Pendekatan Pertama

307 19 0
                                    

Sebenarnya hati Zul dipenuhi rasa gugup saat mendengar Hilya bertemu dengan Karina kemarin. Keduanya memang tidak saling mengenal, namun Zul merasa khawatir jika suatu saat mereka bertemu di lingkungan kampus. Secara mereka ada di satu Universitas hanya berbeda tempat. Harapan Zul semoga tidak terjadi. Meskipun harus terjadi, semoga ia sudah siap untuk mengatakan semuanya.

“Oya, gimana kabar Bibi?,” Tanya Zul mengalihkan pembicaraan.

“Alhamdulillah sehat. Oya, bibi nanyain terus katanya A Aden kemana aja gak pernah keliatan,”

Zul tersenyum kecil. Ia tak tahu kalau kedatangannya waktu itu membuat Bibi nya Hilya jadi selalu menanyakannya.

“A Aden gak ngajar?,” Tanya Hilya.

“Iya ini sebentar lagi,” jawab Zul setelah melihat arloji di lengan kirinya.

“Ya udah Neng pulang dulu atuh ya, naaf udah ganggu waktunya,” ucap Hilya seraya beranjak keluar rumah.

“Gak apa-apa, santai aja,” sahut Zul seraya mengikutinya ke depan teras.

“Mangga semuanya, Assalamu’alaikum.,”

“Wa’alaikumsalam,” jawab Zul, Egi dan Agung bersamaan.

Mereka memperhatikan gadis itu hingga luput dari pandangan.

“Bro, kapan lu jadian sama si Hilya?,” tanya Egi.

“Siapa yang jadian?,” jawab Zul sambil melirik ke arah laki-laki berambut kribo itu.

“Itu dia dateng kesini terus. Ngapain coba? Ngapel kan?,” tukas Egi.

“Emang kenapa kalau dia dateng kesini? Orang Cuma silaturrahmi doang,” Sahut Zul seraya berjalan dan duduk di sebuah tembok pendek sebagai pembatas antara teras dan tanah. Ia duduk berhadapan dengan sahabatnya.

“Serius lu, gak ada hubungan apa-apa sama si Hilya?,” tanya Agung.

“Ya Cuma hubungan temanan aja,” jawab Zul santai.

“Alhamdulillah...berarti ada keswmpatan emas doang buat gue,” Agung sumringah.

Zul hanya meliriknya sekilas. Entah mengapa ada perasaan ikhlas tak ikhlas mendengarnya.

“Eh Aka bro, kalau gue perhatiin sih ya, kayaknya tu cewek naruh harapan lebih sama lu, dan dari mata penerawangan gue bilang, kalau dia sebenarnya lagi nunggu satu kepastian gitu dari lu,” Ujar Egi sok peramal.
“saran gue sih lu coba ngomong aja sama dia, soalnya kebanyakan cewek tuh ya kayak gitu, sok jaim. Apalagi yang modelnya kayak si Hilya itu noh. Makanya kita sebagai cowok yang harus peka.” Kali ini ia terdengar bijak.

Zul tersenyum renyah. Ia faham kalau untuk urusan itu, hanya saja mereka yang tak faham untuk problem nya saat ini. Tak semudah sekedar mengucap teori, sebab saat ini terlalu banyak hati yang harus ia jaga.

“Coba aja lu ngomong duluan, takutnya dia bener-bener nungguin lu kan? Ya, itupun kalau lu juga punya perasaan yang sama, sama tu cewek,” lanjutnya.

“Gampang kalau soal itu mah,” Jawab Zul seraya meneguk air di botol mineral.
“Yang susah itu ngomong ke dia kalau gue dah nikah,” bisiknya dalam hati.

“Eh Bro, ku bisa baca Bu Karina juga kagak,” tanya Agung pada Egi.

Ia tampak berfikir, seraya memutar bola matanya ke atas.

“Kalau yang gue liat sih, dia itu tipikal cewek yang gak bisa terderskripsikan oleh mata telanjang, butuh hati yang tulus buat merasakan kepribadiannya lebih dalam,” Egi mulai berkilah.

Agung dan Zul menggeleng-geleng melihat gaya bucin cowok yang satu ini.

“Dan kalau gue perhatiin sih, dia itu punya kepribadian ganda,” lanjutnya.

Kedua temannya melohok.

“Maksud lo?,” tanya Agung.

“Ya, kadang ia bersikap manis, kadang dingin kadang pula menyebalkan,” Egi memasang wajah serius.

“Yaaah elu, kalau kepribadian ganda itu udah masuknya ke kelainan. Ya kalau itu mah mood-nya aja sih yang lagi berubah-rubah,” timpal Agung.

Zul dibuat tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

“Tapi tetep, walau bagaimanapun juga, Bu Karina Safira adalah sosok yang anggun dimata gue. Dan cinta gue Cuma buat my honey bunny sweety seorang, gak ada yang lain,” kata Egi dengan gaya seriusnya.

Zul tersentak.

“Etdaaah...kagak tau apa dia ngomong gitu depan suaminya,” Ucap Zul dalam hati.

“Halaaahh... Jago ngomong doang lu mah. Kalau bener-bener cinta, lu juga harusnya ngungkapin dong ke Bu Karina. Berani kagak?,” tantang Agung.

“Ookeh, liat aja nanti. Suatu saat dia bakal klepek-klepek ama gue. Dan gue pastiin gak kan ada cowok yang bisa nyaingin gue. Kalaupun ada gue pites tuh lehernya!,” Seru Egi.

Kali ini Zul dibuat terbatuk mendengar nya. Ia merasa ngeri mendengar ucapan terakhir sahabatnya barusan.

“Kenapa lu?,” tanya Egi melihat Zul yang batuk-batuk.

“Gak apa-apa, Cuma keselek doang,” jawab Zul seraya beranjak dari duduknya.

“Eh udah jam sepuluh nih, gue berangkat ngajar dulu ya,”

“Asiiyaap Pak Guru,” jawab mereka kompak.

“Ya udah kalau gitu kita juga pamit ya A Aden,” tukas Agung menirukan gaya bicara Hilya.

“Biasa aja deh ngomongnya,” tukas Zul. Ia sebenarnya merasa aneh dengan panggilan itu. Sebab setelah ia meninggalkan Kota kelahirannya, nama itu tak pernah terdengar lagi ditelinganya.

*****

Hari senin pun tiba. Sekarang jadwal Karina masuk kelas. Terdengar sorak sorai para mahasiswa itu saat mengetahui Karina akan masuk.

“Selamat pagi,” sapa Karina ramah.

“Pagi Bu,” jawab mereka serempak.

Hari ini ia terlihat berbeda. Rambut yang biasanya tergelung ke belakang, kini dibiarkan tergerai, dengan rambut dikedua sisinya ia ikat ke tengah, menjadikannya tampak seperti anak remaja.
“Bagaimana kabarnya hari ini?,” tanyanya sambil tersenyum manis.

Beragam jawaban yang terlontar dari murid-muridnya itu. Ada yang menjawab kabarnya baik, lagi sakit hati, bahkan ada yang malah menggombal.  Seperti Egi kali ini.

“Bu Karina, setiap saya melihat ibu rasanya saya ingin belajar. Ya, belajar yang terbaik buat kamu. Eeeaaa...,” sontak membuat yang lain tertawa.

“Bu, apa persamaannya ibu sama Polantas?,” Karina mengernyitkan alis.
“Sama-sama bikin deg-degan,” lanjutnya diiringi dengan gelak tawa yang lain.

Wanita itu hanya menghela nafas, sudah tak aneh dengan tingkah siswanya yang satu ini.

“Bu Karina, saya gak mau jadi superhero, saya Cuma mau jadi superdad buat anak-anak kita nanti,!” timpal Arman di kursi paling belakang.

Karina terbelalak. Lalu terdengar suara teriakan dan riuh derai tawa yang saling bersahutan.

Zul hanya mengusap wajahnya sambil menggeleng mendengar kekonyolan teman-temannya itu.

“Sudah-sudah! Ini kelas akuntansi, bukan kelas menggombal!,” Bentak Karina.

Ia sebenarnya sudah sering memberi sanksi pada siswanya yang berani menggombalinya disaat jam pelajaran. Namun ia tahu, mereka bukanlah anak-anak lagi. Kebanyakan dari mereka berada di masa transisi menuju dewasa, sehingga wajar jika tingkahnya kadang kekanak-kanakkan namun ‘taste’ dewasa.

Pelajaran pun selesai.

“Zul, tolong bawakan ini keruangan saya,” perintah Karina sambil menoleh ke arah tumpukkan makalah di atas meja.

Zul mengangguk. Lalu ia berjalan mengekor dibelakang Karina. Di sepanjang menuju Kantor, tampak beberapa mahasiswi semester awal yang berjalan berpapasan, menyapa Zul dengan gaya caper-nya.

“Hai Kak Zul...”sapa mereka sambil tertawa malu-malu.

Zul hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya sekali.
Karina menoleh ke belakang,

“Buruan jalannya.” Suara wanita itu terdengar ketus.

Setelah masuk ke ruangannya. Karina segera duduk lalu membuka kacamatanya. Ia terlihat lelah seraya memijit-mijit pelan kening nya. Zul menaruh tumpukkan makalah itu ke atas meja didepannya.

“Sabar ya...” ucap Zul seakan tahu isi hati Karina yang kelelahan saat menghadapi sikap teman-temannya tadi dikelas. Mungkin efek hari ini ia terlihat lebih cantik dari biasanya.

“Kalau bukan karna papih, aku malas mengajar disini!,” jawab Karina menahan kesal. Wajahnya terlihat memerah. Zul tersenyum kecil melihatnya.

“Oya, tadi datang kesini pake apa?,” tanya Zul.

“Grab,” jawab Karina singkat.

“Kan saya udah bilang, kalau mau ke kampus hubungi saya aja. Entar saya jemput,” jawab Zul lembut.

Karina hanya menghela nafas, ia terlihat sedang malas bicara.

“Ya udah nanti sepulang kuliah, saya antar pulang ya.” Pinta Zul.

“Gak usah,”

“Gak apa-apa. Pokoknya nanti saya tunggu di belokan depan sana, disana kan sepi,” paksa Zul.

Karina berdecik sambil mendelik kesal. Zul tersenyum melihatnya. Lucu.

*****

Jam perkuliahan hari ini telah berakhir, segera Zul membawa motor nya ke tempat yang sudah dijanjikan. Lima menit berlalu, tampak Karina datang menghampiri. Zul memberikan helm satunya lagi, yang sengaja ia bawa dari rumahnya. Tak banyak basa-basi, segera ia melaju ke kediaman istrinya itu.

“Bu Karina mau langsung pulang?,” tanya Zul dengan suara yang agak keras. Karena terhalang helm dan hempasan angin.

“Iya,”

“ Gak mau makan diluar dulu gitu?,” tanyanya lagi.
“Gak, males,”

“Oya, gimana kabarnya Pak Rudi sekarang, sehat?,”

“Mungkin.”

Mendengar jawabannya yang selalu singkat. Zul terfikir untuk mengerjainya. Ia menggerakan jarinya lalu mengeremnya mendadak. Sehingga tubuh Karina membentur punggungnya.

“Aww... Pelan-pelan dong Zul ngeremnya!,” teriak Karina kesakitan.

Zul melajukan motornya kembali dengan kecepatan stabil. Lalu mengeremnya lagi.

“Ih, bisa bawa motor gak sih? Kamu mau kita celaka?!,” sentak Karina sambil menepuk keras pundak Zul berkali-kali.

Ia sedikit meringis, seraya tersenyum lebar. Akhirnya ngomong panjang juga dia. Kata Zul dalam hati.

“Maaf Bu,, saya sengaja,” celetuknya sambil sedikit terkekeh.

“Nyebelin banget sih kamu! Kamu tuh sama aja ya kaya temen-temen kamu yang lain. Bikin bete tau!,”  Karina mengdengus kesal.

“Beda lah, kalau mereka itu cari perhatian karena pengen ngedapetin kamu, kalau aku gak perlu cari perhatian karena udah dapetin kamu,” Ucap Zul santai. Namun terdengar mantap.

Karina terbelalak. Merasa aneh mendengar laki-laki didepannya bicara seperti itu. Tak seperti biasanya, yang tak banyak bicara saat di kelas, kecuali jika ada hal penting saja. Sekarang  laki-laki itu seperti yang sedang menggombali dirinya. Karina menahan tawa, terdengar lucu. Tapi entah mengapa justru ia malah suka mendengarnya.

Setelah sampai ke parkiran apartement, Karina segera turun dan membuka helmnya seraya memberikannya pada Zul. Ia merapikan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan yang tersapu angin sepanjang perjalanan.
Zul pun membuka helmnya, lalu memperhatikan wanita didepannya itu.

“Makasih ya,” Ucap Karina seraya berbalik badan hendak meninggalkan Zul. Zul menahan pergelangan tangannya, lalu Karina pun menoleh.

“Gak nyuruh mampir dulu nih?,” tanya Zul sambil menatap lekat manik istrinya itu.

Karina tersenyum, “Maaf ya, lain kali aja. Saya capek soalnya, mau istirahat,”

Zul mengangguk. “Ya udah met istirahat aja ya,” ucapnya sambil tersenyum.
Ia memakai helm nya kembali seraya memutar motornya dan melaju pergi. Karina masih berdiri melihat suaminya itu berlalu. Ia menghela nafas, lalu berjalan memasuki gedung apartement di depannya.

*****

Esok pagi nya sebelum berangkat kuliah, Zul sengaja menelpon Karina berkali-kali berniat untuk menjemputnya. Namun tak kunjung jua di angkat. Akhirnya ia putuskan saja untuk berangkat sendiri, mengingat hari ini jadwal Pak Surya berada di jam pertama. Dosen yang satu ini tak pernah telat jika masuk kelas.


Dua jam berlalu, Pak Surya memberikan tugas diskusi seusai menerangkan materi ajar. Sehingga mengharuskan para mahasiswanya untuk mencari bahan referensi lain di perpus. Lalu mereka pun beriringan berjalan keluar kelas menuju perpustakaan sekolah. Kebetulan lokasinya bersebelahan dengan ruang kantor Dekan dan beberapa dosen. Salah satunya ruangan Karina.
Zul melirik sekilas keruangan istrinya itu. Karena saat itu pintunya setengah terbuka. Ia melihat ada seseorang pria berjaket merah yang sedang duduk berhadapan di meja Karina. Ia tak bisa melihat wajahnya karena posisinya membelakangi pintu.

“Kayaknya dia lagi nerima tamu,” bisiknya dalam hati. Dan meneruskan berjalan bersama teman-temannya yang lain.

******

Saat jam kosong tiba. Zul, Egi dan Agung memilih untuk mengobrol di halaman depan kampus. Mereka duduk dikursi panjang yang terbuat dari kayu. Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Agung menepuk pundak Egi yang duduk disebelahnya.

“Woy, woy. Liat tuh! Bukannya itu pacarnya Bu Karina, ya?,” tanyanya sambil menunjuk ke arah parkiran, yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka duduk.

Zul dan Egi segera melihat-lihat dan memperhatikan dengan seksama ke arah yang Agung tunjuk. Tampak disana Karina tengah berjalan dengan pria berjaket merah, lalu pria itu membukakan pintu mobil sport hitam dan Karina masuk kedalamnya. Pria tersebut segera masuk ke arah pintu sebelahnya untuk menyetir.

“Eh, iya kayaknya. Lah ngapain tuh si brewok renek bawa bidadari gue?,” seru Egi dengan ekspresi kesal.

Zul menyipitkan matanya, ia sepertinya kenal dengan jaketnya itu. Ya, jaket merah yang seseorang pakai saat diruangan Karina tadi. Lalu benarkah Karina menerima pria itu lagi untuk datang menemuinya?

“Kayaknya dia ngejemput Bu Karina deh, soalnya tadi pagi gue liat dia nganterin bu Karina kesini,” jawab Agung.

Deg. Seketika rasa panas menjalar di hatinya saat mendengar penuturan Agung barusan. Jadi itu alasannya kenapa tadi pagi Karina tak kunjung mengangkat panggilan telfon darinya. Ia terus menatap mobil yang tengah melaju ke luar area kampus itu dengan tatapan tajam. Nafasnya kini terasa tak beraturan. Ia tak mengerti kenapa ia begitu tak suka melihat pemandangan didepannya itu. Biasanya ia masih bisa cuek jika berkaitan dengan seseorang yang mengagumi sosok Karina, termasuk kepada beberapa teman prianya. Namun jika dengan pria itu?? Ah, apa ia kini tengah dilanda cemburu?

======









Pengantin RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang