Dilema

2.5K 207 32
                                    

Kutelepon Damar, memintanya untuk bertemu denganku hari ini juga.

Dia setuju.

Jam sepuluh pagi--selesai membereskan rumah--aku pergi untuk menemui Damar. Tadinya, dia mau menjempeut. Kutolak, karena aku belum siap kalau Nenek tahu lebih dulu, wajah ayah dari anak yang kukandung.

Kafe yang berkonsep mirip perpustakaan, jadi tempat pertemuan kami.

Damar sudah datang lebih dulu. Dia bilang, karena aku tidak mau dijemput dia tidak mau membuatku menunggu.

Betapa baiknya dia.

Memesankan minuman, Damar juga menawarkan makan. Alu tak bisa menerima, karena perutku sering tidak enak, tiba-tiba. Akan jadi masalah, kalau nanti aku muntah.

Kutatap Damar yang duduk di hadapanku, seraya menyesap minuman.

Wajahnya cerah dan manis. Ada aura kebahagiaan yang tersirat di sana.

Aku mau bicara, di saat itu juga Damar buka mulut.

"Kamu dulu," ucap Damar. Matanya berbinar-binar, menatapku. Pasti ada sesuatu yang menggembirakan darinya.

Aku mau tahu dulu, kabar gembira apa yang dia punya, sebelum aku rusak dengan kabar buruk yang kubawa.

"Nggak, kamu dulu aja."

Damar memberengut. "Aku penasaran ke kamu."

Aku lihat, sekarang Damar jadi lebih manja dari yang biasa. Apa mungkin, ini bawaan dari anak yang kukandung?

Aku tersenyum tipis. "Aku mau denger kamu dulu."

Meski sempat mengeluh, Damar mengalah.

"Aku lolos seleksi beasiswa ke Jerman, An!" Damar terlihat antusias. "Tinggal tas IELTS, aku bisa lanjut studi ke sana."

Aku tergagap mau menanggapinya.

"Satu langkah, An, impianku bakal terwujud."

Demi Tuhan, dalam hati aku sudah menangis pilu. Sekarang, bagaimana mungkin aku bilang padanya tentang kondisiku saat ini?

"Kamu sedih, An?"

Kugelengkan kepala.

"Aku akan setia sama kamu, meski nanti kita jauh. Kamu ...." Damar menjeda ucapannya. "Perempuan yang memenuhi hatiku."

"Mmh." Hanya itu yang bisa kukatakan.

Air mata menetes, tanpa bisa kutahan.

"Maaf," bisikku sambil menyeka air mata.

Damar beranjak dari tempat duduk, lalu berjongkok di depanku.

Semua orang memperhatikan kami.

"Kok nangis?" Dia bertanya.

"Nggak apa-apa. Aku seneng, kamu bisa capai cita-cita kamu."

"Kalau seneng, kenapa nangis?"

Karena aku memikirkan anak kami. Bagaimana dia hidup tanpa ayahnya?

Semakin lama, dia akan semakin besar dalam perutku. Harus katakan apa, pada semua orang kalau Damar pergi?

Tapi, aku juga tidak mau merusak impian Damar.

Aku yakin, kalau kukatakan yang sebenarnya, dia pasti tanggung jawab. Meninggalkan semua impiannya, demi perempuan sepertiku.

Tidak bisa.

Ini bukan soal Damar saja. Ada orang tuanya yang harus aku pikirkan.

Aku ... perempuan asing, yang baru masuk dalam hidup Damar, harus lebih tahu diri.

"Kalau aku sekolah di Jerman, tiap liburan musim panas, aku akan pulang untuk temui kamu."

Di saat itu juga, aku menyadari kalau saat nanti kami bertemu, perubahan pada tubuhku akan semakin jelas.

Saat itu terjadi, aku punya alasan apa?

Damar terus meyakinkan kalau dia akan setia. Kami berpisah hanya sebatas jarak. Hati Damar akan tetap padaku.

Aku percaya, padanya. Tapi, dia terlalu baik. Aku tidak mau merusak hidupnya.

Kukepal tangan sekuat tenaga, mengalirkan emosi ke dalamnya.

"Ana ...." Damar berusaha menyentuh tanganku.

Kucegah dia melakukannya.

"Damar-" Berat untukku mengatakan. Sesaat manik mata kami beradu. Kutarik napas, dan mengembuskannya sebelum lanjut bicara. "Kamu pinter, laki-laki hebat, baik ...."

Saat kukatakan itu semua, alis Damar bertahut.

"Lanjutin sekolah kamu yang bener. Wujudin semua impian, tanpa ada yang ganggu hidup kamu."

"Maksudnya?" Damar kebingungan.

Aku mengangkat sudut bibir, menguatkan diri di tengah kegetiran hati.

Saat ini, aku tidak bisa merusak impian Damar. Sementara, biar dia bahagia dengan impiannya.

"Ana!" Binar mata Damar membuat hatiku semakin tersayat sembilu. "Kenapa, ada apa sama kamu?" Dia terus merasa bingung.

Kuucapkan kata maaf padanya, dan meminta supaya dia berhenti peduli denganku.

Perasaanku berkecamuk. Di satu sisi aku tidak mau merusak masa depan Damar. Di sisi lain,aku tidak sanggup menghadapi sendiri.

Damar tidak mau menuruti keinginanku. Baginya, tidak ada alasan yang bisa membuatnya berhenti peduli padaku.

Dia juga merasa aneh, karena akhir-akhir ini aku lebih sensitif dari biasanya.

Sebelum kecurigaan Damar semkain menjadi, aku minta pulang.

Sementara, biar Damar tidak tahu kalau aku mengandung anaknya.

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang