#33 H-1

162 19 6
                                    

Naraya mengeluarkan sebotol yoghurt dan beberapa kotak berisi camilan dari dalam tasnya. Dia membuka tutup botol minuman itu seraya duduk memandangi krunya yang sedang bekerja. Hari ini adalah H-1 pernikahan Esty dan Sandy, dan sudah sesorean ini dirinya yang bertugas mengurusi dekorasi berada di lokasi acara, sebuah lapang outdoor hotel yang ada di daerah Setiabudi. ditemani Pandu yang juga sedang menanti sound system sewaan datang, dia tengah menunggu Donna yang akan menyusul ke sini begitu acara arisan keluarganya selesai.

"Tumben bawa-bawa bekel segala," komentar Pandu saat dia mendatangi meja Naraya. Cowok itu membuka tutup kotak satu per satu dan seketika terpukau. "Wuaaaah, cemilan sehat semua ini mah." Pandu mengambil sebiji anggur berwarna kehitaman, lalu menyuapkan ke mulutnya. Dia lalu menusuk beberapa potong buah naga dengan garpu yang sudah tersedia di kotak, kemudian memakannya dengan lahap.

"Ini pasti kerjaan Bunda," tebak Pandu, sambil tidak berhenti mencoba semua makanan dari kotak yang jumlahnya ada tiga buah.

"Siapa lagi?" Tanya Naraya retoris sambil kembali meminum yoghurtnya. Tadi waktu pamit akan berangkat ke tempat ini, tiba-tiba bundanya memberi dia setas berisi bekal makanan.

Sebenarnya Naraya sudah ingin menolak. Terus terang dia sedang tidak terlalu berselera untuk makan. Namun Bunda sedikit memaksa, seraya berkata,

"Bekalnya kudu abis, ya. Bersedih juga butuh energi, soalnya."

Naraya pura-pura tidak mendengar, tapi sepanjang perjalanan ucapan Bunda lumayan menyita pikiran. Bisa jadi selama momen Naraya patah hati lagi gara-gara Yausal, bundanya ngeh. Meskipun tidak pernah bertanya sekali pun, namun Naraya pernah memergoki Bunda tengah memandanginya dengan tatapan sedikit khawatir saat dia sedang makan, atau nonton TV tapi dia terlihat melamun sesekali, atau saat dia iseng melihat-lihat barang belanjaan di sebuah e-commerce (mungkin yang terakhir, bunda berharap Naraya dapat koin shopee supaya bisa membelikan teflon baru). Feeling Naraya sih, bundanya tahu bahwa saat ini dia sedang tidak baik-baik saja. Apalagi beberapa waktu lalu beliau sempat bertanya.

"Kok Yausal nggak pernah maen sini lagi, Ya?"

Padahal Yausal cuma beberapa kali saja ke rumah Naraya. Itu pun hanya sekedar menjemput atau pun mengantar. Ini mungkin yang dinamakan firasat seorang ibu. Sinyalnya lebih kuat dari wifi mana pun.

"Heh, ngelamun." Pandu mencolek lengan Naraya. Dia sedang asyik makan tortilla isi ayam mayo dan sayuran. Sesaat cewek itu kembali dari renungan, dia menatap Pandu.

"Masih sedih?" Tanya Pandu lagi.

Naraya tidak menjawab. Dibilang masih sedih, perasaannya sudah tidak seberat kemarin-kemarin sebenarnya. Setidaknya Naraya sudah jarang menangisi kenyataan yang terjadi. Dia juga sedang belajar mengikhlaskan Yausal dan mencoba tidak meraba-raba lagi perasaannya pada cowok itu.

Tapi kalau dibilang tidak sedih, Naraya malah sedang merasa kangen-kangennya pada Yausal sekarang. Apa karena dia sangat memaksakan diri untuk melupakannya?

"Yah, dia ngelamun lagi." Pandu kali ini mengambil sebotol yoghurt yang masih utuh, lalu meminumnya. Bersendawa pelan, cowok itu sudah merasa kenyang sekarang.

"Surat Yausal masih belom lo bales?"

Naraya menggeleng. Ini sudah lewat empat hari sejak dia menerima surat dan novel dari Yausal. Dia masih belum tahu apakah surat itu memang harus dibalas atau tidak. Kalau pun memang Yausal mengharapkan balasan, Naraya tidak tahu mau bilang apa.

"Harus ya, dibales?" Tanya Naraya balik.

"Nggak juga, sih. Asal udah kelar aja urusannya."

"Urusan apa lagi emangnya? Toh Yausal ternyata udah punya tunangan. Dia udah sempet mengakui perasaannya kemaren atau pun enam taun silam. Dan foto-foto yang sempet gue kasih, udah dia balikin semua. Jadi apa lagi yang belom kelar?"

PANDORA'S BOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang