Mengunjungi Peternakan Ikan

301 17 0
                                    

Satu minggu kemudian....

Egi tengah duduk sendirian di halaman belakang kampus. Tangannya menopang dagu. Sorot matanya menyiratkan bermacam pertanyaan yang menggelayut di benaknya.

“Woy! Ngelaaamun. Awas loh entar kesambet penghuni kebon sini,”ujar Agung seraya menepuk pundak Egi.

Ia datang dari arah belakang bersama Zul, kemudian mereka berdua duduk mengapit Egi.

Si Kribo itu masih diam tak menyahut. Ya, semenjak tragedi penolakan dari Karina beberapa hari yang lalu, ia jadi tampak kalem, tak pecicilan seperti biasanya.

“Zul, gue jadi khawatir nih ama si Jones ini, bantuin aja lah deketin ama Bu karina, lama-lama liat dia kek gitu malah ngeri gue,” tukas Agung seraya memperhatikan wajah Egi dari samping.

Zul menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Bingung.

“Gimana ya? Ya... gue juga gak bisa maksain kehendak orang juga kan. Apalagi setelah tau Bu Karina nya udah punya tambatan hati,” jawab Zul seraya tersenyum.

“Gak usah repot-repot bro, makasih,” ucap Egi terdengar pasrah.

Ia masih terus menatap ke depan.

“tapi gue yakin, lu pasti dapetin yang jauh lebih baik dari dia. Pasti itu. Gue harap, nanti lu bisa nikah ama seseorang yang juga sama-sama mencintai lu sepenuh hati. Sebab kalau nikah dengan cinta yang dipaksakan itu kagak enak bro, percaya deh ama gue,” wejang Zul.

Ia berbicara itu benar-benar dari hatinya. Ya, sesuai dengan pengalaman pribadinya tentunya.

“Bener banget tuh, gue setuju,” Agung menimpali.

“Iya Aka bro, makasih banyak wejangannya. Mudah-mudahan gue bisa ikhlas ngelepas dia,” Egi menghela nafas berat dan menghembuskannya cepat.

“Tapi kalau gue perhatiin sih ya,  kayak ada yang berbeda sama Bu Karina,” lanjut Egi.

“Beda apanya?,” tanya Zul tak mengerti.

“Ya, kayak ada aura-aura yang hilang aja gitu dari wajah cantiknya,” sahutnya seraya memasang wajah berfikir.

“Maksud lu?,” tanya Zul dan Agung bersamaan.

“Yaah.. pokoknya aura nya berubah deh,” seakan-akan ia sulit untuk menjelaskannya.

“Maksudnya, berubah dari aura kasih jadi aura mistis gitu??,” tanya Agung sekenanya.

“Bukan gitu... Gimana ya, duh gue gak enak nih ngomongnya. Ya pokoknya kayak udah gak ada aura kegadisannya gitu dah!,” ceplos Egi.

Zul dan Agung  tercengang beberapa detik. Lalu mereka tertawa lepas. Ya, menertawakan celetukan si Kribo yang diluar ekspektasi keduanya.

“Serius broo..., gue kan sering nih merhatiin wajahnya itu, dan sekarang tuh laen. Kaya pecah gitu lah. Dan biasanya gue sering nemuin siratan wajah kayak gitu tuh sama cewek yang udah nikah!,” Egi menyeloroh.

“Pecah, emang kaca? Sumpah, Bo. Gak ada kerjaan banget lu merhatiin orang ampe segitunya,” Agung menggeleng. Ia Heran dan tak habis fikir dengan sikap sahabatnya yang satu ini.

Zul hanya tersenyum.
‘secara, udah gue gasak’ ucapnya dalam hati.

Egi hanya menggaruk-garuk kepalanya, ia merasa bodoh juga sudah mengatakan hal itu pada kedua temannya.

“Oya Zul, sore ini jadi kan ke Peternakan?,” tanya Agung mengalihkan pembicaraan.

“Iya, jadi.”

“Hmmm... Boleh gak gue ajakin Hilya kesana?,”

Zul dan Egi menoleh bersamaan ke arahnya.

“Mau ngapain?,” tanya Zul.

“Ya... Mau ngajakin maen aja gitu sekalian. Ya dia juga bawa temennya sih, kagak sendiri,” jawab Agung.

Zul tampak berfikir, ia jadi teringat tempo lalu, Hilya pernah memintanya untuk diajak mengunjungi ke tempat bisnisnya itu. Dan mungkin ini waktunya ia untuk menepati janjinya. Akhirnya Zul pun mengangguk mengizinkan.

“Yes,” Agung mengepalkan kelima jarinya.

“Ah elu mah bawa main cewek ke peternakan, mau ngajak mancing lu? Gak ada so sweet- so sweet nya banget,” celetuk Egi “ngajak cewek itu ya ke taman, Mall, bioskop, yang tempatnya ngedukung gitu,” lanjutnya sok pengalaman.

“Ya ini kan baru permulaan gaess, kalem aja kali ah,” sahut Agung.

Akhirnya sehabis Asar mereka berangkat ke tempat Peternakan ikan. Ketiganya mengendarai motor masing-masing. Lalu berhenti sebentar di pertigaan jalan raya.

“Tunggu, nelpon Neneng gue dulu,” ucap Agung seraya merogoh saku celananya dan mengambil ponsel. Beberapa detik ia menelpon, lalu menutupnya kembali.

“Lagi dijalan katanya,” lanjutnya.

Mereka menunggu sebentar hingga akhirnya Hilya datang dengan membonceng seorang teman wanita nya.

“Maaf ya nunggu lama,” ucap Hilya setelah menepi.

“Gak apa-apa, yuk langsung berangkat,” ajak Agung.

Mereka berlima kembali melanjutkan perjalanan. Melaju mengikuti Zul yang berada di posisi paling depan. Sepuluh menit, akhirnya mereka sampai.

“Waw, lumayan luas juga tempatnya,” Ucap Egi.

Mereka memang baru pertama kali datang ke tempat itu.

Keempatnya berjalan mengikuti Zul ke sebuah bangunan yang agak panjang. Terlihat ada empat pintu disana. Satu diantaranya adalah ruangan kantor Zul dan Rendi, dan tiganya lagi ruangan serbaguna. Terkadang juga dipakai untuk menginap ke tiga karyawannya.

Disana sudah berdiri seorang pria manis berkacamata yang tersenyum lebar ke arah mereka. Zul menyapanya sembari bersalaman akrab. Setelah itu ia memperkenalkan teman-temannya yang ikut berkunjung.

“Nah, kalau ini namanya Rendi Gunawan, Direktur Utama Peternakan Ikan disini,” Ucap Zul seraya menepuk bahu temannya itu.

“Ah ente bisa aja,” Ucap Rendi terdengar merendahkan diri.

Ya, usianya hampir menginjak tiga puluh tahunan. Dia kakak kelas Zul yang waktu itu mengajaknya untuk berbisnis di Ibukota. Gayanya terlihat kalem, memakai kemeja putih berlapis jaket hitam serta celana bahan hitam yang menjadikannya tampak dewasa. Dari postur tubuh, tingginya hampir setara dengan Zul. Ya, sedikit lebih tinggi Zul darinya.

Setelah istirahat sebentar, mereka beranjak untuk melihat-lihat langsung ke lapangan. Disana ada beberapa kolam ikan yang berjejer rapi. Ukurannya bervariasi, ada yang 3x3 meter, hingga 3x6 meter. Zul mengajak teman-temannya ke setiap kolam yang berada disana sembari memperkenalkan beberapa jenis ikan hias itu. Ia naik dan berjongkok di bibir kolam yang terbuat dari plesteran semen. Tingginya sekitar sepaha orang dewasa.

“Nah, kalau yang ini koi import jenis kohaku. Kita langsung pesannya dari Jepang,” Ucap Zul seraya menyibak airnya pelan.
“Wiiihh cantik banget...,” Egi terkesima.

Disana terdapat banyak ikan koi yang bermotif rupa-rupa. Ada yang putih bercorak oranye, juga hitam bercorak emas. Ya, terlihat cantik dan eksotik.

“Kalau yang itu jenis apa A?,” tanya Hilya.

Ia menunjuk ke sebuah akuarium yang agak besar, disana ada beberapa ikan yang ukurannya sekitar 25 hingga 30 cm. Siripnya terlihat lebih panjang dari ikan-ikan yang ia lihat sebelumnya.

“Oh, kalau itu yang jenis slayer platinum,”

Mereka mendekat ke akuarium, ada sekitar dua puluh ekor ikan yang berenang disana. Warnanya putih namun saat dilihat dari dekat ada warna gold yang tersemai.

“Cantik ya,” kagum hilya.

“Iya ya cantik, kayak kamu,” celetuk Agung.

Mereka disitu yang mendengar tetiba menahan tawa. Hilya menoleh ke arah laki-laki sipit bertopi yang berdiri disebelahnya.

“Jadi aku mirip ikan gitu?,” Hilya cemberut.

“Hmm..maksud aku.. cantik sama lucunya, bukan bentuknya,” ralat Agung seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Terdengar Egi tertawa puas.

“Diem lu!,” Agung memukul lengan si kribo dengan topinya.

“Harganya berapa kira-kira kalau dijual?,” tanya Rida.

“Tergantung dari kualitas dan ukurannya juga, untuk anakan kisaran lima puluh ribu, yang dewasa bisa nyampe satu juta per ekornya,” jawab Zul.

“Waw amazing..,” lirih teman-temannya penuh kagum.

Tak lama, Zul ijin beristirahat ke sebuah saung yang letaknya tak jauh dari situ. Sedangkan teman-temannya masih ingin melihat-lihat ke arah yang lain.

“Zul, itu siapa yang pake jilbab biru muda,” tanya Rendi setelah Zul duduk disebelahnya.

“Oh, itu namanya Hilya, anak PAI,”

“Jamiilah ya?,” puji Rendi.

Zul hanya tersenyum.

“Udah punya harim belum?,” tanyanya lagi.

“Tuh, lagi di pedekate’in sama yang pake topi,”

Jawabnya seraya menunjuk dengan dagunya ke arah Agung. Rendi mengangguk-angguk.

“Oya, kalau calon ente kemana? Gak diajak?,” tanya Rendi lagi.

“Gak, ane pingit dulu,”

Ya, Zul hanya memberitahu pada kawan sepondoknya itu, kalau dirinya sudah bertunangan. Hanya itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Tak terasa memang jika terlalu menikmati kegiatan yang mengasyikan. Akhirnya mereka pamit untuk pulang. Egi, Agung, Hilya dan Rida tengah bersiap-siap menaiki motornya.

Zul berjalan mendekati Hilya sembari membawa sesuatu di tangannya.

“Ini buat Neng, bagi dua ya,” Ucap Zul seraya melirik ke arah Rida.

“Apa ini?.”

Gadis itu meraih sesuatu di kantong kresek hitam yang disodorkan Zul. Ternyata ada dua buah bungkusan plastik bening. Masing-masing didalamnya terdapat sebuah ikan koi jenis slayer platinum yang ia sukai tadi.

“Ya Allah..ini kan mahal A..,” ucap Hilya tak enak hati.

“Shodakoh itu jangan tanggung-tanggung,” jawab Zul seraya tersenyum.

Hilya pun tersenyum, hatinya semakin mengagumi sosok pria yang berdiri dihadapannya itu.

“Makasih banyak ya A, mudah-mudahan rizkinya ditambah lagi sama Allah,”  ucap hilya terharu.

“Aamiiin,”

Seketika ada rasa bahagia dihatinya saat melihat gadis itu tersenyum lagi. Ya, setelah akhir-akhir ini Hilya selalu bersikap acuh padanya.

“Zul, buat kita mana?,” ucap Egi yang sedari tadi melihat ke arah mereka bertiga.

“Entar gue kasih binihnya buat lu mah,” sahut Zul seraya tertawa.

“Yaelaah... Gitu amet lu,” Egi merajuk.

Setelah itu mereka bergegas pulang.

Zul memilih untuk beristirahat sebentar di kostannya. Sekalian beres-beres disana karena sudah beberapa hari ditinggal. Ia berencana pulang nanti malam setelah isya. Namun tak sengaja ia malah ketiduran, diliriknya jam dinding telah menunjukkan pukul 21.45 wib. Segera ia mencuci muka dan bersiap-siap untuk pulang.

Tak lama ada panggilan telfon masuk. Disana terpampang sebuah nomor telfon rumah. Ia mengerutkan alis, siapa? Segera ia menerimanya.
“Hallo tuan, ini Bik Sari,” sapa seseorang diujung telfon.

“Oh Bik Sari, iya ada apa Bik?,”

“Tuan dimana? Cepetan kesini tuan, non Karina sekarang lagi siap-siap pergi,” ucap Bik Sari terdengar gelisah.

“Pergi kemana?,”

“Bilangnya sih mau ke rumah sakit, nengok temennya.. Tapi...,”

“Tapi apa Bik?,” tanya Zul penasaran.

“Tapiii....dijemput sama David tuan,”

Mendengar itu seketika emosinya tersulut.

“Cepetan ya tuan nanti keburu pergi,” lanjut Bik Sari panik.

“Iya sekarang saya kesana. Makasih infonya ya Bik,” segera ia tutup telfon dan bergegas melaju ke kediaman Karina.

Hampir saja ia sampai di gapura perumahannya, seketika maniknya tertuju pada mobil sport hitam yang keluar dari dalam perumahan itu lalu berbelok ke arah yang berlawanan.

Zul menghentikan motornya, ia menatap dengan tajam mobil didepannya itu. Dan kini ia siap membuntuti kemana mereka akan melaju.

=====













Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang