takut ngegerolong kebawah,”

“Ya terus gimana? Gak ada cara lain selain gendong kamu. Kalau nunggu kaki kamu sembuh dulu juga gak tau kan kapan-kapannya?,” tanya Zul.

“Iya Teh entar keburu sore lagi,” ucap Faqih.

Akhirnya dengan terpaksa ia nurut juga, perlahan ia Naik ke punggung Zul. Meski ada perasaan takut dihatinya, karena melihat kondisi jalannya yang terjal menurun dan berliku-liku.

“Bismillahirrohmanirrohiim...,”

Dengan langkah hati-hati mereka mulai melangkah kembali.

Ihsan berjalan diposisi paling depan, kemudian ditengahnya Zul yang menggendong Karina, lalu disusul Faqih yang berjalan paling belakang untuk mengawal kakak-kakaknya itu.
Sesekali mereka istirahat jika terasa lelah. Lalu berjalan kembali.

“Alhamdulillah...akhirnya sampai juga,”

Ucap Zul setelah sampai diteras rumahnya. Ia mengencangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Lalu duduk menyandar di sofa, wajahnya mendongak ke atas sembari memejamkan matanya. Ia terlihat begitu kelelahan. Ya, lumayan berat juga menggendong Karina yang berbobot 50 kg sejauh perjalanan dua kilometer.

*****

Malamnya setelah makan malam dan beristirahat, Karina menghampiri Zul yang tengah tertidur di ranjangnya. Kemudian ia duduk di tepi ranjang, lalu memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Tampan juga, lirihnya dalam hati. Tangannya mengusap pelan pipi Zul, kulitnya putih bersih, alisnya tebal, hidungnya biasa saja tidak terlalu mancung. Juga dagunya ditumbuhi sedikit janggut. ya, mengamalkan sunnah katanya. Entahlah, ada perasaan sayang yang timbul dari sanubarinya. Tetiba tangan Zul bergerak memegang tangannya, sontak Karina pun kaget.

“Apa ngelus-ngelus pipi aku?,” tanya Zul, meski matanya masih tertutup.

Karina jadi gugup.

“Ka-kamu belum tidur?,”

“Belum. Nungguin kamu mijitin aku,”

Karina tersenyum, kemudian ia memijit-mijit punggung Zul hingga ke kaki. Kasihan, dia udah bela-belain menggendong dirinya meski jarak tempuhnya cukup jauh.

“Kamu berat juga ya? Berapa kilo sih?,” tanya pria itu dengan suara yang agak serak.

“Gak perlu tau,”

“Ada delapan puluh kilo?,”

“Enak aja. Kamu fikir aku segendut itu apa?,”

Karina mendelik sebal.

“Besok kita harus berangkat lagi ke Jakarta, kamu masih capek gak?” tanya Zul.

“Lumayan sih. Jam berapa berangkatnya?,”

“Agak siangan aja ya, jam sepuluhan,” jawab Zul.

Karina mengangguk setuju.

“Udah sini tidur, kita istirahat dulu capek udah berpetualang”

Zul meraih badan Karina untuk berbaring lalu memeluknya dari belakang. Malam ini mereka tidur begitu pulas.

=====


















Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang