Test Pack

3.3K 234 49
                                    

Kemarin, aku berkilah pada Tamara. Mungkin asam lambung naik, makanya aku muntah. Sekarang tidak bisa lagi berdiam diri, aku harus cari tau kebenarannya.

Pergi ke apotik yang jauh dari rumah, aku berniat membeli alat test kehamilan. Sengaja pilih yang jauh, supaya tidak ada orang yang mengenaliku. Pakai masker untuk menutupi muka, berjalan dengan hati berdebar ... sungguh rasanya seperti buronan.

Apotik yang kudatangi lumayan ramai. Di barisanku saja ada tiga orang yang menunggu giliran. Mataku terus menatap sekitar, takut kalau ada yang kenal denganku. Untungnya, dari tadi aku lihat semua orang asing. Semoga tidak ada yang mengenaliku.

Saat antrianku tiba, aku tidak berani menatap lama ke apoteker yang bertugas melayani. Kadang aku menunduk, kadang menoleh ke samping. Apa saja, yang penting tidak kontak mata langsung.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya perempuan muda berhijab di depanku ini.

Mendadak, lidahku kelu untuk bicara. Tangan mengepal karena ketakutan sendiri. Ya, Tuhan, begini rupanya menaggung aib.

"Nona, antriannya sudah menunggu." Dia mengingatkan. "Ada yang bisa dibantu?"

Dalam perasaan yang penuh ketakutan, aku menyebut pesanan. "A-lat ...." Napasku jadi tersengal secara mendadak. Mataku mengerling pada perempuan di depanku ini.

Detik selanjutnya, aku malah menunduk. Ternyata, meski sudah yakin tidak ada yang kenal denganku, tetap tidak bisa.

Apoteker yang melayaniku, menghela napas. "Oh, tunggu sebentar!" Dia pergi ke dalam sebentar.

Aku yang tidak mengerti, hanya menunggu saja.

Orang-orang yang sederet antriannya denganku, sepertinya menyempatkan diri untuk menoleh ke arahku. Aku hanya bisa diam, mengabaikan seolah tidak tau.

"Dua puluh ribu!" Dia menyebut harga sambil menyerahkan plastik putih tebal.

Segera kuberikan uang padanya.

"Terima kasih," kataku. Saat lihat raut wajahnya, menunjukkan kalau dia merasa miris padaku.

"Ada catatan, tolong ikuti catatan itu."

Aku hanya mengangguk kecil saat mendengar pesannya.

Keluar dari apotik, aku berjalan cepat tanpa menoleh ke mana pun.

Sepanjang langkah, aku merasa penasaran tentang catatan yang dimaksud tadi. Sambil menunggu angkot, aku buka kantung plastik dan mengambil sebuah kertas kecil dari dalamnya.

Jaga dia, dengan kasih sayang.

Tanganku gemetaran, dada rasanya bergemuruh. Masih ingat tadi bagaimana perempuan itu menatapku. Aku bisa merasakan keprihatinannya. Kuusap perut. Kalau memang aku mengandung anak Damar, aku harus apa?

Damar mau kuliah, apa tega aku merusak masa depannya?

Tapi, tanpa Damar, bagaimana aku membesarkan anak ini?

Aku menyesal, karena sudah melewati batas. Kalau anak ini memang ada, nasibnya kelak bagaimana?

Nenek, dia pasti sangat marah.

Aku hanya bisa berdoa, agar semua hukuman atas dosaku cukup aku saja yang menanggung. Jangan orang-orang yang kusayangi, termasuk anak ini.

Naik angkot, menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, aku pulang ke rumah. Perlu jalan beberapa ratus meter dari jalan besar untuk bisa sampai.

Percaya atau tidak, saat ini aku tengah yakin kalau memang ada yang beda dari diriku. Bagaimana tidak?

Biasanya, jalan kaki sejauh apa pun, tidak pernah sekelelahan ini. Sekarang, bukan hanya lelah, tapi kepala juga terasa pusing.

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang