Umpan

1.9K 146 50
                                    

Semua dimulai dengan pisah ranjang. Aku menutup diri di kamar, Nichole tidur di luar.

Semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan masa depan kami.
Perlakuan Nichole kemarin, sangat keterlaluan. Dia bahkan tidak mau mendengar penjelasanku lebih dulu.

Pagi menjelang. Dalam kondisi yang tidak bertenaga, kukemasi pakaian berniat pergi dari rumah.

"Mau ke mana?" Nichole menahan tanganku yang akan memasukkan baju ke dalam tas. Dia berada tepat di belakang, menyelipkan jemarinya di sela jariku.

Aku berusaha menyingkirkannya.

"Mau ke mana?" Dia enggan menyingkir

"Pergi," jawabku, dingin.

Dia menghela napas di dekat tengkukku, menimbulkan sensasi hangat di sana.

"Aku minta maaf." Dia mendaratkan keningnya di pundakku.

"Aku maafin."

"Kenapa mau pergi?" Dia pertanyakan hal yang sebetulnya sudah tau jawabannya.

Nichole semakin menggenggam tanganku ketika aku akan menariknya.

"Aku membuatmu menangis, terluka. Aku salah, An. Tapi, itu karena aku tidak suka kamu bertemu Damar."

Katakanlah Nichole cemburu, meski enggan dia mengakui. Tapi, yang sulit kuterima adalah reaksinya yang menurutku berlebihan.

"Kalau aku bisa menemukan kalungnya-"

"Percuma!" potongku.

Kubalikkan badan. "Mau tau, kenapa aku masih diam? Karena aku tau, kamu akan marah dan aku nggak mau buat kamu marah."

Nichole mematung di tempat.

"Benar, aku merasa yang Damar lakukan jauh lebih manis dari kamu. Tapi, Nik-" Ucapanku tertahan, tanganku kini meremas bagian atas bajunya--tepat di dada. Menahan tangis yang memaksa keluar. "Aku setia denganmu. Aku memilih kembali ke kamu."

Nichole menyambut tanganku, menahannya di dada.

"Aku minta maaf. Aku sangat emosi, karena waktu-"

"Aku bilang, aku maafin kamu. Tapi, nggak akan mengubah semuanya."

"Ana ...." Nichole menyentuh daguku.

Kuturunkan tangannya. "Aku bukan istri yang baik untuk kamu."

Nichole terlihat pucat. Hatiku pun perih, karena biar bagaimana pun, kami menikah selama lima tahun.

"Ana." Gemetar dia bicara.

Sebelum kata selanjutnya dia ucapkan, lebih dulu jemariku mengusap pipinya.

"Ini menyiksa kita, Nik. Aku nggak bisa bertahan. Maafin aku." Menunduk, air bah dari kelopak mataku membanjiri pipi.

"Beri satu kesempatan."

"Sudah nggak bisa."

Nichole memelukku. Bukan hanya itu, dia juga mengusap puncak kepalaku, mencium pipiku berkali-kali.

Kubalas pelukan Nichole, sejenak merasa nyaman saat dia sedang lembut seperti ini. Masalahnya sekarang, aku semakin tidak mungkin mencintainya.

"Carilah perempuan lain, Nik. Hiduplah bahagia dengan dia." Perempuan yang kumaksud Tamara. Aku yakin, dia pasti masih mencintai Nichole.

"Apa, kita memang akan berakhir?"

Aku mengangguk di balik dekapan.

Nichole mendesah. "Aku lakukan ini, karena aku nggak mau menyakiti kamu lagi."

Bajingan yang MencintaikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang