#14 SOMETIMES, A HAPPINESS COSTS A LOT

204 35 12
                                    


Namanya Bu Kokom. Beliau adalah seorang tukang pijat multitalenta yang bisa dipanggil untuk berbagai macam keperluan. Mulai dari pijat hamil, pijat setelah melahirkan, pijat masuk angin, pijat salah urat, pijat lulur, sampai pijat plus melacur--melayani curhat, maksudnyaaa-Bu Kokom ini sangat bisa diandalkan.

Pagi itu, Bu Kokom sudah ada di ruang tengah rumah Naraya. Bunda biasa menyapanya Wa Kokom. Yang lain ada yang memanggilnya Mak Kokom, Ceu Kokom, atau Bi Kokom. Bu Kokom sepertinya tidak keberatan dengan panggilan apapun. Selama dia tidak disapa Mejikom.

Tadi setelah subuh, Bunda dengan gercep menelepon Wa Kokom karena pergelangan kaki Naraya agak bengkak. Efek terkilir semalam membuat Naraya harus dipapah Ayah ke kamar mandi saat akan mengambil wudhu. Kakinya terasa lebih sakit saat dia bangun tidur tadi.

Naraya sedang duduk dengan kaki selonjor di karpet. Tangannya bertumpu pada bantal sofa sambil memegang handphone. Tadi dia baru saja melihat-lihat foto Yausal yang semalam diambil dengan diam-diam. Namanya juga diam-diam, hasilnya ya gitu, deh. Mulai dari yang wajahnya terpotong, blurred parah, sampai yang tampak bokeh padahal foto gagal. Tapi dari sekian banyak foto yang diambil dengan asal itu, ada satu foto yang menurut Naraya lumayan. Foto Yausal dengan wajah serius, saat tengah mengetik di handphone-nya. Meskipun sedikit kurang jelas, tapi itu cukuplah untuk membuat Naraya senyum-senyum sendiri.

Setidaknya itu sebelum dia 'disiksa' Wa Kokom.

"Abis ngapain emang, Neng?" Tanya Wa Kokom sambil menuangkan minyak pijat pada piring plastik kecil. Perempuan paruh baya yang masih cantik dengan postur tubuh tinggi besar itu bisa dibilang modis, baik dandanan maupun penampilannya. Riasannya terlihat segar dengan lipstick warna pink terang. Alisnya yang dilukis tegas memberikan kesan bahwa wajahnya berwibawa. Cara berpakaiannya pun enak dilihat. Pagi itu beliau mengenakan kulot hitam dengan dengan atasan tunik putih polos. Bagian luar diberi outer kutung berwarna biru muda dari bahan washed denim. Di bagian tepi depannya ada bordir sederhana dengan warna senada. Kerudungnya yang bermotif hitam putih dililit rapi ke belakang. Sebuah kalung dengan liontin emas berbentuk bulat polos menjulur keluar dari lehernya. Logam mulia 99 persen, kata Wa Kokom pada suatu hari. Salah satu bukti bahwa profesi yang dijalaninya sangat menjanjikan.

"Keseleo Wa, waktu turun tangga," jawab Naraya. Kaki kanannya mulai diusap Wa Kokom dengan minyak pijat. Aroma dan rasanya hangat. Naraya tahu, itu bukan usapan sayang atau semacamnya. Usapan itu mempunyai arti 'tabahkan hatimu, kuatkan jiwamu, kokohkan ragamu'. Itu usapan sebagai intro siksaan yang akan diterimanya selama satu jam ke depan. Naraya sudah sangat hapal.

"Tangga apa? Taraje (tangga bambu)? Meni bengkak gini... Ngapain naek-naek taraje? Ngambil layangan?"

Naraya tidak sempat menjawab pertanyaan merepet Wa Kokom. Dia sudah meringis kesakitan. Bukan meringis, hampir menjerit malah, saat Wa Kokom mulai memijat bagian ankle yang sakit. Sesekali kakinya dia tarik untuk menghindari pijatan, namun ditarik kembali oleh Wa Kokom.

"Mau kemana atuh, Neng?" Wa Kokom terkekeh. Tangannya memegang erat kaki Naraya.

"Sakit, Wa." Lapor Naraya dengan muka menahan nyeri. Suaranya sedikit bergetar memohon ampun. Pijatan Wa Kokom itu tanpa aba-aba, tanpa basa-basi. Ibarat mesin motor trail yang digas sekali jadi, dia akan meluncur tanpa terkendali.

Naraya tahu, jika dia pasrah, maka penderitaan ini akan cepat selesai. Apalagi minggu ini dia sudah punya beberapa agenda yang harus dikerjakan. Itu berarti dia harus siap mobile dengan kaki yang sehat walafiat. Namun sakit akibat pijatan Wa Kokom itu benar-benar tidak bisa dia tahan. Berkali-kali hatinya menyuruhnya untuk kabur.

PANDORA'S BOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang