Bau Busuk

3K 209 42
                                    

Sejak hal yang aku lakukan bersama Damar saat itu, setiap hari aku merasa gelisah.

Apalagi, aku paham. Dosa seorang pezina itu sangat besar. Aku akan dapatkan balasan. Tidak di dunia, nanti di akhirat. Membayangkan siksaan yang nanti akan kudapat, kadang aku menangis. Belum lagi, kalau teringat almarhum Ayah dan Ibu. Betapa aku telah menambah siksaan mereka.

Nenek, selalu tanya kenapa aku menangis. Terpaksa aku bohong, dengan bilang kalau aku rindu Ayah dan Ibu.

Hati rasanya seperti tercabik-cabik, saat Nenek percaya. Dia yang memelukku erat, mengusap punggungku sambil mengucapkan kata-kata manis.

Ayah dan Ibu, pasti bahagia karena dia tau aku sudah tumbuh jadi gadis manis dan baik. Begitu, katanya.

Berbohong. Aku hanya berharap, Nenek masih mau memaafkan saat dia tahu yang sebenarnya.

Damar. Dia bukan lelaki bodoh, juga bukan pengecut. Tentu saja dia selalu tanya, apakah aku baik-baik saja dan aku paham maksud pertanyaan itu.

Dua minggu berlalu, tidak terasa perubahan apa-apa di tubuhku. Pola makan juga masih normal. Mungkin, memang semua akan baik-baik saja?

Maksudku, kami melakukannya tidak sengaja. Aku benar-benar merasa khilaf. Sementara Damar, aku bisa lihat dari ekspresi wajahnya kalau dia juga merasa bersalah. Aku harap, Tuhan masih memaafkan kami. Meski pada dasarnya, untuk alasan apa pun, perbuatan kami tidak bisa dimaafkan.

Damar terus menelepon atau mengirim pesan. Dia bilang, ingin bertemu. Tapi, aku terus menghindar. Demi Tuhan, aku menyesal. Lantaran hal ini pula, aku kerap mimpi buruk. Aku bermimpi, Damar pergi dariku selamanya, merasa Nenek akan membenciku. Begitu terus.

Menangisi kesalahan, sungguh aku tidak mau hamil di luar nikah. Meskipun pada masa sekarang itu adalah hal lumrah, tetap tidak mau. Saat hal yang harusnya jadi anugrah terbesar bagi seorang perempuan, bagaimana bisa aku hidupkan di atas aib?

Mengandung anak saat memiliki suami, merasa bahagia karena ada janin tumbuh dalam rahimku, itu yang aku mau. Bukan merasa ketakutan dan berdosa seperti ini.

•°•

Ke sekolah untuk cap tiga jari, aku berangkat seperti mengendap-endap.

"Na!" Damar sudah menunggu di depan kelas.

Aku bengong beberapa saat ketika melihatnya.

"Ana, kenapa nggak pernah mau jawab pesan aku?"

Damar mendekat, coba meraih tanganku.

"Jangan, Dam!" Aku menghindar.

Damar mengernyit. Aku bisa rasakan kalau dia merasa cemas.

"Ana, aku mau-"

Kepalaku menggeleng. "Nggak ada apa-apa."

Saat detik demi detik yang kurasa sangat menegangkan, Tamara memanggil Damar. Sahabatku ini protes, karena dia menghalangi jalanku masuk.

"Aku mau masuk."

Tidak seperti biasa, Damar yang selalu mengalah dan bersikap lembut, kali ini memaksaku untuk pergi.

"Dam, kita mau ke mana?"

"Aku mau ngomong sama kamu," jawabnya sambil terus mengajakku pergi. Meski memaksa, caranya memperlakukanku tetap lembut. Sama sekali dia tidak menyakitiku.

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang