Karina menginap di rumah Zul

293 18 1
                                    

Jum’at malam ini terasa sedikit mencekam. Hujan deras yang disertai gelegar petir terdengar menyambar gendang telinga. Suara dedaunan yang tersibak desiran angin pun menambah kesan horor. Tak ada suara manusia diluar sana, sepi. Seakan-akan semuanya larut dalam balutan selimut hangat di peraduannya masing-masing.

Begitupun Zul, ia tampak asyik dengan gawai ditangannya. Ia berbaring bertelungkup, setengah badannya tertutup oleh selimut tebal. Netranya seakan tak lelah menatap beberapa slide foto yang tersimpan di galleri handphone-nya. Sesekali ia tersenyum. Seakan-akan merasakan kembali kisah-kisah manis beberapa tahun silam. Dua hari yang lalu, Hilya mengirimkan foto-foto kebersamaannya lewat aplikasi yang berwarna hijau itu. Manik matanya memperhatikan benda yang ia pegang, namun fikirannya jauh menerawang. Ah, andaikan saja dirinya belum menjadi milik siapa-siapa, pasti ia akan segera meminang gadis itu. Ya, gadis yang selalu membuat degup jantungnya berdebar tak menentu kala melihatnya, dan membuat harinya kian terasa indah.

Namun  seketika terbesit bayangan Karina, sosok wanita yang telah ia persunting sebulan lalu. Wanita yang belum bisa menerimanya sebagai seorang suami sepenuhnya. Hatinya mendadak merasakan kecewa, saat mengingat sikap dinginnya hingga kini, entah harus dengan cara apa agar ia dapat menaklukan hatinya itu, secara ia tak begitu berpengalaman menghadapi mahluk yang bernama wanita. Dulu selama ia tinggal di Pondok, jarang sekali bertemu dengan santri akhwat (wanita), dikarenakan tempatnya terpisah antara pondok akhwat dan ikhwan. Mungkin hanya sesekali saja jika ada kegiatan gabungan.

Dan setelah merantau ke Ibukota pun, ia tak begitu mengakrabkan diri dengan wanita, walaupun dikampus ia aktif di beberapa bidang UKM, dan otomatis sering berbaur dengan kaum hawa. Namun entah mengapa hingga detik ini tak ada satupun wanita-wanita itu yang mampu menaklukan hatinya,  terkecuali satu, gadis dimasa kecilnya itu.

“Apakah benar kata orang-orang bahwa cinta pertama itu sulit dilupakan?,” gumamnya dalam hati.

Saat ia akan berusaha melupakannya, disitu takdir malah mempertemukannya. Ia sadar, dirinya bukanlah sosok pria yang mudah jatuh cinta dan mudah melupakan, ia merasa berada dalam situasi yang sulit. Egonya berkata untuk menikmati perasaan yang telah bersemayam dihatinya selama ini, sedang disisi lain ia harus mencoba mencintai istrinya sendiri.

Kedua tangannya mengusap wajahnya, ia tengah berfikir keras, dirinya harus segera mengakhiri kisah asmaranya yang terasa rumit.
.
Tok ! Tok ! Tok !

Terdengar suara pintu diketuk. Ia menoleh, mencoba memokuskan pendengarannya sekali lagi. Tok, tok, tok !!
Namun kali ini benar-benar jelas, diluar terdengar seseorang yang sedang mengetuk pintu. Diliriknya jam kecil berbentuk masjid yang terpajang di atas meja. Pukul 21.10.

“Siapa yang malam-malam gini bertandang kesini? Dalam suasana hujan deras pula?” batinnya bertanya-tanya.

Ia menyibak selimut dan beranjak keluar kamar, mencoba melihat siapa yang datang. Tangannya membuka sedikit gorden ruang tamu, matanya menyipit, memperhatikan sosok yang kini tengah berdiri di depan pintu.

“Bu Karina?” Zul merasa yakin jikalau sosok itu ialah istrinya.

Segera ia meraih gagang pintu lalu membukanya. Ia melihat Karina tampak lusuh, pakaiannya basah kuyup terguyur air hujan, rambutnya yang tergelung, terlihat berantakan tersapu air. Wajahnya tertunduk lesu, ditangannya ia menenteng tas kecil.

“Masuk Bu..” ajak Zul.

Karina berjalan masuk dengan langkah sedikit gontai.

“Sebentar, saya ambilkan handuk dulu,” ia beranjak masuk ke kamarnya lalu mengambilkan handuk, sweeter hangat serta celana training.

“Ini Bu pakai dulu biar gak masuk angin,” perintahnya.

Belum sempat Karina menerimanya tiba-tiba tubuhnya ambruk dan tak sadarkan diri.
Zul terkejut, segera ia membopongnya ke kamar tidur dan membiarkannya istirahat.

*****
Sabtu pagi ini terlihat cerah, sinar mentari menghangatkan raga yang terasa dingin, suara kicauan burung-burung terdengar begitu merdu. Namun, terlihat masih banyak genangan-genangan air dan jalanan yang sedikit becek akibat diguyur hujan semalaman.

Sudah lama Zul tak merileks-kan otot-ototnya, biasanya setiap hari libur kuliah begini ia selalu pergi nge-gym bersama kedua sahabatnya itu. Kali ini ia hanya berolah-raga kecil didalam rumahnya. Yang penting tetap bisa menjaga kebugaran tubuhnya agar tetap fit.

.
Dikamar, Karina tampak mulai tersadar dari tidurnya, matanya masih terasa berat untuk terbuka. Kepalanya terasa pusing. Namun cahaya matahari yang tersorot dari jendela kamar sedikit mengganggu otot matanya. Ia mengerjap-ngerjap berharap mampu melihat sekeliling. Setelah tampak jelas, ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Begitu asing, fikirnya.

Lalu Ia menoleh ke arah tubuhnya, dilihatnya selimut tebal yang menutupi setengah badannya. Perlahan ia mencoba bangun dan duduk meski rasa pusing itu masih ada. Namun, ia kaget begitu melihat pakaian yang ia kenakan sama sekali tak ia kenali. Sontak ia pun berteriak.

“Zuuulll....!!!,”

Tak lama pintu kamar pun terbuka. Terlihat Zul datang dengan wajah yang sedikit terkejut, ia menatap Karina, setelah itu ia menghela nafas lega.

“Alhamdulillah... Bu Karina udah siuman,” ucapnya.

“Zul, siapa yang  menggantikan pakaian saya?,” tanya Karina cepat.

“Oh... itu, Ya siapa lagi,” Jawab Zul santai, seraya berjalan kearahnya. Lalu duduk disamping matras menghadap Karina.

“Semalam Bu Karina datang kesini dengan badan yang basah kuyup. Setelah itu ibu pingsan,” tuturnya.

“Awas kalau kamu macam-macam,” ancamnya.

“Tenang aja, aku cowok baik-baik kok. Oya, lagian kalaupun macam-macam gak dosa juga kan?,” tanyanya enteng.

Karina terbelalak. Wajahnya memerah seperti sedang menahan amarah. Zul menahan tawa melihatnya.

“Gak kok bercanda,” tukasnya sambil tersenyum.

Memang, hingga saat ini ia masih sukses mempertahankan status perjakanya. Secara mereka tak tinggal serumah, dan ia sendiri pun tak begitu mempersoalkan untuk hal yang satu itu.

“Oya, ini saya belikan nasi uduk. Dimakan ya. Tadi saya gak tega mau banguninnya, soalnya Bu Karina keliatannya pulas banget tidurnya,”

Ia menyodorkan keresek hitam kecil pada Karina.

“Saya kesana dulu, nanti kalau perlu apa-apa tinggal panggil aja,” pesan Zul  seraya beranjak keluar kamar.

Karina masih terdiam. Didadanya masih merasakan sesak akibat kejadian semalam.


Zul kembali fokus pada olahraga barbel-nya. Ia memakai kaos polos lengan pendek dan celana training hitam. Tak lama Karina datang menghampiri. Sesaat Zul pun menoleh lalu menghentikan aktifitasnya.

“Udah makannya?,” tanyanya

Karina hanya mengangguk seraya duduk tak jauh darinya.
“Gimana sekarang udah mendingan?,” tanyanya lagi.

“Alhamdulillah,” ucapnya pelan. “Zul?,”

“Ya?,”

“Bisa bicara sebentar?,”

“Silahkan, ada apa?,” tanya Zul sambil menyimpan barbel dan mengelap wajahnya dengan handuk kecil.

Karina tampak berfikir, ia sedikit menggigit bibirnya.

“Hmm...kalau kamu mengizinkan, boleh gak untuk sementara ini, saya ikut tinggal disini dulu? Gak lama sih, cuma beberapa hari aja, atau mungkin sampai besok lusa,” tanyanya ragu-ragu.

Zul mengernyitkan alis lalu tersenyum renyah.

“Kenapa musti izin, bukannya seharusnya kita memang tinggal serumah, kan?,” jawab Zul.

Karina menunduk. Ia bingung harus menjelaskannya seperti apa. Dalam hatinya, sebenarnya ia masih belum ingin tinggal bersama, karena setiap melihat Zul, rasa kecewa itu tiba-tiba muncul kembali. Ia sadar, ia belum bisa benar-benar move-on dari kekasihnya itu. Namun disisi lain kini ia sedang menderita, beberapa hari yang lalu ia bertengkar hebat dengan David, dan laki-laki itu sering sekali datang ke apartement-nya hingga membuat ia merasa terganggu.

Semalam, ia kembali dibuat stress lalu mencoba pergi dari tempat tinggalnya. Saat diperjalanan, mobilnya tiba-tiba mogok dan mesinnya tak bisa dihidupkan sama sekali. Dalam suasana gelap disertai hujan lebat dan petir yang menggelegar, ia tak kunjung menemukan seorang pun yang berlalu disana. Akhirnya dengan terpaksa ia harus berjalan kaki menelusuri jalan sambil menangis. Untungnya saat mobilnya mogok, tempatnya berada tak jauh dari kediaman Zul.

“Bu..?.”

Karina terhenyak. Ia menghela nafas panjang, rasanya tak mungkin menjelaskan semua itu pada suaminya.

“Ada apa? Bu Karina sakit? Kita pergi ke dokter aja yuk,” ajak Zul setelah melihat wajah Karina yang terlihat pucat.

“Gak usah, saya gak apa-apa. Cuma butuh istirahat aja,” tolaknya.

“Oya, semalam Bu Karina datang kesini sama siapa? Terus tadi saya liat didepan, mobilnya gak ada?,”

“Hmmm... Semalam, saya mau pergi ke rumah temen, tapi di perjalanan mobilnya tiba-tiba mogok, jadi terpaksa saya jalan kaki kesini,” jawab Karina bohong.

Zul mengangguk percaya.

“Mobilnya udah dibawa ke bengkel?,”

Karina menggeleng pelan.

“Ya sudah nanti saya bawa dulu ke bengkel, Bu Karina istirahat disini aja. Oya, mogoknya disebelah mana?,”

“Di pertigaan jalan depan, dekat kebun bambu,”

“Oh, ya udah saya berangkat dulu, kalau ada apa-apa cepat hubungi saya ya,” ia lalu menuliskan nomor kontak nya pada selembar kertas dan memberikannya pada Karina. Ia tahu Karina telah memblokir nomornya semenjak perjodohan beberapa waktu lalu.
Segera ia mengambil jaketnya, lalu bergegas pergi.


Karina menyandarkan pelan punggungnya ke tembok, kepalanya sedikit menengadah ke atas lalu memejamkan matanya. Ia menghela nafas berat, berharap semoga permasalahannya segera berakhir.


Tak lama terdengar suara deru mesin motor, Karina membuka matanya, ia memperhatikan dari jendela siapa yang datang. Tampak seorang wanita  turun dari motor matic dan berjalan mendekat ke arah teras.
Tak lama wanita itu mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Perlahan Karina bangkit dari duduknya dan membuka sedikit kain gorden, hanya bagian mukanya saja yang tampak.
Ternyata wanita itu Hilya.

“Maaf, cari siapa?,” tanya Karina di balik kaca jendela.

Hilya tersentak kaget melihat ada seorang wanita didalam.

“A Aden nya ada?,” tanyanya sedikit terbata.

Karina mengernyitkan alis.

“A Aden? Siapa ya? Maaf mungkin anda salah alamat.” Sahut Karina seraya menutup gordennya kembali. Hilya ingin kembali berbicara namun Karina keburu menutup gordennya. Ia tampak bingung.

“Siapa wanita itu? Kok ada di dalem?,” tanyanya dalam hati.

Ia masih berdiri mematung, bertanya-tanya dalam hati, “apa mungkin A Aden udah pindah?” Ia menggelengkan kepalanya cepat, setelah itu kembali  bergegas pergi.
=====






Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang