Momen yang akhirnya tiba, 2013...
Naraya akhirnya berhasil sidang tepat waktu, setelah dia ngebut merevisi skripsinya. Empat minggu yang awalnya dia pikir kurang manusiawi untuk tempo memperbaiki kesalahan tugas akhirnya itu, bisa dia hajar dengan semangat maju tak gentar. Meskipun efeknya membuat Naraya kurang tidur dan mengalami darah rendah, tapi bahagia yang dia rasakan membayar semuanya. Bukan, bukan dengan bantuan jin hasil pesugihan. Spirit itu datang dari Yausal yang tidak pernah absen memberikan dukungan supaya Naraya tidak patah arang.
Dua bulan lebih sejak Naraya dan Yausal dekat, Naraya semakin yakin bawah cowok itu adalah kiriman Tuhan untuknya. Seperti oase di padang pasir, atau tukang cuanki yang lewat di saat lapar, atau colokan charger yang ada di trotoar jalan saat ponsel kita kehabisan daya, kehadiran Yausal memberikan energi yang Naraya butuhkan. Meskipun selama itu tidak pernah ada istilah yang pasti untuk menyatakan hubungan mereka, tapi apa yang mereka jalani bersama mengindikasikan bahwa di antara keduanya ada sesuatu yang spesial.
"Jadi, kamu wisuda kapan?" Tanya Yausal di telepon, pada suatu sore. Saat itu Naraya baru selesai menyiapkan semua yang diperlukan untuk kepentingan wisuda, tepatnya sebulan sejak dia sidang. Dokumen, checked. Kebaya, checked. Make Up Artist, checked. Pendamping wisuda...?
"Sabtu ini..." Naraya menjawab singkat. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi urung.
"I see..." Yausal merespon pendek. "Siapa yang anter?"
"Ayah sama Bunda, paling. Teh Hanna kebetulan nggak bisa pulang." Naraya menyebutkan nama kakak perempuannya yang bekerja di Riau. Mereka dua bersaudara.
Kamu mau dateng?
Pertanyaan itu hanya terucap dalam hati Naraya. Ingin dia katakan, tapi mulutnya tertahan, bagai terkunci rapat. Gengsi membuatnya ragu antara ingin meminta Yausal datang, atau ingin supaya Yausal yang berinisiatif datang tanpa diminta. Selama rentang waktu kedekatan mereka, belum pernah sekalipun ada rencana untuk ketemuan. Padahal Bandung-Jakarta bukan jarak yang panjang, hanya ditempuh dengan waktu kurang dari tiga jam. Meskipun mereka sering bertukar foto hampir setiap saat, tapi Naraya rasanya ingin merasakan keberadaan cowok itu di depan matanya. Ingin tahu ekspresi wajahnya dari dekat. Ingin mendengar suaranya langsung tanpa media apa-apa, kecuali udara. Ingin bisa menyentuh kulitnya walau tidak sengaja. Ingin merasakan getaran di hatinya saat cowok itu menatapnya. Ingin meresapi bahwa kehadiran Yausal itu benar-benar nyata. Tapi setiap kali Naraya ingin bertemu, dia selalu enggan untuk bilang.
"Selamat, ya," ujar Yausal akhirnya. "I'm proud of you."
Naraya hanya menjawab dengan ucapan terimakasih lirih. Lagi-lagi dia gengsi meminta.
****
Ada yang berbeda dengan Yausal belakangan ini.
Beberapa saat setelah momen wisuda Naraya, entah kenapa cewek itu merasakan ada yang lain pada Yausal. Yausal tidak se-excited sebelum-sebelumnya. Perhatiannya yang dulu hangat dan intens, berubah sedikit demi sedikit seiring hari. Meskipun Naraya jelas merasakan itu, tapi dia menahan diri supaya tidak banyak bertanya. Mungkin dia sedang sibuk, karena saat itu Yausal juga sedang menyusun tugas akhir. Mungkin dia sedang ada masalah dengan bimbingannya, tapi tidak mau cerita. Mungkin dia sedang capek dan tidak mau diganggu, lalu memilih tidur. Mungkin dia juga sedang ingin fokus.
Naraya berusaha mengerti. Ada banyak kemungkinan. Pada waktu yang bersamaan, dia sedang menghibur dirinya sendiri, karena tiba-tiba ada ketakutan yang merayapi hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA'S BOX
RomanceSebagai seorang wedding organizer, awalnya hidup Naraya berjalan baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, dia bertemu dengan Yausal, cowok dari enam tahun lalu yang pernah membuat dunianya porak-poranda. Sebenarnya Naraya tidak ingin mengacuhkan, nam...