BODOH

3.5K 264 76
                                    

◆○◆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

◆○◆

SUDAH satu minggu Nichole sama sekali tidak muncul di depanku. Aku tidak terlalu peduli dengannya, cuma penasaran dengan Tamara.

Belakangan ini dia sering berbalas pesan dengan Nichole. Bahkan, tak jarang aku sering lihat dia senyum-senyum sendiri. Apa, Tamara dan Nichole sudah lebih dari sebatas kenalan?

Sendiri, aku menatap papan nilai yang ada di depan perpustakaan saat jam istirahat ke dua. Cukup lama mematung, memandang hasil Try Out-ku dengan rata-rata nilai 6,5. Lihat nilai Tamara, dia punya rata-rata 8,3--jauh di atas punyaku. Damar ... dia jadi urutan pertama untuk rata-rata nilai tertinggi. Cowok itu memang pintar, tidak banyak tingkah pula. Benar-benar mengagumkan.

Aku menghela napas. Kalau begini, harapanku untuk dapat beasiswa masuk perguruan tinggi semakin tipis. Kehidupan lebih baik, bekerja di kantor, menyandang gelar sarjana, kelihatannya cuma mimpi.

Ini pasti karena fokusku terpecah-pecah. Mulai dari urusan rumah, Nichole, sampai Damar. Kalau begitu, mulai sekarang aku harus lebih serius belajar. Masih ada waktu sekitar tiga bulan untuk mengejar ketinggalan.

"Gue bisa bantu lo, An."

Aku terkejut tiba-tiba ada yang mengajak bicara. Menoleh ke belakang, ternyata itu Damar. Dia berjalan ke arahku dengan satu tangan masuk ke kantung. Senyumnya sangat manis dan membuat hatiku merasa tenang.

"Gue bisa bantu lo," ulangnya lagi saat dia berada di dekatku. "Gue bisa ajarin matematika, fisika, kimia atau apa yang lo lemah di dalamnya."

Damar menengok ke papan nilai. "Mmh ...." Dia bergumam sambil mengamati nilaiku. "Lo yang parah di matematika. Mungkin kita bisa mulai dari pelajaran ini."

"Makasih, ya. Tapi, lo jangan repot-repot." Aku menolak tawarannya.

"An!" Dia meraih tanganku sebelum pergi. Sentuhannya begitu lembut, aku nyaris terbuai.

"Sorry!" Damar menarik tangannya sendiri. "Gue gak maksud, gitu. Ummm!" Dia lekatkan tangannya ke dekat bibir. Kelihatannya, Damar panik.

Sementara, aku berusaha mengendalikan diri supaya tidak memerah wajah ini.

"Gue tunggu besok, di perpus tiap jam istirahat."

Aku mengernyit.

"Setiap hari gue tunggu, dateng kapan lo siap mau belajar. Daaa!" Damar kabur.

Mataku mengekorinya, yang lari melewati pinggir lapangan, terus sampai ujung kelas 10 H. Dia menghilang dari pandangan setelah berbelok.

Terima atau tidak tawarannya?

Pikirkan besok saja, sekarang aku harus ke kelas.

◆○◆

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang