Nichole Kembali

2.5K 238 54
                                    


AKU bersandar di tembok rumahku. Tidak ada Damar, tidak ada Tamara, bahkan Nichole. Sendiri. Hanya jenazah Nenek yang berbaring di hadapanku.

Para tetangga dan pengurus masjid yang mengurus pemakaman Nenek. Jenazahnya sudah dimandikan dan dikafani, rencananya sore ini juga dia akan dimakamkan.

"Dibuka mulutnya, Na ...." Bibi Marsitah menyodorkan sesuap nasi untukku. "Makan dulu, Neng, nanti malah sakit, nggak baik gitu."

Mulutku masih terkatup rapat, dengan bulir air mata yang tidak berhenti membasahi pipi.

Perempuan berhijab itu, masih sabar memintaku untuk makan.

"Nanti Ana sakit, Ana juga yang susah. Boleh sedih, tapi nggak baik begini. Makan, ya," pintanya dengan lembut.

Aku bergeming. Tidak peduli perut yang terasa perih karena lapar. Mana pantas aku makan, di saat Nenek terbaring kaku! Dia pergi dengan kebohongan yang belum kukatakan.

Tidak lama, seseorang datang berbisik di telinga Bibi Marsitah. Kemudian, dia mengajakku bicara.

"Jenazah Nenek mau disalatin, kita ke masjid sekarang."

Dengan hati yang hancur, aku mengangguk.

Bibi Marsitah membantu ketika aku mau berdiri. Berangkat ke masjid, kami salati jenazah Nenek.

Usai disalati, mendiang Nenek akan dimakamkan di pemakaman umum, tidak jauh dari rumah.

Tangisku makin menjadi saat melihat keranda mayat Nenek. Jika saja saat ini ada Tamara, aku pasti bisa memeluknya.

Kesepian dan rapuh, beginilah kondisiku sekarang.

Keluar dari dalam masjid, aku dapati dua orang yang membuatku sangat terperangah.

"Tta-mara?" Aku ragu kalau yang di depanku ini Tamara.

Dia berjalan cepat, menghamipiri lalu memelukku erat.

Seketika aku menggerung di atas pundak Tamara.

"Dah, gue di sini." Dia mengusap kepalaku, lembut.

"Nenek udah nggak ada, Tam."

"Iya, Tuhan pasti punya rencana yang baik."

Aku menggeleng, karena mulai hari ini aku akan jadi sebatang kara.

"Lo nggak sendiri." Tamara melepas pelukannya. Dia usap air mata yang mengalir di pipiku. "Ada gue, Niki, sama Damar."
Nama terakhir yang Tamara sebut, membuatnya mengernyit. "Dia nggak dateng?"

"Dia nggak tau."

"Lo gimana sih, An, kok nggak ngabarin dia?"

Aku diam saja ketika Tamara bertanya.

"Kalau Niki nggak telpon tadi, gue juga nggak tau kabar duka ini."

Mataku mengerling pada Nichole yang dari tadi hanya memandang kami. Dia, memakai kemeja berwana tosca, dengan dasi senada yang sudah mulai berantakan. Sepertinya, dia langsung dari kantor ke sini.

"Kalau kamu masih punya dendam dama Abang, paling nggak bisa sampingin dulu untuk masalah ini. Kalau bukan Juno yang kabarin, Abang nggak tau." Nichole kelihatan menggebu.

"Bagi kamu, Abang nggak penting. Tapi buat Abang, Nenek kamu itu penting!" Nichole kelihatan sangat marah.

"Nik!" Tamara menyela. Matanya mengerjap pelan, memberi tanda agar Nichole berhenti memarahiku.

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang