Mana yang lebih menyakitkan?
Mencintai seseorang namun bertepuk sebelah tangan?
Atau,
mengetahui bahwa orang yang kita cinta punya perasaan serupa, namun tidak bisa bersama?
Saat Yausal mengaku kalau selama ini dirinya tidak pernah tidak merindukan Naraya, cewek itu hanya mampu terpana. Mencoba untuk tidak terpengaruh, namun nyatanya tenggorokannya tercekat juga. Hidungnya seperti tersengat, dan matanya seketika berkaca-kaca. Jika dia mengedip sekali saja, air itu pasti akan langsung jatuh ke pipinya. Naraya sendiri tidak tahu apa yang membuat dadanya sumpek tiba-tiba. Kenyataan bahwa dia sudah benar-benar kehilangan Yausal, atau kenyataan bahwa Yausal juga punya perasaan yang sama seperti dirinya, namun mereka terpaksa harus menapaki jalan yang berbeda?
Naraya membuang pandangan seraya mengusap matanya cepat. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Yausal. Sekuat tenaga cewek itu menahan diri supaya air matanya tidak tumpah di tempat. Meskipun saat ini, yang ingin dilakukannya adalah menangis untuk melampiaskan semua yang menyesaki hatinya.
Seraya menghela napas berat, Naraya membatin dalam hati. Konyol rasanya, merasa kehilangan untuk sesuatu yang tidak pernah dia miliki. Dua kali, pula.
Sementara itu Yausal masih menatap cewek di hadapannya. Dia melihat jelas saat Naraya berlinang air mata dan seketika dirinya disergap rasa bersalah yang tidak kunjung hilang. Harusnya dari awal dia tidak pernah melewati batas. Harusnya dia tidak mengikuti perasaannya untuk mendekati lagi Naraya. Harusnya Yausal berhenti dari hari pertama dia bertemu cewek itu lagi setelah enam tahun berpisah.
Harusnya Yausal langsung pergi dan tidak pernah kembali.
Cowok itu terlihat menghembuskan napas. Terlambat menyesali semua, ingatnya pada diri sendiri. Terlebih dia pun kini bingung bagaimana membenahi yang sudah terjadi
"Na, aku bener-bener minta ma—"
"Sal..." Naraya memotong ucapan Yausal. Dia memajukan tubuhnya, menumpukkan kedua lengannya di meja. Dengan jarak yang semakin dekat, cewek itu memberanikan diri menatap cowok di depannya. Kedua matanya merah. Ada sisa air berlinang di pelupuknya. Saat dia menyadari bibirnya bergetar tanpa bisa dia kendalikan, Naraya mencoba menarik napas supaya dirinya bisa lebih tenang.
"Thousand times...NO, MILLION times, you can say sorry. But you know what? You cannot change the story."
Suara pelan Naraya terdengar tegas.
"Kamu tau, sesering apa aku bertanya-tanya, apa salah aku sama kamu? So many times, Sal. Sampai tadi sebelum kamu jemput pun, aku masih nggak ngerti, kok bisa-bisanya kamu jahat begini?"
"Kamu nggak salah apa-apa, Na," timpal Yausal dengan suara melemah. Ekspresi wajahnya semakin dipenuhi rasa bersalah. Cowok itu menunduk.
"It's all my bad. Dulu pun aku yang salah karena dateng ke hidup kamu—"
"... dan bikin hati ini berantakan di saat aku lagi sayang-sayangnya sama kamu."
Seketika Yausal mengangkat wajahnya, tidak percaya bahwa Naraya akan mengungkapkan perasaannya dengan eksplisit begitu. Kedua mata cewek itu masih menatap dirinya tanpa berkedip. Tatapannya marah.
"Waktu ketemu kamu lagi, aku pikir kamu adalah Yausal yang beda. Yausal yang lebih dewasa dan tau gimana cara menjaga perasaan orang lain. Ternyata sama aja. Kamu nggak pernah berubah."
"Na, aku—"
Kalimat Yausal terputus, tenggorokannya tercekat tiba-tiba. Cowok itu kesulitan saat harus menjelaskan bahwa perasaannya pada Naraya pun, dari dulu, tidak pernah berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA'S BOX
RomanceSebagai seorang wedding organizer, awalnya hidup Naraya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, dia bertemu dengan Yausal, cowok dari enam tahun lalu yang pernah membuat dunianya porak-poranda. Sebenarnya Naraya tidak ingin mengacuhkan, nam...