Zul Merasa Terabaikan

301 17 0
                                    

Kini wajah mereka sudah tak berjarak, Karina merasakan nafas Zul yang memburu. Hampir saja tubuh atletis itu menindih tubuh rampingnya.

“Ah!,” Karina mendorong dada bidang Zul kuat-kuat. Hingga ia terjengkang duduk. Karina segera beranjak lari dan berdiri merapat ke dinding.

“Bu Karina! apa kamu tidak tahu, perbuatanmu itu sudah menyakiti suamimu, dan itu dosa!,” Suara Zul terdengar menekan.

Karina masih terdiam, nafasnya tersengah-sengah. Seperti habis lari marathon.

“Aku mohon Zul, jangan sekarang,” Pinta Karina, wajahnya terlihat memerah menahan gemuruh didadanya.

“Kenapa? Masih belum siap juga?,” tanya Zul dengan raut wajah yang kecewa.

“Beri aku waktu..,” ucapnya seraya menunduk.

Zul membuang nafas kasar. Mimpi apa ia hingga mendapatkan istri sekeras Karina.

“Apa belum cukup aku memberi waktu hingga saat ini?,”

“Kamu gak ngerti perasaanku Zul!,” bentak Karina. Ia menahan tangisnya yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja.

Zul beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri, ia menatap wanita didepannya itu dengan tajam.

“Bagaimana aku bisa mengerti, kalau kamu gak pernah terbuka sedikitpun padaku,”  Zul menyinggung sikap Karina yang selama ini selalu tertutup padanya.

Karina terisak, bahunya terlihat terguncang.

“Kenapa? Apa kamu pernah trauma?,” selidik Zul pelan.

Karina masih menunduk, ingin sekali ia meluapkan unek-uneknya selama ini.

“Ayolah Karina...bicaralah.. Terimalah aku sebagai suamimu seutuhnya, jangan membuatku merasa tak berguna,” ungkap Zul sedikit emosi. Ia merasa kecewa dan sedih jika wanita itu masih bersikap acuh dan tak memperdulikannya.

Karina mengangkat wajahnya, ia mendongak, menatap manik Zul yang terlihat sangat sedih. Perlahan tangan kanannya memegang pipinya.

“Tamparan keras papih, masih terasa membekas dipipi ini, bentakannya seakan menghujam jiwaku yang kian melemah. Kau tau? Papih lakukan semua itu karena ia lebih memilihmu menjadi suamiku!,” ucap Karina lantang. Air matanya kini membanjiri pipinya yang mulus, bibirnya terlihat bergetar saat menumpahkan kekesalannya.

“Aku kenal papih, ia adalah seorang ayah yang lembut dan penyayang... Namun malam itu, ia bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya...”

Zul mendengarkan ucapan Karina dengan hati yang penuh pertanyaan. Ia tidak mengerti, namun dirinya siap mendengarkan hingga Karina selesai bicara.

“Aku sudah tak punya ibu Zul, kalaulah masih ada mungkin ia akan memelukku saat itu...huhu...,” tangisnya pecah. Ia mengingat kembali kejadian di malam sebelum pernikahannya berlangsung. Kejadian yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. Kini kedua tangannya menutup wajahnya. Suara sesenggukannya terdengar bak hati yang sangat terluka. Zul makin diam terpaku.

“Papih egois! ia tak pernah memberiku kesempatan untuk berbicara, hanya sekedar mendengar keinginanku pun ia enggan. Selama ini aku selalu mengikuti keinginannya, dan aku Cuma minta satu, jangan mencampuri urusan hatiku. Aku sudah punya pilihan, dan ia tak mau tahu itu!,”

Deg. Saat mendengar kalimat terakhir Karina, hatinya serasa tersengat listrik. Ya, serasa ada aliran menyakitkan yang menusuk ke relung jiwanya.

‘sudah punya pilihan? Apa yang dimaksudnya cowok brewok itu?’ Batinnya bertanya-tanya.

“Aku tak percaya Pak Rudi seperti itu...” lirih Zul.

“Ya, akupun tak percaya papih akan sekasar dan seegois itu, namun itulah yang terjadi. Dan itu semua karena adanya kamu! Setelah mengenalmu ia jadi berubah. Hati ini masih perih jika harus mengingat pernikahan ini, Zul. Bukan aku tak bisa menerima kenyataan, namun rasanya masih sulit. Masih perlu waktu. Maaf jika kamu merasa tertuduh, tapi memang itu yang aku rasakan....,”

Ia berusaha meredam tangisnya, lalu mengusap air mata yang sedari tadi membasahi wajahnya.

“Jika kamu mau bersabar menunggu sampai hatiku pulih, silahkan. Namun jika sudah merasa lelah, tak apa, lepaskan aku....,” kini mereka saling tatap. Terlihat jelas kekecewaan di manik keduanya.

Seketika Karina pergi keluar kamar meninggalkan Zul yang masih diam membisu. Perlahan Zul menunduk, berusaha menguatkan hatinya yang tengah berkecamuk. Ia berjalan gontai ke arah tempat tidur, langkahnya terasa berat. Lalu duduk ditepi ranjang, tatapannya kosong, terlalu banyak fikiran yang menggelayut di benaknya.

Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang