"Nggak ketebelan gini juga, Dooon...!" Naraya sewot. Dia memeriksa wajahnya sendiri di kamera ponselnya, dan lagi-lagi protes saat alisnya terlihat seperti alis Sinchan. Sementara itu Donna dan Pandu tidak bisa berhenti tertawa melihat Naraya bawel, apalagi saat kembali membayangkan alis cewek itu sebelum digambar. Tiga jam dengan alis abnormal selama meeting tadi, sepertinya itu adalah seratus delapan puluh menit terpanjang dalam hidup Naraya.
"Ini tuh ngga tebeeel." Donna balik sewot. Gemas sendiri dia jadinya. "Lo diem aja dulu, ya. Ini lagi gue betulin bentuknya!" Donna mencoba fokus karena bagaimana pun urusan ngalis ini butuh konsentrasi tingkat tinggi supaya wujudnya presisi. Apalagi di tempat sekecil mobil Pandu yang terbatas ruang gerak dan cahaya, jangan sampai alis Naraya malah jadi tampak seperti celurit.
"Yang kiri kurang tebel, tuh." Tunjuk Pandu dari jok depan. Dia tidak sengaja menyenggol tangan Donna.
"Yaaah, Ndu..."
"AAAH, LO MAH, NDU. NGGAK USAH NUNJUK-NUNJUK, NAPAH?!" Tukas Naraya sangar. Dia memeriksa lagi wajahnya di layar ponsel. "KAN JADI ANEEH!!"
"Ya ampun, maaaaf..." Pandu merasa bersalah sambil menahan tawa. Dia bersyukur dirinya dilahirkan sebagai cowok ori, jadi tidak perlu ribet dengan urusan harus bikin alis segala.
"Lagian kenapa sih nggak di toilet cewek aja?" Pandu serius bertanya. Saat itu mereka masih ada di parkiran mall, dan sepertinya mobilnya jadi mobil yang paling heboh di antara mobil-mobil lainnya yang sedang diparkir di situ. (Iyalah, mobil yang lainnya nggak ada manusianya).
"Kan enak di sana, terang. Luas, lagi." Kata Pandu lagi. Dia jadi tidak habis pikir sama cewek-cewek. Sudah punya alis, terus dicukur, lalu digambar lagi. Kalau untuk digambar lagi, buat apa dicukur? Kan buang-buang energi.
"Nggak bisa. Gue nggak mau tengsin dua kali. Gue udah cukup malu tadi gambar-hapus-gambar-hapus terus." Naraya kembali melihat kamera ponselnya. "Nah ini mendingan, Don. Keliatan lebih necurel. Yang tadi malah mirip kecebong."
Pandu dan Donna menyemburkan tawa bersamaan. Puas banget rasanya mereka.
"Eh, tadi lo beli pensil alis dimana?" Tanya Donna sambil menghapus bagian yang tercoret gara-gara Pandu tadi.
"Di Simply Lovely." Naraya menyebutkan satu beauty brand yang menjual alat-alat komestik cukup lengkap.
"Kenapa nggak minta tolong SPG-nya bikinin alis buat lo? Mereka kan jago-jago." Donna mengingatkan. Tangannya bergerak pelan mencoba memberikan sentuhan akhir pada alis Naraya.
"Eh, iyaaa. Kok gue nggak inget ke sana ya, tadi?" Naraya betul-betul lupa. Padahal counter itu cukup sepi waktu Naraya mampir.
"Tumben lo lemot. Mikirin apa, sih?" Donna meneliti kedua alis Naraya yang sekarang tampak sempurna. Dia tersenyum puas melihat hasil karyanya sendiri. "Done!"
Naraya tidak menjawab pertanyaan Donna. Dia pura-pura sibuk melihat wajahnya di layar ponsel. Jangan sampai Donna tahu apa yang mengganggu pikiran Naraya akhir-akhir ini.
Bisa gawat!
***
Mobil Pandu melaju dengan kecepatan rata-rata di sepanjang flyover Pasupati. Tadi beberapa menit yang lalu, Donna tiba-tiba mengeluh mual. Sejak itu dia hanya diam dan tidak berbicara. Jadi Pandu mencoba menjalankan mobilnya dengan pelan karena khawatir Donna akan muntah. Apalagi waktu bumil itu menyenderkan kepalanya di sandaran jok, mukanya terlihat agak pucat.
Pandu akhirnya memutuskan untuk men-drop Donna terlebih dahulu, mekipun itu berarti dia harus memutar jalan karena harus mengantar Naraya sesudahnya. Padahal tadi Naraya sudah minta turun dan akan lanjut dengan ojek online, tapi Pandu memaksa. Ada yang ingin dia konfirmasi sebenarnya. Jadi momennya pas. Karena kalau ada Donna, Naraya pasti menolak membahas.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA'S BOX
RomanceSebagai seorang wedding organizer, awalnya hidup Naraya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, dia bertemu dengan Yausal, cowok dari enam tahun lalu yang pernah membuat dunianya porak-poranda. Sebenarnya Naraya tidak ingin mengacuhkan, nam...