Suatu Masa, 2013...
Naraya memandangi layar laptopnya sejak sepuluh menit lalu. Tidak ada yang dia lakukan. Draft skripsi yang baru dicoret-coret dosen pembimbing I itu tergeletak begitu saja di karpet kamarnya. Draft itu harus segera direvisi dan dikumpulkan dalam waktu kurang lebih empat minggu, jika dia ingin segera maju sidang akhir bulan depan. Tapi melihat begitu banyaknya yang harus diperbaiki, dan wujud dosen pembimbing yang antara ada dan tiada, mood Naraya drop tidak karuan. Energinya bagai menguap seketika. Memikirkannya saja sudah membuat dia lemas.
Dia ingat tadi waktu bimbingan, dosen yang juga seorang dekan itu malah mengomelinya karena tidak pernah datang untuk konsultasi skripsi.
"Lloh?? Nggak salah, Bu? Kan ibu yang jumper. Hari ini ke Yogyakarta, dua hari kemudian di Palembang. Minggu depan jadwal bimbingan, Ibu ada seminar di Jakarta. Tiga hari berikutnya ibu harus ke Bangkok karena ada workshop. Belum harus rapat lah, membimbing yang sedang menulis tesis lah, mengajar mahasiswa S2 lah.
"Ibu kan nggak tau saya bolak-balik ke kantor dekan untuk sekedar mengadu peruntungan barangkali ibu ada di tempat, tapi asisten ibu selalu bilang lagi di luar.
"... dan ini pertemuan kedua setelah yang pertama beberapa bulan ke belakang, trus Ibu bilang saya nggak pernah datang?"
Kalimat sepanjang itu hanya mampu Naraya telan dalam hati. Emosi jiwa rasanya. Terlebih membayangkan kemungkinan dia akan gagal sidang dalam waktu dekat dan harus daftar ulang membayar uang kuliah semester depan.
"Aaaaaarrgghh...!" Naraya mengerang sambil mengacak-acak rambutnya. Dia membenamkan mukanya ke bantal yang sejak tadi ada di pahanya.
"Nguah misa ngilaaaaah...." Suaranya teredam bantal. Perjuangannya selama kurang lebih tiga bulan setengah ini rasanya sia-sia. Mulai dari penelitian, bimbingan dengan dosen pembimbing II yang harus terhenti karena beliau tiba-tiba sakit cukup parah, ganti judul, mengajukan pemimbing baru yang lumayan susah karena banyak dosen yang sedang cuti hamil dan study di luar negeri, nongkrong di toko buku, bolak-balik perpustakaan, bolak balik antara mencoba tetap waras dan mau gila, dan ketika dia pikir semuanya sudah akan selesai, ibu dekan dengan entengnya bilang banyak yang harus direvisi dalam waktu empat mingguan.
"Aaaaaarrrggghhhh...!!!" Lagi-lagi Naraya mengerang. Dia mulai frustasi. Rambutnya diacak-acak hingga menyerupai Medusa. Ingin rasanya dia berteriak lebih kencang, tapi takut orang rumah mengira dia gila betulan.
"Nggak bisa begini." Naraya merapikan rambutnya, lalu mengambil ponsel di tempat tidur. "Stres in harus dibagi. Gue nggak mau merasakan ini sendiri."
Naraya mengakses daftar kontak di handphone-nya, lalu menelepon Pandu. Cewek itu menggigiti kukunya sambil menunggu panggilannya diangkat.
"Kenapeeee??" Suara Pandu terdengar dari seberang. Dia seperti sedang mengunyah sesuatu. Bunyinya gemerutuk
"Skripshit gueeeee..." Naraya hampir menangis.
"Kenapa lagi? Bukannya hampir kelar?"
"Harus revisi. Banyak bangeeet. Siang tadi gue ketemu dosen pembimbing I, terus..." Naraya menumpahkan kekesalannya pada Pandu, sahabat satu kampusnya yang berbeda jurusan. Meskipun kadang-kadang Pandu menanggapinya dengan kurang serius, tapi Naraya tahu cowok yang kuliah jurusan teknik informatika itu sedang menyimak. Sesekali bunyi gemerutuk melatari percakapan mereka.
"Lo lagi makan apa, sih? Ganggu banget bunyinya." Naraya protes di tengah curhatannya. Suara Pandu makan sesuatu itu makin jelas dan intens.
"Es batu," jawab Pandu tidak merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA'S BOX
RomanceSebagai seorang wedding organizer, awalnya hidup Naraya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, dia bertemu dengan Yausal, cowok dari enam tahun lalu yang pernah membuat dunianya porak-poranda. Sebenarnya Naraya tidak ingin mengacuhkan, nam...