Kesungguhan Zul

315 17 0
                                    

Mereka kaget saat melihat Karina tengah berdiri dimuka pintu. Wanita itu menatap keduanya secara bergantian. Namun diwajahnya seperti tak ada tanda-tanda sehabis menguping pembicaraan Zul dan Bik Sari. Terlihat rambutnya terlilit handuk basah yang tergulung ke atas, memakai kaos putih, dan celana pendek selutut. Sepertinya ia habis selesai mandi.

“Bik, udah siap bingkisannya?,” Tanya Karina.

“Eu...anu... Non udah...tadi ini dibantu sama Tuan Zul...,” Suaranya terdengar gelagapan.

“Bahan-bahan kuenya mana Bik? Sekarang aja ya bikinnya,” Ucap Karina seraya berjalan ke arah Zul dan Bik Sari. Ia langsung menyiapkan bahan-bahan untuk membuat cake, yang akan dibawa nanti siang ke panti.

“Iya non sekarang aja, sini bibi bantu,” segera mereka berdua membuat adonan.

“Emangnya kamu bisa bikin kue?,” tanya Zul pada Karina. Wanita itu hanya meliriknya sekilas. Tanpa merespon sedikitpun.

“Oh ya banget Tuan. Jago masak dia mah, apalagi bikin-bikin kue kayak gini, hobinya itu mah. Ya kan non..,” timpal Bik Sari.

Mendengar itu, Zul tetiba ingat Hilya, mereka sama-sama punya hobi serupa yakni membuat berbagai macam olahan cake. Zul pun tersenyum. Akhirnya mereka memasak bersama.

Suara klakson mobil terdengar didepan rumah.

‘Itu pasti Pak Amir, dia sudah datang’.

Tak lama pria berbadan kurus itu datang menghampiri Zul.

“Ini Tuan kuncinya,” Seraya memberikan kunci mobil pada Zul.

“Makasih, Pak Amir. Hayuk sekarang kita berangkat,” ajak Zul pada Karina yang terlihat sedang membereskan beberapa bingkisan. Lalu mereka membawanya kedalam bagasi mobil.

*****

Sesampainya di sebuah Panti Asuhan dan Anak Yatim ‘AL-IKHLAS’, Zul segera mengeluarkan bingkisan yang telah dipersiapkan, dibantu oleh satu orang pria sebagai pengurus Panti disana. Karina terlihat sedang menyapa seorang wanita berjilbab lebar yang diketahui sebagai pemilik Panti. Bu Fatimah namanya.

Setelah berbincang sebentar, tak lama beberapa anak kecil berusia kisaran antara tiga sampai dua belas tahun datang berhambur memeluk Karina yang tengah berdiri. Mereka terlihat tak canggung sedikitpun. Ya, secara anak-anak itu sudah tak asing lagi dengan sosok Karina yang setiap bulannya selalu mengunjungi mereka.

Mereka tampak bahagia saat satu persatu bingkisan mendarat ditangannya. Ucapan terima kasih pun terdengar saling berburu di bibir mungil anak-anak yang tak berorang-tua itu. Zul dan Karina tersenyum puas melihatnya.

Tampak disana Karina menggendong seorang anak laki-laki berumur tiga tahun. Zul memperhatikannya dengan tatapan sejuk. Ya, sosok keibuannya sangat kentara. Zul berharap segera diberikan keturunan dari pernikahannya ini. Setelah puas bercengkrama, akhirnya Zul dan Karina beranjak pamit untuk pulang, tak lupa sebelumnya Karina menyerahkan amplop coklat kepada Bu Fatimah.


“Alhamdulillah... Agenda hari ini berjalan lancar,” kata Zul setibanya di dalam mobil.

“Aku seneng ngeliat mereka seneng. Karena aku bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan sosok orang yang sangat di cintai,” ucap Karina.

Entah mengapa ada perasaan tak suka saat mendengar ucapan Karina barusan. Ia menyangka bahwa sosok itu adalah David.

“Siapa?,” tanya Zul.

“Mamih,” jawab Karina dengan raut wajah yang sedih.

Ah, Zul merasa bodoh sendiri. Kenapa ia harus bersu’udzon begitu. Entahlah, dirinya tiba-tiba saja berubah menjadi sensitif kala harus mendengar sosok yang dicintai Karina.

Zul menyalakan mesin mobil, lalu menancap gas pergi dari sana.

“Ke kosan aku dulu ya,”  ajak Zul.

“Mau ngapain?,”

“Mau bawa baju ganti. Kamu sih kemaren gak bilang-bilang kalau Pak Rudi pulang. Kalau bilang dulu kan mungkin aku siap-siap bawa baju sekoper,” sahutnya.

“Nanti kalau kamu tinggal di GPI, terus gimana sama kosanmu itu?,”

“Ya gampang, tinggal pindah aja. Ke Pondok Mertua Indah,” jawab Zul sambil tersenyum.

Karina membulatkan matanya. Lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela samping mobil.

“Ya kalau kita pisah rumah gini, nanti gimana kata Pak Rudi? Bik Sari dan Pak Amir? Hmm??,” tanya Zul, seakan-akan tahu isi hati Karina yang menolak ia tinggal dirumahnya.

“Terserah, asal jangan sampai ketahuan sama orang luar, terutama orang Kampus,” Ketus Karina.

“Lah, masih mau sandiwara juga? Gak capek apa Neng?,” kata Zul sambil fokus menyetir.

Karina menghela nafas. Ia masih menatap ke luar jendela.

“Malah kalau gak pada tahu, entar yang ada timbul fitnah lho...mau?,” tanyanya lagi.

“Ya pokoknya usahain jangan sampai ada yang tahu. Titik!,” kecam Karina.

Zul meliriknya sekilas.

‘Ck..! Bener-bener harus dirukiyah nih cewek’ bisiknya dalam hati.

“Ya kalau ada apa-apa jangan nyalahin aku loh ya.. Tanggung sendiri...” kata Zul santai.

“Kamu bener-bener kayak papih ya, gak pernah mau ngertiin perasaan aku?!,” Ucap Karina, nada bicaranya agak meninggi.

Ingin sekali ia menjawab ‘aku juga pengen dimengertiii....’
Namun, ah! Ia masih sadar, jika api dilawan api akan semakin berkobar, dan ia memilih mengalah saja.

Lampu merah pun menyala. Zul melambatkan mobilnya dan berhenti.

“Oke..oke... aku mau ngertiin kamu, dan bakal ngikutin kemauan kamu. Tapi dengan satu syarat..,”

Karina menoleh ke arahnya. Manik mereka kini beradu.

“Kamu harus janji, untuk berusaha semaksimal mungin membuka hatimu buat aku. Dan aku akan menunggu, selama apapun  itu....,” ucap Zul serius.

Karina hanya diam. Ia tak ingin membalas kata-kata Zul.

Tak lama lampu hijau pun menyala, ia kembali melajukan mobilnya.

*****

Setelah sampai di Gang kostannya. Zul segera beranjak keluar mobil. Karina memilih untuk menunggunya saja di dalam. Lima menit berlalu, Ia telah selesai mengambil beberapa helai pakaian dan beberapa buah buku ke dalam ranselnya. buru-buru ia kembali lagi ke mobil, namun belum saja sampai tiba-tiba Hilya datang menghampiri.

“A Aden? Mau kemana? Kok kaya yang buru-buru gitu?,” tanya Hilya.

“Astagfirullah... Neng Hilya? Aduh Aa kira siapa?,” tanya Zul kaget. Ia menoleh ke arah mobil Karina yang terparkir sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri.

Hilya tersenyum.

“Mau kemana ? Itu ranselnya keliatannya penuh. Aa mau pergi?,” tanya Hilya sambil memperhatikan ransel yang dibawa Zul.

“Eeuuu.. Iya Neng, Aa mau pergi dulu sebentar. Kemungkinan lusa juga pulang.”

“Kemana?,” Tanyanya lagi.

Zul bingung harus menjawab apa.

“Ke PMI ! Ya udah ya, Aa pergi dulu udah ditunggu. Assalamu’alaikum,” segera ia berlari ke arah mobil Karina.

“Wa’alaikumsalam...” jawab Hilya. Ia masih berdiri dengan tatapan heran ke arah Zul yang terlihat tergesa-gesa. Ia langsung masuk ke dalam mobil.

‘mobil siapa itu?’ tanya Hilya dalam hati.

Ya, Zul tadi menyebutnya PMI sebagai singkatan dari ‘Pondok Mertua Indah’. karena sejujurnya ia bingung harus menjawab apa, dan refleks saja menyebut kata itu.

Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang