HUJAN

3.3K 230 85
                                    

Aku berbalik, menyembunyikan wajah ke tembok dan mengontrol diri yang merasa sangat tertekan.

Nichole terduduk lemas di lantai. Dia tersenyum getir.

"Maaf, Ana." Kata yang terucap dari bibirnya. Terlalu sering dia mengatakan, tapi mengulangi kesalahannya lagi.

"Abang juga tahu-" Aku bisa merasakan kalau ada sesuatu yang ditahannya. "Abang bajingan yang memang mengerikan."

Tersentak ....

"Abang juga-" Dia terisak cukup lama, sampai akhirnya aku menoleh. "Mengutuk diri sendiri karena terlalu lemah mengendalikan perasaan ini." Nichole memukul-mukul dadanya.

Sebetulnya, sosok seperti apa yang ada di depanku ini?

Dia melindungiku, tapi dia juga mengancamku.

Dia mencintaiku, katanya. Tapi, dia juga yang membuatku ketakutan.

Nichole mendongak. Begitu mata kami beradu, aku segera mengalihkan pandangan.

Dia berdiri lagi. Aku semakin meringkuk ketika dia berusaha mendekatiku perlahan. Tangannya menyentuh kepalaku dan menarik dengan lembut helai rambutku.

"Biar ...." Nichole berkata demikian ketika aku berusaha menyingkirkan tangannya yang menyentuh helai demi helai rambutku.

Nichole merengkuh pundakku, membuatku berada lurus di depannya.

"Abang nggak pernah jatuh di hadapan musuh Abang. Tapi, di depan kamu-"Nichole menggantung ucapannya, menatapku lekat. " Abang justru bertekuk lutut."

Nichole menggeram, lalu dia meninju tembok sekuat tenaga. "Sialnya, bajingan ini terlalu mencintaimu."

Aku semakin gemeteran. Sekarang, napasku mulai terasa sesak. Mulutku tergagap ketika aku mau mengatakan sesuatu.

"Bernapas, An!" Dia meminta. Sepertinya, wajahku semakin pucat.

Netra kelam miliknya membidik mataku. "Kamu bukan perempuan murahan, An. Juga bukan ...." Nichole menarik napas dan mengembuskannya. "Perempuan lemah."

Aku mematung, melihatnya.

"Kamu, singa betina yang patah kakinya. Karena itu, jangan sampai masuk ke sarang hyena. Mereka akan memakanmu."

Nichole tersenyum. Dia buka pintu dan mendorongku keluar.

"Pergi!" katanya.

Aku hampir jatuh, karena dorongannya tadi.

Nichole menghela napas. "Hari ini, hari terakhir kita saling kenal. Apa pun yang terjadi, jangan masuk dalam hidup Abang lagi. Karena kalau kamu masuk, Abang nggak akan lepasin kamu."

Kulihat Nichole yang masih berdiri di depan pintu. Dia menggigit bibirnya.

Selangkah demi selangkah, dia datang padaku. Satu tangan Nichole masuk ke kantung. Matanya menatap ke tanah, ketika dia berada di dekatku.

Meski di lantai atas hanya ada kami berdua, tapi di bawah ramai orang. Kalau Nichole berani macam-macam, aku akan teriak.

"Kamu tahu, An?" Nichole kini menatap lurus padaku. "Apa yang paling Abang suka dari kamu?"

Aku mengernyit sementara Nichole malah mengangkat dua sudut bibirnya.

"Matamu, An."

Mataku? Jujur, aku sama sekali tidak merasa bahwa mata adalah bagian terbaik dari tubuhku.

"Matamu, saat menatap Abang penuh marah. Itu justru terasa hangat di dada ini. Menyadarkan Abang, kalau diri ini manusia. Bukan batu."

Untuk kesekian kali, Nichole membuatku merasa bingung tentang siapa dia sebenarnya.

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang