#17 MUST HAVE BEEN LOVE

200 38 13
                                    

Naraya melangkahkan kakinya ke toko buku Periplus dengan sedikit tergesa-gesa. Dia menyusuri rak buku dengan label novel yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk. Matanya sibuk mencari-cari judul buku yang harus dia beli hari ini juga. Telunjuknya menari-nari di udara, menyisir setiap cover novel yang dipajang di rak.

“Ada yang bisa dibantu, Kak?” Seorang karyawan cowok mendekati Naraya saat cewek itu terlihat kebingungan. Dia masih belum berpindah dari tempatnya berdiri. Cukup lama pandangannya terpaku pada buku-buku di depannya.

“The Alchemist, Mas, masih ada?” Tanya Naraya to the point, menyebutkan satu judul novel yang cukup terkenal. Dia melihat karyawan itu sekilas, lalu pandangannya kembali memeriksa barisan novel-novel di hadapannya.

“Paulo Coelho ya, Kak?”

“Iya, betul. Ada?”

“Saya cek sebentar, ya.” Si karyawan meninggalkan Naraya menuju counter kassa. Dia terlihat menggunakan komputer yang ada di sana. Lalu tidak berapa lama, karyawan itu kembali ke tempat Naraya berdiri.

Sold out, Kak.”

Bad news. Padahal Naraya sudah menaruh harapan cukup besar pada toko buku ini. Tubuhnya mendadak lemas. Dia sudah mengunjungi empat toko yang menjual buku-buku import di Bandung. Toko ini adalah yang ke-lima, dan dari lima toko yang dia datangi, novel The Alchemist dinyatakan terjual habis.

Naraya melirik jam tangannya, waktunya tinggal sejam setengah lagi. Kemudian dia terdiam sesaat, antara berpikir tujuan selanjutnya, dan lelah karena seharian ini dia dikejar waktu demi sebuah judul novel kesukaannya. Dan itu… demi Yausal.
“Kak, saya coba kontak temen saya, ya. Kebetulan dia punya toko yang jual buku-buku luar juga. Barangkali The Alchemist masih ada di situ,” kata si karyawan tiba-tiba, memberikan secercah harapan. Mungkin dia bisa menebak dari raut wajah Naraya, betapa urusan novel ini sangat mendesak.

“Oh, boleh. Makasih, ya.” Muka Naraya yang sebelumnya tampak hopeless, mendadak sumringah.

“Ditunggu ya, Kak. Duduk dulu aja.” Karyawan itu menunjuk sebuah bangku single yang ada di sudut ruangan. Dia kemudian meninggalkan Naraya, menghilang di balik sebuah pintu dekat tempat penitipan barang.

Naraya berjalan menuju bangku besi berwarna hitam, lalu duduk setelah menghela napas panjang. Dalam hati dia berdoa, semoga hari ini rejekinya baik.

Seraya menunggu, pikirannya melayang ke kamar tidurnya kemarin. Pagi itu, sebuah pesan dari Yausal membuatnya ingin mati tiba-tiba.

Hey, lagi typing apa? Mo bilang masih kangen, ya?

Naraya bergeming di atas tempat tidurnya. Dirinya shocked menatap layar handphone.

MATI GUE!!

Sekitar tiga menit Naraya hanya diam mematung. Dia tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya seolah mampet. Matanya masih terpana pada kalimat Yausal yang tidak tahu harus direspon bagaimana.

Status WA Yausal masih online. Kemungkinan besar, cowok itu sedang menunggu jawaban Naraya. Bagai anak catur yang sudah terkunci langkah oleh lawan, Naraya tidak punya spasi untuk mengelak. Pasrah, dia pun mengirim icon tertawa. Kemudian ketiknya,

Salah kirim Sal, maapiin…

Bodo deh, dia mo percaya ato nggak.

Really???

Yausal membalas cepat. Kemudian dia menambahkan emoticon smiley yang hidungnya memanjang seperti pinokio saat sedang berbohong.

Shit!

Naraya tertohok.

Namun cewek itu tidak berusaha menyangkal dengan mendebat pesan Yausal. Tidak ada guna membela diri. Naraya sudah tertangkap basah. Akhirnya dia hanya tertawa.

Hahaha…

Status Yausal terlihat typing. Jantung Naraya berdebar menanti kalimat apa yang akan keluar. Lima detik menunggu, hatinya seketika melonjak saat pesan yang dibacanya:

Sore ini free, ngga? Hang-out, yuk!

“AAAAARGH…!!” Sekali lagi Naraya berteriak, tapi bukan dalam bentuk lolongan memprihatinkan. Kali ini dia menjerit kegirangan.

“Dapet koin shopee berapa lagi sekarang?!” Tanya Bunda dari ruang tengah. “Bisa buat beli Tupperware, nggak?”

Naraya terkekeh. Dia balas berteriak.

“Dapet anak sultan, Bun.”

“Ah, anak sultan mana yang mau sama kamu?”

Naraya tidak merespon Bunda. Dia sedang serius membaca dan mencerna kata-kata Yausal. Itu jelas sebuah ajakan. Yausal mengajaknya ketemuan.

Kencan lagi? Tanya Naraya dalam hati sambil mengulum senyum. Kedua tangannya masih menggenggam ponsel dengan raut muka bahagia yang tidak bisa dia tahan.

Heh, ini ketemuan biasa aja. Nggak usah lebay!

Naraya buru-buru mengingatkan dirinya sendiri supaya tidak terlena. Namun bagaimanapun, perasaan senang itu tidak bisa berbohong. Auranya bersinar.

“Tapi, gue ada janji sama anak-anak nanti sore.” Naraya baru ingat kalau dirinya harus meeting dengan Donna dan Pandu. Seketika dia galau.  Dia khawatir kesempatan hari ini tidak akan terulang lagi, dan dia kehilangan momen untuk bisa jalan dengan Yausal.

Namun janji dengan Donna dan Pandu pun untuk pekerjaan, dan dia akan merasa tidak enak jika harus menjadwal ulang. Terlebih dia tidak ingin seandainya Donna tahu kalau alasannya membatalkan pertemuan adalah karena Yausal.

Naraya terdiam, tampak serius berpikir. Agak lama, sampai akhirnya dia memilih untuk mengatakan yang sesungguhnya.

Sore ini ada meeting Pandora. Besok?

Cewek itu membaca ulang pesannya, tapi kemudian menghapus kata ‘besok’. Dia tidak mau menginisiasi, meskipun segenap lahir batinnya sangat ingin  hang-out-yang-bukan-kencan ini terjadi. Bukankah bertemu Yausal adalah hal yang paling dia harapkan belakangan ini?

Kalo besok sore, gmn? Ada acara?

PANDORA'S BOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang