Jalan-jalan Di Kampung Zul 2

343 20 2
                                    

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan tanah yang masih berbebatuan. Sepi, hanya ada satu dua orang yang berpapasan disana. Disamping kirinya terdapat kebun bambu. Dan disebelah kanannya berupa tebing curam, serta hamparan sawah yang luas membentang dibawahnya.

Posisi mereka saat itu berada diatas kaki bukit, jadi bisa melihat dengan jelas keindahan alam yang terhampar disana. Tak lama mereka menemui jalan yang menurun. Karina memegang erat lengan Zul , ia takut langkahnya tetiba menerolong ke bawah.

“Zul, ini kalau banjir kayaknya bakalan kayak sungai ya? Banyak batu-batunya gini,” Ucap Karina sambil terus melangkah pada setiap batu dengan langkah yang sangat hati-hati.

“Mana ada banjir disini Neng. Kalau longsor mah iya,” Zul sedikit terkekeh.
Setibanya di tanah yang datar mereka belok ke area persawahan.
“Lewat sini,” Zul menarik lengannya yang dipegang Karina.

Tak lama keduanya menyusuri pematang sawah. Karina berjalan didepan Zul. Ia mengedarkan jauh pandangannya ke setiap sudut alam yang terbentang indah. Tiba di pematang sawah yang agak tinggi posisinya, Karina kesulitan untuk naik.

“Ini gimana cara naiknya?,” Tanya Karina kebingungan.

“Pegangan ke rumput itu tuh yang dipinggirnya kan ada. Terus kakinya naik satu persatu ke atas,” perintah Zul sembari menunjuk ke arah rerumputan liar yang tumbuh agak tinggi disitu.

Karina mencoba apa yang di instruksikan Zul. Baru saja naik setengahnya ia berteriak kebingungan.

“Zul ini gimana lagi aku susah!!,”

Segera Zul mendorongnya dari belakang agar ia cepat naik ke atas.

“Kakinya yang satu lagi naik dong, Cantik. Jangan diem ditempat,” seru Zul.

Dengan sekuat tenaga akhirnya Karina berhasil naik. Dengan cepat Zul pun naik menyusulnya.

“Huft... Capek juga ternyata...,” ucap Karina seraya menyeka keringatnya.

“hahaha....tingginya gak nyampe dua meter itu... Gimana kalau naik gunung kamu,” imbuh Zul seraya menggeleng.

Kemudian mereka kembali berjalan. Karina melepas sandalnya karena kakinya terasa sedikit lecet. Sekarang ia bertelanjang kaki berjalan diatas pematang sawah yang ditumbuhi rerumputan kecil.

Sekali lagi, mereka menemui petakan sawah yang posisinya lebih atas, hingga harus kembali naik.

“Zul ada jalan yang lain gak? Aku males naik,” Karina sedikit cemberut.

Pria itu mengedarkan pandangannya mencari jalan yang lain. Namun tak ada yang bisa dilewati selain jalan itu saja.

“Gak ada. Udah gak apa-apa naik aja. itu posisinya gak terlalu tinggi dari yang tadi kok, pelan-pelan aja ngelangkahnya,”

“Kamu duluan yang naik gih, entar tarik aku dari atas,” pintanya.

Akhirnya Zul naik duluan.

“Gampang ini... Hayuk naik,”

Zul memperhatikan wanita itu yang berusaha naik. Padahal ada bagian tanah yang bisa diinjak untuk pijakan kaki disana. Kaki kirinya sudah berada ditanah pijakan itu, namun Karina tetap ingin tangannya ditarik dari atas.

“Bantuin dong..,” pinta Karina seraya menyodorkan tangannya untuk ditarik.

“Hadeeuuhh...dasar, cewek kota,” celetuk Zul.

Ia menarik tangan Karina perlahan, namun setelah agak atas, Zul menariknya sedikit kencang hingga tak sengaja wanita itu hampir saja menubruknya.

“Aaah!!,” Karina berteriak kaget.

Langsung Zul menahan badan, refleks wajah keduanya pun hampir beradu. Pria itu malah menatapnya seraya tersenyum. Melihatnya seperti itu, Karina menunduk malu, lalu menjauhkan badannya. Seketika Jantungnya kembali berdebar tak menentu.

“Masih jauh gak tempatnya, aku udah pegel nih,” ucap Karina menepis debaran dihatinya.

“Lumayan lah. Nanti kita ketemu lapangan bola disana. Kalau udah disana, berarti bentar lagi nyampe,” jawab Zul.

*****

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, sesekali Karina meringis karena kakinya sudah mulai pegal.
Tak lama mereka menemui perkebunan palawija. Ada beberapa aneka macam tumbuhan yang ditanam rapi disana.

“Zul, itu lapangan sepak bolanya?,” tanya Karina seraya menunjuk ke arah sebuah lapangan luas  yang  dikelingi perkebunan palawija tadi.

Zul menatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada perasaan haru dan bahagia dihatinya. Ya, sudah sebelas tahun lamanya ia tak melihat lapangan bola itu, namun ternyata tempat itu hingga kini masih ada, tak banyak yang berubah. Lapangan tempat ia bermain bola dulu bersama teman-teman kecilnya.

Terlihat ada beberapa anak-anak yang tengah asyik bermain bola disana. Zul mengajak Karina istirahat sebentar, sembari menyaksikan anak-anak desa itu bermain. Mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah batu kecil, sambil menikmati semilir angin pegunungan yang berhembus membelai rambut keduanya.

“Aku dulu sering main bola disini,” ungkap Zul. Tatapannya masih memandang jauh ke arah lapangan bola didepannya itu.

“Kesini? Jauh amet,”

“Ya, dulu pulang pergi ke sekolah jalan kaki, terus pulangnya main dulu disini sebelum nyampe rumah,” kenang Zul.

“Emangnya sekolahnya dimana?,”

“Tuh, di desa sebelah,” Zul menunjuk ke arah belakang mereka.

Disana terdapat pemukiman penduduk yang terlihat lebih padat dari desa Pamannya itu.
Posisi pemukimannya berada di sebelah bawah,  mereka melihatnya dari atas. Ada pesawahan yang terhampar luas hingga menjulang kebawah mendekat ke area pemukiman tersebut.

“Dulu jarang banget ada angkutan umum kesini. Pas zaman aku belum ada malah. Dan sekolahnya itu cuma ada disana. Jadi kita rame-rame jalan kaki pulang pergi, tapi kita seneng ngejalaninnya, kayak gak ada beban,” sambungnya.

“Jauh juga ya? Dua kilometer ada?,” tanya Karina.

“Lebih. Tapi kalau lewat sawah lebih deket, ada jalan pintas.”

Karina menggeleng, membayangkan bagaimana lelahnya harus berjalan kaki sejauh itu setiap hari.

“Dulu aku suka lewat sana jalannya, bareng temen-temen yang lain. Kadang mandi dulu disungai,” Zul tersenyum mengenang masa kecilnya itu.

Ia menunjuk ke arah pesawahan di hadapannya itu. Saat maniknya memandang kesana tetiba bayangannya kembali melayang ke masa-masa dimana ia sering pulang sekolah bareng Hilya dulu. Melewati pematang sawah yang terkadang becek. Apalagi jika masuk musim penghujan.

Gadis itu memakai seragam putih merah, rambutnya dikucir satu. Sedangkan Zul memakai seragam putih biru, ia berjalan dibelakang gadis imut itu. Keduanya menenteng sepatu ditangannya. Pernah suatu hari mereka kelelahan dan beristirahat sebentar disebuah saung, hingga ia mengucapkan pada gadis itu kata-kata yang membuatnya menyesal hingga detik ini.

Dug!

“Aww...!!,” Zul merintih kesakitan. Ia memegang belakang  kepalanya.

“A, bolana maap!,” seru salah satu anak yang memakai baju merah dan bercelana pendek.

Zul mengambil bola yang tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk. Ia memutar-mutar bola ditangannya, tak lama ia berlari ke arah anak-anak kecil itu. Ya, ada tujuh orang anak yang berada disana. Kisaran usia sembilan hingga tiga belas tahunan. Karina memperhatikan dari jauh apa yang sedang dilakukan Zul bersama anak-anak itu. Seperti yang tengah membicarakan sesuatu.

Tak lama Zul terlihat ikut bermain bola. Dengan lincah ia memainkan bola dikakinya, menendang dan mengoper bola layaknya seorang pemain bola handal. Karina menahan senyum melihatnya. Setelah itu ia berhasil mencetak gol. Terdengar teriakan girang anak-anak yang satu team dengannya. Karina tertawa melihat tingkah mereka yang menurutnya lucu, apalagi saat melihat Zul menggendong seorang anak laki-laki berperawakan kurus yang duduk di pundaknya, seraya berlari, seakan-akan ber-euforia karena kemenangan teamnya itu.

“Gimana, aku hebat kan main bolanya?,” tanya Zul setelah mendekat ke arah Karina.

“Ya pantes lah menang juga, orang kamu ngelawan anak kecil..haha..,” Karina tertawa terbahak.

“Aku jadi ngerasa kayak Ronaldo kalau lagi main bola,” Ujar Zul percaya diri.

Karina menggerakan bibirnya ke bawah. Sebal.

“Lanjut lagi yuk!,”

Karina mengangguk mengikuti ajakan Zul. Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan lagi, melewati jalan setapak yang sedikit menurun. Tak lama, mereka melihat sawah yang tengah dibajak. Ternyata disana ada Mang Mamat, paman Zul.

“Den Zul? Iraha kadieu? (Den Zul? Kapan kesini?),” tanya Mang Mamat.

“Kamari Mang. Amang damang?,”tanya Zul seraya bersalaman.

“Alhamdulillah.,”

Mereka mengobrol sebentar di atas pematang sawah. Tak lama Zul mengajak Karina turun.

“Aku? Kesitu?,” tanya Karina seraya menunjuk ke arah lumpuran tanah.

“Iya, hayuk cobain sini turun,”

“Kotor,”

“Berani kotor itu baik, ayo buruan,” zul meminta tangan Karina untuk membantunya turun.

Wanita itu menyingsingkan lengan jaketnya, dan menggulung celana panjangnya. Lalu berpegangan erat pada tangan Zul. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam lumpur. Daan....yakss... Licin-licin bejek gimanaa gitu. Saat kaki mulusnya mendarat disana, ia sedikit kaget karena kakinya menyeblos kedalam, meski memang tak terlalu dalam juga, namun membuat ia kesulitan untuk melangkahkan kakinya.

“Aduh gimana ini?,” Tanya Karina. Ia baru pertama kalinya masuk kedalam lumpur sawah yang tengah dibajak.

“Gak apa-apa jalan aja,”

Zul masih setia memegangi tangannya. Ya, pengalaman pertamanya turun ke lumpur sawah terlihat begitu kentara.

Kemudian Zul membawanya mendekat ke arah kerbau yang tadi dipakai untuk membajak.

“Nah, kenalin... ini namanya Alexandria, biasa dipanggil Alexa,” ucap Zul seraya mengusap-usap badan kerbau itu.

“Apa?? Hahaha....Bagus banget namanya...aku aja Cuma Karina,” Ia terbahak.”oya, Ini cewek apa cowok?,”

“Betina,” jawab Zul.

Karina menahan tawa, rasanya ia salah bertanya.

“Alexa, kenalin...ini istriku, si dosen cantik yang jaim dan super sadis kalau ngasih tugas,” Zul berbicara pada si Kerbau.

“Kamu ini, kayak orang gagal otak aja ngomong sama kebo,” ucap Karina tertawa kecil.

“Mau naik gak?,” tanya Zul seraya menepuk-nepuk punggung hewan tambun itu.

“Gak ah...gak mau, takut,”

“Gak apa-apa dia baik kok, iya kan alexa?,” Zul mengusap-usap kepala kerbau itu dengan lembut.

Mooo..... Terdengar suara Alexa si kerbau, seperti yang menyahut kata-kata Zul. Karina tertawa dibuatnya.

“Hayuk aku bantu naik,”
Zul tetap memaksa, akhirnya mau tidak mau Karina manut juga.

“Zul ini gakan ngamuk kan?,” Tanya Karina setelah mereka duduk di atas punggung kerbau itu.

“Enggak...percaya sama aku. Pegangan aja kesitu kalau takut,” ucap Zul seraya menunjuk ke tulang punggung si kerbau.

“Sumpah aku takut banget Ya Allah...,”
Karina terlihat tegang berada disitu. Sementara Zul terlihat santai dan senang. Ia memegangi Karina dari belakang.

“Kapan lagi coba naik kayak ginian. Di Jakarta mana ada..,”

“Aku seumur-umur baru naik kerbau Zul...,”

“Iya tau, keliatan banget soalnya,”

Kerbau itu berjalan pelan, hingga satu putaran, akhirnya mereka turun. Karina sangat senang telah mencoba naik kerbau untuk yang pertama kalinya.

“Bersih-bersih dulu yuk disana,” ajak Zul seraya menunjuk ke arah sungai yang tak jauh dari situ.

“Mang, kaditu heulanya (mang, kesana dulu ya!),”

“Oh enya Den!,”

Segera mereka beranjak naik dari petakan sawah dan berjalan menuju ke arah sungai.

“Fuuuhhh!!! Akhirnyaa...bisa kesini lagi,” Kata Zul sembari mengedarkan pandangannya ke sepanjang sungai. Ia terlihat begitu senang.

“Ini sungainya dalem gak?,” tanya Karina

“Ada yang dalem ada yang enggak,”

“Yang kata kamu pernah main disungai itu, yang ini?,”

“Sumuhun geulis (iya, cantik)”

“Emang bisa renang?,”

“Haha...kamu meragukan? Hayuk sini aku tunjukin,”

Zul menarik tangan Karina mendekat ke air sungai.

“E-eh... Mau ngapain?”

“Katanya mau liat aku berenang?,”

“Enggak, aku gak bilang gitu kok, Cuma nanya aja kamu bisa apa enggak? Gitu doang,”

“Iya, itu secara gak langsung kamu pengen liat aku berenang, biar tau, bisa apa enggaknya,”

“Enggak usah Zul, udah aku udah percaya,”

Zul tertawa melihat ekspresi Karina yang terlihat khawatir.

“Tuh liat, anak-anak aja ada yang berenang disana,”

Zul menunjuk ke arah sungai, ternyata disana ada anak-anak tadi yang juga tengah bermain dan berenang disana. Mereka loncat dari atas jembatan kayu yang menggantung diatas sungai besar itu.

Karina melongo, ia merasa ngeri melihat atraksi anak-anak yang terlihat tak ada takutnya sama sekali.

Zul menuntun Karina mendekat ke arah bocah-bocah yang tengah bersenang-senang itu. Air sungainya mengalir begitu tenang, disana banyak bebatuan kerikil hingga batu yang sangat besar terpencar-pencar. Zul membuka jaket dan bajunya. Kemudian ia turun dan masuk ke dalam air. Kedalamannya seperut orang dewasa.

“Zul ih kamu ngapain, itu airnya kotor tau,” seru Karina.

“Hayuk, mau ikut,”

Zul tak mengindahkan kata-kata Karina, ia malah menenggelamkan seluruh badannya ke dalam air.

Karina melongo, ia tak habis fikir dengan tingkah Zul yang terlihat santai dan tak takut sama sekali. Tak lama kepalanya keluar dari dalam air dengan cepat, ia mengusap wajahnya dan menyibak rambutnya yang basah. Ia terlihat begitu senang.

“Zul naik ih! Entar kamu hanyut loh..,” teriak Karina.

Pria itu malah menyodorkan kedua tangannya ke arah Karina.

“Sini, kita renang bareng-bareng,”

“Dih...ogah!,”

“Ayok...gak usah takut-takut gitu, disini aman kok,”

“Itu airnya dalem Zul, aku gak mau mati disitu,”

Zul tertawa mendengarnya.

“Ayok, disini seru! nanti kita naik ke atas batu yang itu. Kita selfie disana,”

Ia menunjuk ke arah batu besar yang tertanam kokoh ditengah-tengah sungai.

“Gak ah, kamu aja,”Karina tetap menolak, ia takut dengan kedalaman air.

“Gak apa-apa aku pegangin. Ayo...kakinya turunin satu-satu,”

Akhirnya dengan terpaksa, ia memberanikan diri juga untuk turun. Meski sebenarnya ia begitu gugup. Namun hati kecilnya tetap ingin mencoba. Perlahan ia duduk di tepi sungai, lalu menyelupkan satu persatu kakinya kedalam air. Dingin. Ia usap-usap sebentar kakinya yang kotor akibat lumpur.

“Sini, aku pegangin,”

Zul mengulurkan kedua tangannya untuk meraih badan Karina.

“Serius ya kamu pegangin aku. Awas lho Jangan dilepas!,” Ia meneguk salivanya. Kedua tangannya meraih pundak Zul, jantungnya berdebar tak menentu.

“Iya sayang... Percaya sama aku,”

Dengan badan yang sedikit gemetar, akhirnya ia menjatuhkan diri juga ke dalam air.

“Aaahh!! Zul, ini dalem banget sumpah! Udah ah aku mau naik lagi!!,” Teriak Karina.

Wanita itu memeluk pundak Zul erat. Takut jika ia akan tenggelam.

“Enggak, gak akan apa-apa kok, tenang aja ya tenang. Ini Cuma seperut kok. Ayo pelan-pelan maju ya...,”
 
“Di kamu seperut, di aku sedada!,” Teriak Karina.

Zul melangkah perlahan ke belakang, ia tetap memegangi badan Karina untuk terus maju. Wanita itu terlihat ketakutan. Zul malah ingin tertawa melihat ekspresinya. Mereka berjalan perlahan melintasi ke tengah sungai.

“Aku takut hanyut Zul, ini kok makin kesini air nya makin kerasa deras,” tukas Karina.
Ia merasa badannya terdorong air dari arah samping.

“Emang gitu sayang, biasa aja badannya jangan tegang kalau di dalem air, rileks aja santai,” ucap Zul menenangkan.

Karina merasakan kakinya menginjak pasir-pasir kasar dan kerikil, lalu beberapa batu kecil yang terasa licin. Sesekali ia menghembuskan nafasnya pelan, untuk merileks-kan jantungnya yang sudah berdegup tak karuan. Zul tersenyum ke arahnya.

“Nah gitu tenang, udah pinter sekarang ngelangkahnya,”

Sudah sampai ke tengah sungai Karina merasakan kakinya tiba-tiba keram.

“Zul aku gak bisa ngelangkah lagi ini, kaki aku keram, sakit banget!,” karina mulai panik, ia terlihat akan menangis. Kedalaman airnya hampir mengenai lehernya.

“Gak apa-apa, gak apa-apa... gak usah panik. kamu peluk aku aja ya, aku yang tarik badan kamu, kamu percaya sama aku kan?,”

Karina mengangguk cepat. Ia panik luar biasa, terdengar suara isakan ketakutannya.

Dengan sekuat tenaga, akhirnya mereka sampai juga disebuah batu besar. Zul mendorong Karina untuk naik ke atasnya. Karina merasakan batunya begitu panas. Namun saat duduk diatasnya, malah terasa hangat, mungkin efek dari dinginnya air yang membasahi tubuhnya. Tangannya memijat-mijat kakinya yang terasa keram. Zul pun beringsut membantu memijatnya.

“Kok bisa tiba-tiba keram gini ya? ,” tanya Karina sedikit meringis.

“Bisa jadi karena efek kamunya yang tegang dan panik. Biasanya sih gitu. Makanya dibawa santai aja... rileks, baca do’a kalau takut. Nanti juga gak kan apa-apa kok, istirahatin dulu aja disini ya,” terang Zul.

Karina mengangguk. Ia beristirahat diatas batu itu, sekalian berjemur untuk menghangatkan badannya yang kedinginan.

=====





















Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang