Kekecewaan Zul

296 20 0
                                    

Malam ini Zul tengah sibuk berkutat di depan laptop nya. Ia harus membuat pembukuan seperti biasanya disetiap akhir bulan. Pekerjaannya sebagai Manajer Keuangan di salah satu Perusahaan Budidaya Perikanan yang ia rintis bersama rekannya beberapa tahun silam itu, membuatnya benar-benar harus fokus dan teliti. Sorotan cahaya dari layar benda didepannya  merebak ke wajahnya yang tampak serius. Sesekali ia menyeruput teh di cangkir. Tangannya terlihat membuka-buka buku catatan, lalu kembali mengetik.

Jam menunjukkan pukul 23.00. Ia menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Bibirnya tersenyum. Melihat tugasnya didepan mata yang sebentar lagi akan rampung. Namun entahlah, tiba-tiba saja benaknya kembali diingatkan pada kejadian tadi siang. Pria berwajah cool, dengan jambang yang terhubung ke janggut. Memakai kacamata hitam dan berjaket merah sedang berjalan dengan istrinya. Menaiki mobil sport hitam yang terlihat mewah, entah akan pergi kemana mereka saat itu.

Zul memejamkan matanya dalam-dalam, menarik nafas sampai rongga paru-parunya terasa penuh. Ia berusaha menenangkan hatinya yang terasa sesak saat mengingat pemandangan yang baginya begitu menyesakkan dada. Ia beranjak ke kamar kecil berniat mengambil air wudhu. Setelah merasa tenang, ia kembali fokus pada tugasnya, namun sekali lagi, bayangan istrinya dan pria itu seolah tak ingin pergi dari benaknya.

“Astagfirullah...” lirihnya seraya tertunduk.

Ia berusaha sekuat tenaga menepis bayangan itu dibenaknya.

“Fokus, fokus, fokus..,” lisannya berucap, agar bisa mensugesti fikirannya.

Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Tugasnya baru rampung ia kerjakan. Ya, jikalau ia tak terganggu oleh bayang-bayang yang menyakitkan itu mungkin pekerjaannya akan cepat ia selesaikan. Ia beranjak ke matrasnya, dan merebahkan tubuhnya disana. Namun bukannya terlelap, ia malah semakin terjaga. Semakin ia pejamkan matanya semakin jelas pula bayangan itu.

“Aaaakh...!.” Ia bangkit dari tempat tidurnya dan kembali mengambil air wudhu, setelah itu ia menggelar sejadah untuk shalat tahajjud, berharap hati dan fikirannya segera tenang dengan mendekatkan hatinya pada sang Pencipta. Syukurlah, setelahnya ia bisa tidur dengan nyaman malam ini.

*****

Hari ini, ia berniat untuk menemui Karina di ruangan kantornya seperti biasa. Ya, hanya diruangan itu saja ia berani bicara dengan istrinya. Awalnya ia hanya ingin sekedar mengobrol saja, karena jika lewat telfon, Karina jarang sekali mengangkatnya.  Sesampainya diwaktu yang telah direncanakan, ia tak menyia-nyiakan kesempatan disaat Karina tengah duduk sendiri diruangannya. Ia terlihat sibuk, tapi Zul berharap istrinya mau menerimanya meski hanya mengobrol sebentar.

“Assalamu’alaikum,” ucap Zul sambil mengetuk pintu yang sedikit terbuka.

“Wa’alaikumsalam. Masuk,” seru Karina.

Zul masuk dan menutup pintunya rapat lalu menghampiri wanita yang terlihat berwibawa dengan pakaian formalnya itu seraya duduk di depan meja kerjanya.

“Maaf mengganggu waktunya,”

Karina mengangguk, “Ya, ada apa?,” tanyanya.

“Gak, Cuma kangen aja,”

Karina membulatkan matanya. Zul pun tersenyum.

“Gimana kabarnya?,” Tanya Zul.

“Baik,” jawab Karina datar.

“Oya, kemarin saya telfon berkali-kali kenapa gak diangkat? Padahal waktu itu saya mau jemput Bu Karina,” Zul membuka percakapan.

“Maaf, saya lagi sibuk waktu itu, jadi gak sempet ngangkat telfon,” sahutnya seraya kembali fokus pada buku yang ada ditangannya dan membuka-bukanya.

Mendengar jawabannya seperti itu, tetiba rasa kecewa semalam muncul kembali. Ingin rasanya ia bilang ‘iya sibuk, sibuk berduaan dengan pria lain’. Namun ia berusaha menahannya, dan serileks mungkin berbicara dengan bahasa yang lemah lembut.

“Oh... Sibuk apa?,” tanyanya lagi.

Karina menoleh, lalu menyimpan buku yang ia pegang ke mejanya.

“Emangnya kenapa?,”

“Gak apa-apa cuma pengen tau aja.”

“Banyak kesibukan saya yang tidak perlu kamu tahu,” nadanya sedikit memelan namun terdengar menekan. Netranya kini saling menatap. Dingin.

Zul terlihat mengernyitkan alis, ia paling tak suka jika wanita itu selalu menyembunyikan sesuatu darinya, seakan-akan ia tidak berarti apa-apa dimata istrinya itu. Zul menghembuskan nafasnya kasar.  Hatinya sudah tak bisa bernegosiasi lagi.

“Kenapa? Apa anda sibuk dengan pria brewok itu?,” tanya Zul.

Karina terbelalak.

“Apa maksud kamu?!”

“Ya, pria yang kemarin duduk dikursi ini. Memakai jaket merah dan membawa ibu pergi menggunakan mobil sport hitam?,” tatapannya kini menajam.

Karina masih terdiam, dengan raut wajah yang terlihat kaget.

“Zul, kamu...kamu liat-,” kata-katanya terpotong.

“Ya, saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri.”

Karina menghela nafas.

“Jangan salah faham dulu, kami hanya pergi karena ada tugas saja,” jawab Karina.

“Tanpa izin dariku?,”  netranya kini menatap lekat manik wanita dihadapannya itu.

“Zul, sudahlah. Ini masih ada di wilayah sekolah, jangan bahas urusan apapun diluar urusan sekolah,” sergahnya.

“Sekarang saya hanya ingin berbicara sebagai suami dan istri, bukan sebagai guru dan murid,” nada bicara Zul terdengar tegas namun masih pelan.

Karina menghela nafas kasar seraya memalingkan wajahnya.

“Jika Bu Karina ada kepentingan atau urusan apapun diluar sana, baiknya bicarakan dulu sama saya. Setidaknya hanya sekedar meminta izin, itu sudah  lebih dari cukup.” Terang Zul dengan nada yang sedikit melembut.

“Kamu gak suka?,” jawab Karina ketus.

“Jelas. Mana ada suami di dunia ini yang suka melihat istrinya jalan dengan pria lain,”

“Jadi kamu cemburu?,”

Zul terdiam, matanya memperhatikan wanita didepannya yang terlihat memasang wajah ketus. Nafasnya terasa tak beraturan Ia berusaha mengontrol emosinya.

“Terlepas cemburu atau tidak, perbuatan itu sangatlah tak pantas. Apalagi bagi seorang wanita yang telah bersuami.”

Manik keduanya bertautan. Mereka sama-sama merasakan gemuruh didada masing-masing.

“Sekarang saya lagi sibuk. Jangan ganggu konsentrasi saya,” Ia menutup laptop didepannya seraya beranjak dari kursinya dan hendak pergi keluar.

Namun langkahnya terhenti saat Zul menahan tangannya. Laki-laki itu segera berdiri.

“Mau kemana?,”

Karina menepis tangannya.

“Mau keluar,”

“Saya belum selesai bicara,”

“Saya sedang malas berdebat. Kalau kamu gak mau keluar, biar saya yang keluar!,” ucap Karina seraya melangkah untuk pergi. Namun Zul menahannya lagi dengan memegang pundaknya.

“Saya gak ngajak berdebat. Saya Cuma ingin membicarakan hal ini baik-baik.” Zul berusaha tenang.

“Saya kan udah bilang, jangan bicara apapun selain urusan sekolah disini!,” tegas Karina.

“Terus dimana? Diluar sekolah? Apa Bu Karina bersedia menemui saya di luar sekolah nanti?,” Tanya Zul dengan nada ragu. Ia tahu rasanya tak mungkin Karina mau meluangkan  waktunya diluar. Apalagi hanya untuk urusan ini.

“Zul, sekarang saya minta kamu keluar dari ruangan saya. jangan ganggu saya lagi!,” sentaknya. Wajahnya mendongak menatap manik Zul.


“Please, saya mohon...buka hati Bu Karina sedikit untuk mengenal saya lebih dalam,” pinta Zul dengan sangat.

“Sudahlah, jangan membuat saya tambah membencimu, Zul. Sekarang minggir ! Aku mau keluar!,” Ia mendorong sedikit tubuh pria didepannya, lalu membuka pintu dan keluar dengan langkah yang tergesa.

Zul menoleh ke arah pintu yang terbuka. Kemudian menunduk. Hatinya kini dipenuhi rasa sakit. Ia memejamkan matanya menahan gemuruh yang kian membuncah. Berusaha sekuat tenaga agar tak meluapkan emosinya disini. Ia tahu, rasanya tak mudah menghadapi sikapnya yang memang sudah berkarakter dingin dari dulu. Egi benar, butuh hati yang tulus untuk mengenal pribadinya lebih dalam. Hati wanita itu benar-benar tak bisa ditebak.

“Astagfirullahal’adzim,” hanya kata itu yang keluar dari mulutnya saat sedang kalut seperti ini.

Sejurus kemudian ia pergi menuju ruang kelasnya dengan perasaan yang berkecamuk.


Siang ini akan diadakan acara seminar, tampak para mahasiswa-mahasiswi bergerak memasuki aula kampus. Zul masih berdiri di depan kelasnya. Ia tau hari ini salah satu pematerinya ialah Karina. Rasanya masih malas melihat wanita itu.

“Woy! Buruan... Entar keburu penuh kursinya!,” seru Agung yang sudah lebih dulu berjalan.

Zul sebenarnya masih enggan pergi, namun akhirnya dengan terpaksa ia berjalan juga dibelakang kedua sahabatnya, meski dengan langkah yang malas. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, siang ini sudah ada janji rapat bersama rekan bisnisnya. Zul menepuk jidat. Ah, kenapa dia harus lupa kalau hari ini ada acara seminar dikampusnya juga? Kalau lah ia ingat sebelumnya mungkin rapat itu akan ia geser ke hari yang lain.

Zul menghela nafas, ia tengah berfikir. Namun rasanya lebih penting rapat itu dibanding acara seminarnya kali ini. Ya, berhubung ada Karina juga disana, mood nya jadi berantakan untuk mengikutinya. Biasanya ia tak pernah absen jika ada acara atau event-event yang diadakan di kampusnya itu.

“Bro! “ teriak Zul.

Kedua sahabatnya yang tengah berjalan berangkulan langsung menoleh ke belakang.

“Kenapa?”

“Gue cabut dulu ya, hari ini ada rapat di kantor,”  ia menyebut Perusahaan Budidaya Ikan itu sebagai kantornya.

“Lah, terus acara seminarnya gimana?,” tanya Egi.

“Gue ijin dulu lah, Cuman kali ini aja kok, ya? Bye.”

Segera ia berlari menuju parkiran dan mengambil motornya disana. Disepanjang perjalanan ia terus memikirkan Karina, wanita itu sulit sekali untuk didekati. Ia begitu faham, jika mahluk Allah yang bernama wanita ini sangatlah identik dengan sifat sensitifnya. Wanita itu ibarat kayu yang bengkok, jika ingin diluruskan maka tidak bisa sekaligus. Nanti bisa patah. Maka harus perlahan, dan mungkin membutuhkan waktu yang tak singkat. Sama juga dengan istrinya, maka ia harus pandai-pandai mencari cara agar bisa meluruskan hatinya, tidak boleh gegabah atau emosi, jika tidak ingin berakhir fatal.

Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang