Naraya berdiri di depan lemari pakaiannya. Cewek itu tengah memilih baju yang cocok untuk ke acara festival choir nanti malam. Meskipun belum memberi kabar pada Yausal, tapi sudah dipastikan bahwa dia positif akan menerima ajakan cowok itu. Setelah sekian lama, akhirnya bisa pergi berdua juga. Mana mau Naraya menyia-nyiakan kesempatan ini. Jadi dia ingin prepare dari awal. Jangan sampai salah kostum, salah make-up, atau salah bentuk alis. Oh ya soal alis, Naraya akhirnya bisa menguasai skill ini semenjak diajari Donna tempo hari. Dengan bentuk alis apa pun, jangankan Yausal, dunia pun pede dia hadapi.
Suara Afgan yang menyanyikan lagu Panah Asmara terdengar dari radio. Iramanya membuat tubuh Naraya bergerak ke kiri ke kanan. Kadang dia melenggok seperti barongsai. Sambil menggeser-geserkan hanger baju, sesekali cewek itu ikut bernyanyi.
Ku akan setia menunggu... Satu kata yang terucap...
Dari isi hati sanubarimu... Yang membuatku bahagia
Sesenang itu perasaan Naraya. Sampai-sampai semalam dia agak kesulitan tidur saking excited-nya. Bolak-balik dia memeriksa pesan Yausal, memastikan bahwa yang dibacanya adalah sungguhan. Dia takut kalau sebenarnya dia sedang bermimpi, atau lebih parah lagi, berhalusinasi. Tapi begitu melihat foto dua buah free-pass yang tersimpan secara otomatis di galeri handphone-nya, cewek itu yakin kalau ajakan Yausal adalah nyata.
Kau buat aku bimbang... Kau buat aku gelisah...
Ingin rasanya kau jadi milikkuuuu...
Wajah Naraya terlihat cerah saat menyanyikan lirik itu, secerah sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarnya. Dia masih memilih dan belum berhasil menentukan akan memakai baju apa. Cewek itu dilanda kebingungan. Pada saat seperti ini, kenapa dirinya merasa tiba-tiba kekurangan baju. Padahal satu lemari itu sudah kepenuhan dengan pakaian, malah ada yang belum sempat dia kenakan juga.
Kalau dilihat dari foto yang dikirim Yausal semalam, acara festival itu sepertinya acara yang setengah formal, setengah kasual. Jadi Naraya mencari baju yang kira-kira jatuhnya tidak terlalu formal dan tidak kasual juga. Dia mengambil beberapa hanger pakaian lalu sambil bercermin, pakaian-pakaian itu ditempelkannya di badannya secara bergantian. Beberapa baju ada yang merupakan favorit Naraya, namun entah kenapa dari semua yang dipilihnya tidak ada satu pun yang dirasanya sreg.
"Masa iya mesti beli baju baru?" Naraya bertanya pada dirinya sendiri. Kali ini dia butuh masukan. Donna sebetulnya cocok dimintai pendapat soal ini. Tapi seandainya dia bertanya untuk apa, dengan siapa, kenapa, kapan, Naraya pasti akan menceritakan yang sesungguhnya. Donna itu instingnya seperti anjing pelacak. Jadi kalau Naraya sampai bohong, pasti ujungnya akan ketahuan. Ibarat burung bangau, sepandai-pandainya dia terbang, akhirnya jadi kecap juga.
Telepon Pandu gitu, ya?
Naraya menimbang-nimbang. Pandu bisa sih, memberi masukan. Tapi pasti dia akan menggoda cewek itu dulu. Pandu kan orangnya tidak mau rugi.
Bodo, ah!
Naraya akhirnya mengontak Pandu. Agak lama cowok itu baru merespon panggilan.
"Iya, Ra?"
"Mmmh, Ndu..." Naraya menahan kalimatnya, lalu lanjutnya, "... Yausal ngajak pergi."
"WAH, SERIUS?!" Reaksi Pandu lumayan heboh waktu Naraya memberitahu rencananya nanti malam. "Pergi kemana? Menyusuri jalan kenangan?"
Kaan...?
"Dia ngajak nonton festival choir ntar malem. Tapi gue bingung pake baju apa."
"Gaun frozen, aja." Pandu menjawab serius. Dia mengingatkan Naraya pada pesta ulang tahun yang pernah mereka organize di tahun pertama punya Pandora. Waktu itu teman sepupu Donna mengadakan pesta ulang tahun untuk anaknya dengan tema Frozen, dan Naraya mendapat hadiah kostum Elsa, Donna sebagai Anna dan Pandu sebagai Olaf dengan versi badan menjulang. Gaun itu masih disimpan Naraya hingga sekarang. Tapi masa iya dipakai ke acara nanti malam?
"Yang bener aja, Ndu...?"
"Kan pas tuh. Let it goooooo... let it gooooo..." Pandu bernyanyi ala seriosa. Suaranya mirip mesin traktor yang baru dihidupkan.
"Trus nanti gue lempar es batu gitu, ya?" Naraya menanggapi kegilaan Pandu. "Nyet, serius , dong!"
Pandu ngakak. "Baju terusan yang nggak terlalu formal ada, nggak?" Ujarnya akhirnya.
Naraya memeriksa lemarinya. Dia mengambil sebuah dress selutut berwarna soft lemon. Dress itu tanpa lengan dan dia pikir dengan menambahkan outer akan terlihat lebih baik. Naraya kemudian mengeluarkan sebuah luaran berbahan katun denim berwarna biru muda yang panjangnya hampir sama dengan roknya. Tiba-tiba tanpa sengaja, sepasang sumpal bra ikut keluar dan jatuh dari lemari saat dia menarik hangernya.
Pake itu juga gitu?? Pikir cewek itu spontan.
"Ra?" Pandu memeriksa apakah Naraya masih online saat ada jeda cukup lama di antara percakapan mereka. Naraya buru-buru memasukkan sumpal kembali ke dalam lemari.
"Eh bentar, Ndu..." Cewek itu memasang handsfree, lalu mengubah panggilan menjadi video call. "Ini gimana?"
Naraya menunjukkan dua baju yang diambilnya tadi. Dress dan outer itu ditaruhnya di tempat tidur. Dia memperlihatkan pada Pandu lewat kamera belakang ponselnya.
"Nah, oke tuh!" Kata Pandu, setuju dengan pilihan Naraya.
"Sepatunya?" Tanya Naraya, sambil keluar kamar menuju rak sepatu di dekat dapur. Dia memilih beberapa pasang yang kira-kira cocok dengan bajunya
"Sepatu roda, Ra. Biar menyusuri jalan kenangannya lancar jaya."
Naraya mau tidak mau tertawa juga. Begini memang resiko curhat pada Pandu, suka ngeselin.
"Ya udahlah, sepatunya gue pilih sendiri aja." Naraya mengakhiri perbincangan. Menanggapi kegilaan Pandu hanya akan membuatnya ikut gila. "Thanks ya, Ndu."
"Owkay. Eh, by the way Ra...." Naraya yang waktu itu akan memutus sambungan, urung. Dia menatap wajah Pandu yang berubah serius. "... ati-ati, ya."
Agak lama cewek itu terdiam. Dia tahu maksud 'ati-ati' Pandu. Dia lalu mengangguk.
"Iyeeeh..."
Naraya menutup telepon. Dia berdiri tercenung di depan rak sepatu.
Ini cuma nonton choir biasa, Ra, NOT A DATE!
Naraya langsung keluar rumah begitu mobil Yausal sampai di depan pagar. Dia buru-buru pamit pada orang rumah. Jangan sampai Yausal turun, mengetuk pintu, lalu ketemu Ayah dan Bunda. Bisa ribet urusannya. Ayah sih santai, tapi Naraya belum siap seandainya Bunda tahu lalu mengajukan banyak pertanyaan yang lebih complicated dari soal pilihan ganda. Apalagi Yausal kan, bukan siapa-siapa. Setidaknya itu yang Naraya coba sadari saat ini.
"Loh, aku baru mau turun," Kata Yausal saat Naraya baru masuk ke mobilnya. "Nggak enak kalo nggak bilang sama orang tua kamu."
"Gapapa, lain kali aja. Takut keburu telat soalnya." Naraya beralasan. Kebetulan memang mereka hanya punya waktu kurang dari sejam. Dia memasang sabuk pengaman, lalu merapikan outer panjangnya yang berwarna nude. Setelan dress dan luaran denim yang sudah disiapkannya dari pagi itu akhirnya urung dipakainya. Dia merasa pakaian itu terlalu berlebihan. Apalagi dengan sumpal bra yang tadinya sempat terpikir akan dia pakai.
Hiii... apa-apaan, sih?
Naraya geli sendiri. Dia tidak ingin memberikan kesan bahwa dirinya sengaja dress-up maksimal karena akan pergi dengan Yausal. Lagipula ini hanya jalan biasa. Yaaa, hitung-hitung pengalaman baru buat Naraya karena belum pernah datang ke festival choir sebelumnya. Jadi tadi, at very last minute, Naraya akhirnya memutuskan mengganti outfit-nya. Dia sekarang memakai celana jeans panjang berwarna biru gelap, dengan atasan kemeja putih tanpa lengan yang ditutup dengan cardigan. Dia hanya menambahkan kalung double chain kecil yang jatuh tepat di lekukan lehernya. Rambutnya dia gerai asal, yang hanya disisir dengan jari setelah memelepas hair bun-nya sehingga memberikan efek gelombang yang natural.
"Oke, deh," ujar Yausal pendek. Dia tidak memaksa. Cowok itu lalu memutarkan mobilnya, setelah diam-diam merasa terpesona dengan penampilan Naraya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA'S BOX
RomanceSebagai seorang wedding organizer, awalnya hidup Naraya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, dia bertemu dengan Yausal, cowok dari enam tahun lalu yang pernah membuat dunianya porak-poranda. Sebenarnya Naraya tidak ingin mengacuhkan, nam...