Penantian Untuk Karina

304 18 0
                                    

Zul berharap Karina dapat tersentuh hatinya. Perlahan terlihat buliran bening jatuh menetes pada pipinya yang kemerahan, ya mungkin efek menahan riuh gemuruh didadanya.

“Maaf, belum bisa menjadi istri yang baik buatmu,” disitu tenggorokannya terasa tercekat.

“Aku ingin menghilangkan sakit dihatiku Zul, sebenarnya aku ingin berdamai dengan keadaan ini. Aku tak mau berlarut-larut dalam kebencian, akupun benci pada diriku sendiri yang begitu sulit untuk memaafkan orang-orang yang telah membuat hatiku terluka,” Ia mulai terisak.

“Selama ini aku sudah mencoba untuk membuat hatiku tenang. Ya, dengan cara menjauhi orang-orang yang pernah menyakitiku tentunya. Dengan seperti itu setidaknya sakitku jadi berkurang. itulah sebabnya mengapa kemarin aku lebih memilih tinggal di apartemen sendirian, dan itu juga sebabnya mengapa saat ini aku ingin pindah dari rumah papi, dan itu juga alasannya kenapa aku selalu menghindar darimu, itu semua semata-mata agar aku bisa cepat sembuh, Zul!,”

Netranya tak beralih sedikitpun dari wajah Karina. Ia melihat guratan kesedihan tersirat dimatanya.

“Mungkin bagimu aku terlalu berlebihan menyikapi semua ini. Terlihat kekanakan mungkin. Tapi ya beginilah aku. Inilah kekuranganku. Terserah jika kamu mau menerimanya atau tidak. Dan bagiku merubah semuanya ke kondisi semula itu sulit. Butuh waktu, butuh perjuangan..,”

Zul faham dengan apa yang dirasakan istrinya itu. Sedikitnya ia sudah tahu tentang kepribadian Karina dari Bik Sari kemarin. Ia pun tahu, setiap hati orang berbeda-beda, dan ia tak berhak memaksakan semuanya harus sama seperti yang ia inginkan.

Disinilah sikap sabar dan pengertiannya itu berperan. Ia mengerti betul, pernikahan itu bukanlah hanya sebatas untuk menyalurkan hawa nafsu semata, tapi ada yang lebih utama, yakni saling melengkapi kekurangan dengan kelebihan satu sama lain.

“Zul, aku minta maaf, belum bisa memberikan hakmu atasku selama ini, karena aku merasa aku tak ingin memberikannya ditengah kondisi hatiku yang tidak baik. Aku harap kamu bisa memahaminya. Maaf jika telah membuatmu kecewa, aku mohon Zul, bantu aku untuk kembali bahagia....,” ucap Karina disela isak tangisnya. Wajahnya menunduk, bahunya terlihat terguncang.

Zul mengusap kepalanya lembut. Ia tak ingin wanita yang perlahan mulai ia cintai berlarut dalam kesedihannya.

“Istriku, aku ikhlas menunggu sampai kau siap memberikannya. Dan apapun itu, demi kebaikanmu, insya Allah aku akan bantu sekuat yang aku bisa . Dan aku percaya kamu mampu melawan kerasnya hatimu sendiri. Disini aku hanya bisa berdo’a, selebihnya kamu sendirilah yang mampu menaklukannya.”

Karina mengangguk pelan. Ia menyeka air mata yang sudah membanjiri pipinya. Zul mengecup tangannya yang sedari tadi ia genggam sebagai bentuk penguatan untuknya. Malam ini mereka beristirahat diperaduannya dengan hati yang mulai perlahan lega.

*****
Paginya...

Semua anggota keluarga itu tampak sibuk mempersiapkan diri untuk kembali beraktifitas. Pak Rudi bersiap-siap pergi ke kantornya, ia tengah merapikan pakaiannya didepan cermin. Sedangkan Bik Sari seperti biasa, berkecimpung didunia bersih-bersih, Pak Amir pun tak kalah sibuk, ia tengah mencuci mobilnya untuk dipakai Pak Rudi bekerja. Begitupun Zul dan Karina, mereka tampak mempersiapkan diri dan segala keperluannya untuk dibawa ke kampus.

“Karin, sepertinya hari ini ini kamu harus mulai terbiasa berangkat ke kampus dengan Zul, dan papi senang sekarang ada seseorang yang bisa menjagamu disana,” ucap Pak Rudi sambil mengancingkan lengan kemejanya.

Zul yang tengah membaca buku di sofa hanya menanggapinya dengan senyum. Terlihat Karina tengah memakai sepatu pentofelnya di samping Zul.

“Papih berangkat duluan ya, Assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka bersamaan.

“Udah siap? Yuk,” ajak Zul.

“Bik...berangkat dulu ya.. Assalamu’alaikum,” seru Karina.

“Iya Non, Tuan, hati-hati. Wa’alaikumsalam.,” jawab Bik Sari yang tengah mengepel lantai.

****
Akhirnya mereka berangkat dengan mengendarai motor. Sesampainya di belokan depan kampus, segera Zul menepikan motornya, lalu Karina turun disana. Ya, ia sudah berjanji untuk mengikuti keinginan Karina yang masih tak ingin statusnya diketahui orang. Wanita itu melepas helm dan memberikannya pada Zul.

“Sebentar,” ucap Zul, kedua tangannya perlahan merapikan rambut Karina yang tampak sedikit kusut.
“Perfect,” ucapnya seraya membentuk lingkaran antara jari telunjuk dan jempol.

Karina tersenyum dibuatnya.

“Nanti disana jangan lirik-lirik cowok ya,” ujar Zul sedikit bergurau.

Wanita itu membuang nafas kesal, “malahan mereka yang suka lirikin aku, terutama temenmu itu tuh si kribo, bilangin sama dia jangan godain aku mulu gitu, yang ada malah bikin eneg” ujarnya.

Zul tertawa kecil.

“Secara, dia itu kan salah satu fans berat kamu. Sampai punya fanbase buat dosen favoritnya ini lho. Namanya ‘KarSaf Lovers’ dan dia nyebut dirinya itu ‘Karinaholic’.”

Karina terbelalak. Perutnya sukses dibuat mual mendengarnya. Ia bergidik sendiri kala membayangkan para mahasiswanya itu yang selalu caper pada dirinya.

“Ya udah gak usah ditanggapin, lama-lama juga mereka bosen sendiri,” ujar Zul.

“lagian males juga nanggepinnya, ya udah aku kesana duluan ya,”

segera ia berjalan menuju gerbang Kampus. Sementara Zul menunggu sampai ia benar-benar masuk kedalam gedung berlantai tiga didepannya itu.

Jam pertama pun dimulai.

“Selamat pagi...,” sapa Karina setelah masuk ke dalam kelas yang mayoritas muridnya laki-laki. Ya, hampir setengahnya dari mereka berstatus jomblo.

“Pagi bu...!” jawab mereka semangat.

“Bu Karina,, saya kira anda tidak akan masuk hari ini, tapi Alhamdulillah ternyata gayung bersambut,” ucap Egi sambil tersenyum nakal.

“Iya bu, tadi gak liat mobilnya diparkiran. Ibu kesininya pake gojeg ya,” tanya Anton.

“Masa iya pake gojeg? Taksi woy...” seru Fajar

“Eeh sok tau loh pasti dianterin gebetannya itu ya bu...?,” ujar Agung sambil mengerlingkan matanya.

Karina tercengang, ia sedikit salah tingkah. Apalagi setelah melihat sekilas laki-laki yang kini menatap fokus ke arahnya.

“Sudah ya, itu bukan urusan kalian.” Jawab Karina seraya tersenyum. “Saya harap kalian bisa mengikuti pelajaran saya dengan baik dan serius. Ingat kalian ini sudah semester lima, jadi persiapkan diri baik-baik untuk menuju semester selanjutnya. Saya harap hari ini kalian sudah siap untuk memulai materi,” Lanjutnya, tentu dengan gaya profesionalnya yang khas.

****

Jam berikutnya kosong. Egi mengajak kedua sahabatnya itu untuk makan di warteg Mpok Yuyun. Ya, warteg langganan mereka.

Setelah selesai makan, ketiga laki-laki itu duduk-duduk sebentar di dekat area parkir gedung Fakultas Pendidikan. Letaknya tak jauh dari pertemuan pertamanya dengan Hilya dulu. Disana suasananya sejuk. Banyak pepohonan yang tertata rapi. Sayup-sayup semilir angin yang berhembus pada raga mereka menambah kesan segar yang alami. Saat tengah mengobrol, tiba-tiba Hilya datang menghampiri.

“Assalamu’alaikum Aa-Aa?,” sapanya sopan.

“Wa’alaikumsalam...,” jawab mereka kompak meski sedikit kaget karena kedatangannya yang tiba-tiba.

“Eh...neng Hilya nya? Kumaha damang geulis?,” tanya Egi sok Sunda.

“Alhamdulillah pangestu,” jawab Hilya seraya tersenyum manis.

“Astagfirullahal’adziim,” Lirih Agung saat melihat senyuman manis itu, seraya mengusap wajahnya pelan.

“Mau kemana neng?,” tanya Zul.

“Mau ke A Aden. Bisa bicara sebentar gak?,” tanya Hilya sambil menunjuk ke arah samping.

“Oh iya bisa,” jawab Zul.

Segera Hilya berjalan duluan menuju taman kampus. Tampak Zul masih diam di tempat duduknya. Ia berniat menghabiskan dulu minuman dingin yang tengah ia nikmati.

“Bener nih kayaknya lu emang jodoh sama si Hilya. Dimana ada lu disitu pasti ada si kembang desa,” ucap Egi sambil masih menatap Hilya yang mulai berjalan menjauh.

“Zul...zul... Andai gue jadi lo, udah gue ajak dia ke pelaminan...aakkhh..,” timpal agung gemas.

“Ajak aja kalau berani,” tawar Zul.

“Serius loh bro,, beneran ya, gue gak main-main nih,” sahut Agung.

Zul menghela nafas berat, lalu mengangguk. Seakan ia sudah siap melepas cinta pertamanya itu.

“Siap lah gue gercep,” tukas Agung kegirangan.

“Berarti tinggal gue nih yang harus memantapkan hati buat bidadari gue,” Celetuk Egi.

Entah mengapa ia merasa panik mendengarnya.

“Eeuu...kalau saran gue sih ya... Mending lu cari yang lain aja deh. Soalnya belum tentu kan dia mau ama lu,”

“Eh, sok tau banget lu. Inget ya, jodoh itu gakan kemana. Pokoknya sebelum janur kuning melengkung, gue bakal terus pepet dia.” Kata Egi sambil menepuk dadanya.

“Heh bro, lu kan tau Bu Karina dah punya gebetan. Tajir melintir gaesss... Elu? Apa?,” Cibir Agung.

“Ah, masa bodoh. Belum tentu si brewok itu jodohnya. Ya kan?,”

Seketika Zul merasa kesal dibuatnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan melepaskannya kasar.

“Woy, bisa diem gak! Efek jomblo lu ya jadi pada ngayal tingkat tinggi!!. Udah lah, gue mau nemuin Hilya dulu.” Kata Zul seraya beranjak dari duduknya.

“Eh buset kenape jadi lu yang sewot? Bukannya lu juga jomblo bro?!,” sahut Egi. Ia heran melihat Zul yang tiba-tiba marah seperti itu.

“Aka bro! Salam dari gue buat Hilya!,” teriak Agung.

Zul hanya mengangkat sebelah tangannya saja sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

****

Setelah sampai, Ia duduk di kursi panjang disamping Hilya, meski jaraknya agak berjauhan.

“Ada apa Neng?,”

“Gak apa-apa. neng Cuma mau nanya, Aa kemana aja? Kata tetangga samping Kosan Aa, katanya A Aden udah dua hari gak pulang. Aa nginep dimana kalau Neng boleh tau?,” tanya Hilya. Wajahnya terlihat tak bersemangat.

Zul menunduk. Ingin sekali ia berkata jujur, namun apa daya, rasa khawatir untuk menyakitinya lebih besar dari nyalinya saat ini. Meski ia sendiri tak tahu, kapan sebenarnya waktu yang tepat untuk mengutarakan semua rahasianya itu.

“A?,” panggilan Hilya seketika membuyarkan lamunannya.
Zul menoleh ke arahnya seraya tersenyum. Ia menghela nafas pelan.

“Maaf, akhir-akhir ini Aa sibuk. Banyak sekali urusan yang harus Aa kerjakan,” jawab Zul apa adanya.

“Tapi semoga gak lupa ya sama Neng,” ungkap Hilya jujur. Ia merasa beberapa hari ini Zul sering mengabaikan pesan WA nya. Meski membalas pun, itu hanya seperlunya saja. Tanpa bertanya balik seperti sebelum-sebelumnya.

“Insya Allah,” jawab Zul singkat.

“Sekarang A Aden ada waktu gak buat bantuin Neng?,”

“Bantu apa?,”

“Bantu nganter ke toko buku. Yang kata Aa tokonya gede dan lengkap. Itu dimana ya? Kebetulan juga motor neng lagi error. Udah empat hari berangkat ngampus naik angkot,” ucapnya sedikit cemberut.

Ah, andai saja ia masih lajang. Mungkin ia akan antar jemput wanita itu ke kampusnya. Ya, berhubung sama-sama satu Perguruan Tinggi juga kan.

“Bisa. Neng tunggu disini ya. Aa ngambil motor dulu,” Ucapnya.

Ya, memang pada dasarnya Zul memiliki hati yang tak tegaan saat melihat orang lain membutuhkan bantuan. Apalagi wanita itu adalah sosok special yang pernah singgah dihatinya. Entahlah, rasa sayang itu masih tetap ada, meski tak sekuat dulu. Saat ini ia hanya berniat sekedar memberikannya bantuan. Tak ada niatan lebih.

****
Sesampainya di sebuah Toko Buku yang mereka tuju, langsung saja keduanya beranjak memasukinya.
Hilya tengah sibuk mencari-cari buku yang ia butuhkan. Sementara Zul hanya melihat-lihat saja.
Tiba-tiba suara handphone nya berbunyi, Zul meminta ijin pada Hilya untuk pergi keluar sebentar untuk mengangkat telfonnya. Hilya pun mengizinkan.

Ternyata itu dari rekan bisnisnya. Selang beberapa menit saat asyik bertelfon, tetiba ada suara  yang menyapanya.

“Zul? Kamu ada disini?,”

Zul menoleh. Ia tercengang melihat seseorang didepannya itu.

“Bu Karina?..oh iya Ren, kalau gitu nanti saya kabari lagi ya. Assalamu’alaikum,” ia menutup panggilan telfonnya.

“Kamu mau kemana?,” Tanya Zul setelah menyimpan gawai ke saku celananya.

“Mau ke fotocopian yang disitu. Kamu sendiri lagi ngapain disini?,” Karina bertanya balik. Tampak tangannya memegang map merah.

“Mmm...lagi.. Nunggu temen,” ia melirik ke arah Hilya yang terlihat sedang mengantri di kasir.

Ya, toko buku itu memiliki pintu kaca yang transparan, sehingga bisa terlihat dari luar. Karina pun menoleh ke arah toko buku yang dilirik Zul. Ia memperhatikan gadis yang tengah berdiri mengantri, sementara gadis itupun menoleh ke arahnya. Tergurat senyuman kecil dari bibir tipis Hilya yang mengarah pada mereka.

“Oh..lagi nunggu ceweknya ya?,” tanya Karina dengan raut wajah datar. Ya, sedatar-datarnya.

“Ish..ngomong apa sih. Dia itu temenku.” Jawab Zul.

“Bukannya itu cewek yang waktu itu dateng ke rumahmu ya?,”

“Iya,”

“Kok ada disini?,”

“Dia kan sama-sama kuliah disini sayang, Cuma ngambil jurusan PAI,” ucap Zul pelan.

“Oh... Jadi bisa ketemuan setiap hari dong..,” sahut Karina terdengar mencibir.

Zul menghela nafas “dia tadi minta tolong dianterin beli buku, kebetulan dia gak tau tempatnya, karena memang dulu aku yang pernah rekomendasiin dia buat beli buku disini,”

“Kan bisa pake googlemap,” jawab Karina sambil melihat ke arah Hilya.

Zul melirik wanita yang berdiri disampingnya itu. Ia terlihat melipat tangannya.

“Kalau cemburu bilang aja,” ucap Zul.

“Dih, ngapain juga nyemburuin mahasiswi. Gak level,”

Zul terbelalak mendengar ucapan Karina yang terdengar arogan, ia hanya menggelengkan kepalanya pelan.

‘Ni cewek bener-bener punya gengsi tingkat akut ya’ batinnya.

Lagi-lagi Egi benar, ternyata wanita ini cepat sekali berubahnya. Yang kadang menawan, kadang dingin, dan terkadang pula menyebalkan. Ya, secara si kribo itu sudah sedari dulu mengenal dan  memperhatikannya, otomatis ia yang lebih tau bagaimana karakter Karina daripada dirinya.

“Ya kalau kamu gak suka, sekarang juga aku bisa ngomong ke dia, kalau kamu itu sebenarnya istri dari seorang Muhammad Zulfikar, sekaligus sebagai dosen cantik di Universitas Wirya Gautama yang banyak dicaperin cowok-cowok,”

Ah, entah mengapa Zul tetiba ingin meluapkan kesebalannya pada wanita itu.

Karina membulatkan mata ke arahnya.
“Enggak-enggak. Awas aja kalau kamu sampai ngomong kayak gitu,” Ancamnya. “Udah ah, aku mau kesana dulu,”

Segera ia berlalu meninggalkan Zul.
Tak lama, Hilya pun keluar. Ia telah selesai membeli bukunya.

“Yang tadi itu siapa A?,” tanya Hilya.

“Oh...itu.. Dia dosen pengampu matkul akuntansi menejemen,” Jawab Zul.

“Oh... Dosennya cantik ya? Kayak masih muda” tanya Hilya. Raut wajahnya hampir serupa dengan Karina dulu, ya, sulit di artikan.

Zul hanya tersenyum menanggapinya.

‘Ah, kenapa mereka harus saling memuji sih’ batinnya heran.

“Udah beres?,” tanya Zul

“Udah. Makasih ya A, udah mau nganter. Yuk, pulang,”

Zul mengangguk. Akhirnya mereka berdua pulang.

=====










Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang